Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Insentif Pajak Kendaraan Listrik di Indonesia Saat Ini, Tepatkah?

A+
A-
10
A+
A-
10
Insentif Pajak Kendaraan Listrik di Indonesia Saat Ini, Tepatkah?

KEINDAHAN langit ibu kota kian jarang bisa dinikmati akibat gumpalan gas yang menyelimutinya. Selain menutupi keindahan langit, kabut akibat polusi itu membawa racun yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Situasi itu muncul sebagai dampak dari aktivitas ekonomi penduduk. Ada pendapat yang menyatakan situasi itu merupakan akibat dari masifnya penggunaan kendaraan bermotor di jalanan ibu kota. Muncul juga pendapat adanya pembakaran batu bara di PLTU sekitar wilayah Jakarta.

Dari kedua pendapat tersebut, dapat ditarik benang merahnya. Penyebab utama dari kondisi yang terjadi di ibu kota adalah emisi karbon. Emisi karbon itu, baik dari penggunaan kendaraan bermotor maupun aktivitas PLTU.

Pada tingkat dunia, Indonesia merupakan salah satu kontributor terbesar emisi gas rumah kaca, yakni 965,3 MtCO2e (World Resource Institute, 2020). Emisi ini akan naik secara drastis seiring dengan dihapuskannya pembatasan aktivitas pascapandemi Covid-19.

Atas situasi tersebut, pemerintah berupaya menciptakan ekosistem ramah lingkungan. Salah satu instrumen yang dipakai sebagai respons kebijakan adalah pajak. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2023, pemerintah memberikan insentif pajak.

Insentif pajak itu berupa PPN ditanggung pemerintah (DTP) untuk penyerahan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Adapun besaran PPN DTP tersebut diatur secara proporsional sesuai dengan nilai komponen dalam negeri (TKDN) dari kendaraan tersebut.

Tujuannya baik, yakni mengatalisasi transisi energi untuk memitigasi dampak emisi karbon di Indonesia. Namun, penulis menilai kebijakan ini tidak berjalan efektif. Tidak hanya itu, kebijakan ini turut memunculkan risiko permasalahan baru.

Tingginya harga KBLBB dinilai tidak sesuai dengan kantong orang Indonesia pada umumnya. Terlebih, kondisi ekonomi tengah tidak stabil dengan bayang-bayang inflasi. Hal ini membuat insentif pajak menjadi kurang relevan pada keadaan sekarang ini.

Alhasil, para pembeli KBLBB justru merupakan orang-orang yang cenderung memiliki kekuatan ekonomi tinggi sehingga kendaraan tersebut hanya dijadikan cadangan atau sampingan. Implikasinya, terjadi peningkatan jumlah kendaraan di jalanan.

Peningkatan volume kendaraan di jalanan justru akan memperburuk masalah. Polusi pun tetap terjadi. Oleh karena itu, jika ingin memberikan insentif PPN, pemerintah sebaiknya fokus pada KBLBB yang digunakan sebagai kendaraan umum.

Penerapan Pajak Karbon

PENGGUNAAN KBLBB juga belum dapat efektif sebagai solusi atas permasalahan lingkungan di Indonesia pada saat ini. Hal ini dikarenakan sumber energi listrik Indonesia masih didominasi hasil PLTU (sebanyak 45,44% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik (Databoks, 2022)).

Seperti kita ketahui sendiri, penggunaan energi hasil PLTU itu tetap saja menimbulkan emisi karbon akibat pembakaran batu bara di dalamnya. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih on-point dalam melakukan mitigasi atas masalah emisi karbon.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan mengenakan pajak atas emisi karbon yang dihasilkan. Dengan demikian, perusahaan polluter dapat menanggung biaya eksternalitas negatif dari kegiatan ekonominya (polluter-pays-principle).

Pasal 13 UU Nomor 7 Tahun 2021 telah mengamanatkan adanya penerapan pajak karbon. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon.

Pemerintah menerapkan mekanisme cap-and-tax, yakni perpaduan antara pasar karbon dengan pajak karbon. Pemerintah akan menetapkan cap emisi suatu sektor sehingga pajak yang dibayarkan hanya selisih antara karbon yang dihasilkan dengan cap. Selain itu, ada pula skema jual-beli kredit karbon.

Namun, menurut penulis, mekanisme tersebut kurang efektif untuk diterapkan di Indonesia dikarenakan beberapa faktor. Pertama, mekanisme tersebut cenderung memiliki tingkat kesulitan administratif yang tinggi. Sistem administrasi perpajakan di Indonesia dirasa belum siap untuk mengakomodasinya.

Selain itu, mekanisme cap-and-tax juga tidak memungkinkan Indonesia untuk mengestimasi potensi penerimaan dari pemajakan tersebut. Dengan adanya pajak karbon, pemerintah seharusnya bisa mendapat tambahan penerimaan negara.

Negara belum memiliki ruang gerak leluasa untuk membiayai proyek-proyek mitigasi permasalahan lingkungan, seperti pengembangan energi terbarukan dalam rangka transisi energi. Dengan demikian, pajak karbon dirasa lebih efektif dalam konteks menambah penerimaan sehingga ada alternatif dana untuk membiayai proyek-proyek tersebut secara optimal.

Pembahasan mengenai mekanisme pajak karbon merupakan topik menarik yang perlu menjadi perhatian utama dalam diskursus politik kenegaraan, termasuk para peserta pemilihan umum (pemilu) 2024.

Mengingat adanya urgensi dari masalah lingkungan pada saat ini, tidak salah jika dikatakan bahwa topik ini dapat menjadi difference maker dalam rangka mendulang suara pada kontestasi pemilu 2024.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023, pajak, pemilu 2024, pajak dan politik, pajak karbon, KBLBB

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Senin, 08 Juli 2024 | 11:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

PT Perorangan Bisa Manfaatkan PPh Final 0,5 Persen selama 4 Tahun

Senin, 08 Juli 2024 | 08:07 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Di Balik Bertahapnya Integrasi NIK-NPWP, Pertimbangan Kesiapan Sistem

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya