Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Hubungan antara Transparansi, Kepastian, dan Tax Control Framework

A+
A-
12
A+
A-
12
Hubungan antara Transparansi, Kepastian, dan Tax Control Framework

PRINSIP equality before the law (persamaan di hadapan hukum) merupakan fitur utama dalam konstitusi dan sistem perpajakan di banyak negara (Vanistendael, 1996). Menurut prinsip ini, semua wajib pajak bersamaan kedudukannya dan mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Namun demikian, apakah semua wajib pajak wajib diperlakukan secara sama?

Pada esensinya, prinsip persamaan di hadapan hukum tidak mewajibkan semua wajib pajak untuk diperlakukan secara sama persis satu dengan lainnya. Equals should be treated equally, and unequal should be treated unequally. Wajib pajak yang memiliki kondisi yang sama dengan wajib pajak lain, wajib diperlakukan sama. Namun, dalam kondisi yang berbeda, kedua wajib pajak tersebut diperlakukan secara berbeda.

Setiap perbedaan perlakuan tersebut tentunya harus memiliki dasar justifikasi yang rasional. Oleh karena itu, keputusan otoritas pajak untuk melakukan pemeriksaan kepada satu wajib pajak tidak otomatis berarti bahwa semua wajib pajak wajib diperiksa. Dalam hal ini, keputusan untuk memilih wajib pajak yang diperiksa haruslah didasarkan pada dasar justifikasi yang rasional (OECD, 2013).

Lalu, apa yang menjadi dasar justifikasi yang rasional untuk memberikan perlakuan yang berbeda kepada wajib pajak? Pilihan yang rasional untuk memberikan perlakuan yang berbeda diantara satu wajib pajak dan wajib pajak lain adalah didasarkan pada perbedaan profil atau tingkat risiko wajib pajak. Dengan kata lain, wajib pajak diperlakukan sesuai dengan profil atau tingkat risikonya.

Dengan melakukan segmentasi wajib pajak berdasarkan profil risiko, otoritas pajak dapat berkerja lebih efektif dalam mengadministrasikan pajak, melakukan pengawasan, dan meningkatkan kepatuhan dengan menggunakan sumber dayanya yang terbatas. Dengan demikian, segmentasi wajib pajak memfasilitasi peningkatan kepatuhan secara tepat dengan mengalihkan fokus pemeriksaan kepada wajib pajak berisiko tinggi.

Perbedaan perlakuan tersebut dirancang untuk mendorong banyak wajib pajak untuk mengubah perilakunya agar dapat dikelompokkan sebagai wajib pajak berisiko rendah. Namun penting untuk digarisbawahi bahwa perbedaan perlakuan itu tidak memengaruhi jumlah pajak terutang dari wajib pajak berisiko rendah maupun wajib pajak berisiko tinggi. Perbedaan perlakuan itu juga tidak dapat diartikan bahwa wajib pajak berisiko rendah dibebaskan dari pengenaan sanksi dan kewajiban pembayaran pajak yang kurang dibayar.

Namun demikian, wajib pajak mendapatkan apa yang disebut oleh Majdanka dan Wu (2017) sebagai “procedural concessions”, jika dikelompokkan sebagai wajib pajak berisiko rendah sehingga intensitas pemeriksaan terhadapnya pun berkurang. Tidak hanya itu, wajib pajak bisa mendapatkan kepastian di awal atas isu-isu pajak yang berisiko di internal wajib pajak jika risiko-risiko tersebut diungkapkan oleh wajib pajak kepada otoritas pajak. Kepastian itu dapat berupa pemberian tax ruling oleh otoritas pajak atas isu-isu pajak yang berdampak signifikan dan material bagi perusahaan.

Kepastian di awal akan diperoleh oleh wajib pajak jika setiap risiko pajak yang bersifat signifikan dan material serta ketidakpastian posisi pajak (uncertain tax position) di internal wajib pajak diungkapkan kepada otoritas pajak dan menjadi perhatian otoritas pajak. Dengan cara tersebut, isu-isu pajak yang dihadapi oleh wajib pajak dapat diselesaikan secara cepat sehingga dapat mengurangi sengketa yang tidak perlu dan penyelesaian sengketa yang berlarut-larut.

Untuk mendapatkan kepastian itu, wajib pajak diminta untuk transparan dengan menyediakan seluruh informasi yang berguna bagi otoritas pajak untuk melakukan penilaian risiko kepada wajib pajak (OECD, 2013). Dengan demikian, transparansi akan dipertukarkan dengan kepastian (transparency in exchange for certainty).

Hal itu berarti bahwa tidak akan ada transparansi yang ditukar dengan kepastian, tanpa adanya pengungkapan risiko pajak oleh wajib pajak dan kerangka kontrol risiko pajak di internal wajib pajak (OECD, 2013). Dengan demikian, wajib pajak harus memiliki sistem kontrol risiko pajak di internal wajib pajak, mengungkapkan risiko pajak kepada otoritas pajak, dan sekaligus berupaya memperbaiki kontrol risiko di internal wajib pajak, agar procedural concessions dapat diberikan.

Kerangka kontrol risiko pajak di internal wajib pajak ini disebut sebagai Tax Control Framework (TCF). Dengan memiliki TCF, wajib pajak dapat menunjukkan kepada otoritas pajak tentang bagaimana wajib pajak melakukan kontrol atas perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak, serta bagaimana wajib pajak memperbaiki kekeliruan yang mungkin timbul karena lemahnya sistem kontrol internal. Selain itu, wajib pajak dapat menunjukkan kemampuan sistem kontrol internal dalam mengidentifikasi dan memitigasi risiko-risiko pajak (OECD, 2016).

Tujuan utama dari TCF adalah untuk memberikan jaminan yang dapat diverifikasi bahwa risiko pajak tidak akan timbul karena kurangnya kontrol atau ketidakpahaman akan adanya risiko di internal wajib pajak. Namun, penting untuk dicatat bahwa adanya TCF tidak berarti bahwa risiko dan sengketa tidak akan muncul sama sekali. Hal itu disebabkan wajib pajak dan otoritas pajak dimungkinkan untuk tidak sependapat tentang perlakuan pajak atas suatu transaksi (Calderon, 2020).

OECD (2016) menyatakan bahwa memiliki kontrol atas risiko pajak tersebut tidak dapat diartikan secara sempit hanya sebatas pada kontrol dalam proses perhitungan, pelaporan dan pembayaran pajak saja. Tetapi seharusnya lebih luas lagi, wajib pajak memiliki kontrol atas konsekuensi atau eksposur pajak pada seluruh transaksi dan proses bisnis di internal wajib pajak. Selain itu, wajib pajak dapat dikatakan memiliki kontrol jika wajib pajak telah dapat mendeteksi, mendokumentasikan, dan melaporkan setiap risiko pajak yang bersifat signifikan dan material kepada otoritas pajak.

Dengan TCF yang efektif, wajib pajak memperoleh kesempatan untuk menunjukkan kepada otoritas pajak bahwa wajib pajak dapat dipercaya memiliki tingkat risiko yang rendah (low risk taxpayer). Ini juga merupakan kesempatan bagi wajib pajak untuk memperoleh kepastian atas penyelesaian isu-isu pajak yang bersifat signifikan dan material, serta atas ketidakpastian posisi pajak di internal wajib pajak.

Suatu TCF dikatakan efektif jika wajib pajak memiliki kontrol untuk mendeteksi, memperbaiki, dan menghindari atau mencegah kesalahan penyajian, serta mengidentifikasi dan memitigasi risiko-risiko pajak di internal wajib pajak. Untuk memastikan efektivitas TCF, otoritas pajak perlu melakukan pengujian atas TCF dalam rangka verifikasi kelayakan sistem dan prosedur kontrol di internal wajib pajak. Pengujian TCF oleh otoritas pajak bertujuan agar otoritas pajak mendapatkan bukti empiris sebagai dasar untuk memercayai posisi wajib pajak, atau “justified trust” (OECD, 2016).

Pengujian TCF oleh otoritas pajak tidak dimaksudkan sebagai bentuk konfirmasi atau persetujuan oleh otoritas pajak atas proses pelaksanaan kepatuhan atau proses penyusunan laporan pajak yang disampaikan oleh wajib pajak (OECD, 2016). Namun lebih tepatnya, pengujian atas efektivitas TCF oleh otoritas pajak dimaksudkan agar otoritas pajak mendapatkan jaminan tentang keandalan laporan pajak perusahaan dan pengungkapan risiko-risiko pajak yang material dari laporan pajak tersebut. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengujian TCF, silahkan baca juga tulisan Menimbang Pemeriksaan Pajak Berbasis Risiko.

Memiliki TCF merupakan petunjuk bahwa wajib pajak telah mengimplementasikan tata kelola pajak yang baik dengan adanya sistem dan prosedur kontrol risiko pajak di internal wajib pajak. Namun pengujian TCF oleh otoritas pajak tetap perlu dilakukan dalam rangka memastikan apakah wajib pajak benar-benar memiliki TCF yang efektif ataukah implementasi TCF di internal wajib pajak hanya sekedar gimmick compliance.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : Analisis Pajak, Tax Control Framework, Manajemen Pajak, Ganda Christian Tobing

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 01 Februari 2023 | 08:00 WIB
MENDESAIN PAJAK NATURA DAN KENIKMATAN (4)

Pengaturan Valuasi untuk Menentukan Dasar Pengenaan Pajak Natura

Selasa, 31 Januari 2023 | 08:00 WIB
MENDESAIN PAJAK NATURA DAN KENIKMATAN (3)

Pentingnya Penetapan Threshold dalam Pemajakan Natura dan Kenikmatan

Jum'at, 27 Januari 2023 | 08:00 WIB
MENDESAIN PAJAK NATURA DAN KENIKMATAN (2)

Meninjau Desain Klasifikasi Objek Pajak atas Natura dan Kenikmatan

Kamis, 26 Januari 2023 | 15:53 WIB
MENDESAIN PAJAK NATURA DAN KENIKMATAN (1)

Filosofi dan Kerangka Desain Pajak Penghasilan atas Natura

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya