Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Makna Internasional dari Konsep Hubungan Istimewa: Apakah Ada?

A+
A-
3
A+
A-
3
Makna Internasional dari Konsep Hubungan Istimewa: Apakah Ada?

Transfer pricing merupakan isu perpajakan terkait dengan kewajaran dalam penetapan harga dalam transaksi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Praktik manipulasi transfer pricing turut memberikan dampak pada pembagian hak pemajakan antaryurisdiksi secara wajar dan adil.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila isu transfer pricing kemudian diatur dalam tax treaty, khususnya pada Pasal 9Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model maupun United Nations (UN) Model (Pasal 9 tax treaty).

Pasal tersebut merupakan pernyataan atas konsensus global untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) pada transaksi hubungan istimewa. Saat ini, sudah banyak analisis mengenai penerapan arm’s length principle, tetapi menariknya, sedikit yang membahas konsep hubungan istimewa itu sendiri.

Hubungan istimewa, atau biasa dikenal dengan associated enterprises dalam Pasal 9 Ayat (1) tax treaty, pada intinya mensyaratkan adanya partisipasi modal, pengendalian manajemen dan terutama adanya ‘control, baik secara langsung maupun tidak langsung antarperusahaan.

Namun, pengertian istilah ‘control’ yang dimaksud dalam associated enterprises pada ketentuan Pasal 9 Ayat (1) tax treaty masih memiliki pengertian yang sangat luas (Rotondaro, 2000). Akhirnya timbul penafsiran berbeda-beda mengenai konsep associated enterprises di masing-masing negara, mulai dari jenis de jure control hingga jenis de facto control.

Sekarang pertanyaannya apakah konsep associated enterprises dalam ketentuan Pasal 9 tax treaty tersebut dapat ditafsirkan dengan menggunakan undang-undang/ketentuan domestik masing-masing negara?

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) tax treaty, suatu negara memang diperbolehkan untuk melakukan interpretasi menurut ketentuan domestik masing-masing negara apabila memang masih terdapat istilah-istilah yang belum mempunyai definisi dalam tax treaty. Namun, interpretasi secara domestik itu baru dapat dilakukan apabila konteks tax treaty memperbolehkan hal tersebut.

Untuk mengetahui konteks yang dimaksud dalam uraian tersebut, negara-negara yang mengikat perjanjian internasional (tax treaty merupakan perjanjian internasional) perlu mengacu dan memperhatikan hukum kebiasaan internasional sebagaimana tertuang dalam Article 31 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang salah satunya mengedepankan penjabaran/interpretasi dari ketentuan tax treaty agar dilakukan dengan benar dan penuh itikad baik.

Dengan demikian, ketentuan Pasal 3 Ayat (2) tax treaty tidak secara serta-merta membuka adanya interpretasi secara sepihak,tetapi perlu dilakukan interpretasi secara internasional terlebih dahulu. Dengan kata lain, konsep tersebut perlu disetujui atau disepakati untuk digunakan oleh kedua belah pihak dalam perjanjian internasional tersebut.

Interpretasi Bilateral & Multilateral
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 mengatur bahwa materi interpretasi yang dikedepankan adalah materi interpretasi bilateral, yaitu materi interpretasi yang telah digunakan dalam negosiasi tax treaty atau materi yang saat tax treaty itu dibuat diketahui oleh kedua belah pihak.

Sementara itu, materi unilateral, yaitu materi interpretasi yang dibuat sepihak oleh salah satu negara dan yang pada umumnya tidak diketahui negara lawan dalam tax treaty, sebaiknya dihindari untuk digunakan dalam interpretasi tax treaty.

Berdasarkan uraian di atas, apakah associated enterprises boleh diinterpretasikan secara sepihak? Jawabannya adalah tidak. Apabila konsep associated enterprises hanya diinterpretasikan secara sepihak tanpa diketahui dan disepakati terlebih dahulu oleh negara mitra perjanjian, besar kemungkinan akan timbul multitafsir antarnegara. Multitafsir tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan tujuan dari diadakannya tax treaty menjadi tidak tercapai.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki aturan domestik tersendiri yang mengatur mengenai konsep associated enterprises yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Bisa saja konsep associated enterprises yang dimiliki Indonesia berbeda dengan konsep associated enterprises yang diterapkan di negara lainnya.

Perbedaan inilah yang menjadi isu penting dan harus terselesaikan dalam negosiasi tax treaty sehingga pada pelaksanaan tax treatytidak terjadi kebingungan di antara masing-masing negara. Permasalahan yang timbul adalah apabila terdapat primary adjustment yang dilakukan di Indonesia akan tetapi tidak diikuti dengan corresponding adjustment di negara lawan yang disebabkan karena tidak terdapatnya associated enterprises menurut ketentuan domestik negara lawan. Ketidakcocokan interpretasi di antara negaratersebut akan menyebabkan munculnya perpajakan berganda ekonomi.

Dengan demikian, apakah yang dimaksud dengan associated enterprises dalam pengertian internasional? Associated enterprises seharusnya adalah pengendalian secara de jure control (Dwakarsing, 2011), yaitu pengendalian yang hanya dapat dipaksakan secara hukum. Contohnya, kepemilikan saham mayoritas dan/atau pengendalian manajemen.

Konsep associated enterprises sebagai de facto control adalah tidak tepat karena de facto control sebagai interpretasi associated enterprises adalah terlalu luas sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian.

Sampai saat ini, belum ada pengaturan yang diakui secara bersama dan jelas mengatur konsep associated enterprises yang terkandung dalam ketentuan Pasal 9 tax treaty. Perubahan dalam tax treaty untuk mendapatkan interpretasi yang sama mengenai konsep associated enterprises memerlukan negosiasi yang panjang dan alot sehingga dirasakan perlu untuk dilakukan harmonisasi peraturan yang diakui secara bersama.

Harmonisasi peraturan dapat dilakukan dengan memperjelas konsep associated enterprises dalam transfer pricing guidelines. Meskipun transfer pricing guidelines bukan merupakan peraturan yang mengikat, dalam praktiknya dapat dilihat adanya tren bahwa transfer pricing guidelines tersebut mempunyai dampak pada perumusan ketentuan domestik di berbagai negara. Dengan demikian,sebagai soft law, transfer pricing guidelines dapat menjadi medium untuk melakukan harmonisasi peraturan antarnegara.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : hubungan istimewa, makna internasional, transfer pricing, analisis transfer pricing

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Minggu, 25 Februari 2024 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Penyesuaian Sekunder oleh DJP atas Pengujian Penerapan PKKU

Jum'at, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB
ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Kamis, 22 Februari 2024 | 11:15 WIB
LITERATUR PAJAK

Promo Gajian! Ada Harga Spesial untuk Buku Transfer Pricing DDTC

Kamis, 22 Februari 2024 | 09:45 WIB
SERTIFIKASI PROFESIONAL PAJAK

Lagi, Profesional DDTC Raih Sertifikasi Internasional Bidang Pajak

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya