Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Meninjau Proses Keberatan dan Aspek Keadilan Bagi Wajib Pajak

A+
A-
5
A+
A-
5
Meninjau Proses Keberatan dan Aspek Keadilan Bagi Wajib Pajak

PERKENALKAN, Arif, seorang pengusaha makanan. Dia telah ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) karena omzetnya melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Sebagai konsekuensi atas penatapan PKP, Arif harus melakukan pemungutan PPN.

Suatu ketika dia berkewajiban menyetorkan kurang bayar pajak senilai Rp100 juta. Namun, ternyata Arif mendapat 'surat cinta' dari kantor pelayanan pajak (KPP) yang menyatakan bahwa dirinya dikenai pemeriksaan pajak. Ujungnya, Arif harus membayar Rp400 juta atas kurang bayar PPN.

Merespons hal itu, Arif menyatakan tidak setuju. Dia bersikeras bahwa perhitungan yang dilakukannya sudah tepat. Lantas apa yang harus dilakukan oleh Arif? Opsinya cuma 2, yakni membayar kurang bayar atau mengajukan keberatan.

Namun, pengajuan keberatan tidak semudah membalik telapak tangan. Penulis memandang ada sejumlah aspek yang perlu dilihat dalam proses keberatan di Indonesia.

Jika mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, tidak ada pasal yang mendefinisikan istilah keberatan. Namun, secara umum, keberatan adalah upaya yang dilakukan wajib pajak untuk menyampaikan ketidakpuasan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP). Penyampaian keberatan diharapkan bisa memberikan keadilan bagi wajib pajak.

Namun, kerap kali, pengajuan keberatan dianggap sebagai jalan bagi wajib pajak menuju ke tingkat banding. Alasannya, berdasarkan pada statistik Pengadilan Pajak, wajib pajak berpeluang lebih besar untuk menang pada level banding.

Laporan Kinerja Ditjen Pajak (DJP) 2022 mengungkapkan tingkat kemenangan wajib pajak pada ranah banding mencapai 61,95%. Fakta itu yang membuat wajib pajak lebih memilih berjuang pada level banding ketimbang keberatan.

Namun, banding bukannya tanpa risiko yang lebih besar. Ketika pada level keberatan, wajib pajak memikul risiko sanksi administrasi 30% jika ditolak. Sementara pada level banding, risiko yang diemban mencapai 2 kali lipatnya.

Keberatan Pajak

DALAM artikel Evaluasi Lembaga Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak yang Adil di Direktorat Jenderal Pajak (Supriyadi, 2018) disebutkan bahwa permohonan keberatan cenderung ditolak dan wajib pajak memiliki peluang untuk menang setelah berada pada level banding.

Tampubolon (2017) menyatakan kekuatan wajib pajak memang lebih lemah pada tingkat keberatan karena fiskus merangkap sebagai juri, sebagai pihak yang menerbitkan SKP. Seperti diketahui, fiskus juga memiliki tugas terkait dengan peningkatan penerimaan negara.

Kondisinya tentu jauh berbeda dengan banding yang berdiri sendiri di bawah Pengadilan Pajak. Pada banding, posisi wajib pajak dan fiskus cenderung setara.

Ganjalan pada level keberatan juga muncul ketika ada potensi conflict of interest oleh juri sehingga membuat putusan keberatan berpotensi tidak netral. Secara sederhana, fiskus berorientasi pada penerimaan negara, salah satunya dengan memberikan sanksi administrasi kepada wajib pajak melalui penolakan keberatan.

Selanjutnya, ada poin penting lain yang perlu disorot, yakni tekanan psikologis bagi fiskus. Perlu dipahami bahwa atas keberatan yang diterima wajib pajak, ada potensi dilakukannya pemeriksaan internal oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Akibatnya, fiskus ada peluang lebih memilih 'jalan aman' dengan menolak keberatan dan membiarkan hakim pengadilan pajak untuk mengambil keputusan di saat banding.

Pertanyaan selanjutnya, apakah wajib pajak harus berjuang lebih ekstra pada banding? Mengapa tidak menyelesaikannya pada proses keberatan saja?

Banding Jadi Solusi Berikutnya

PENULIS menilai ada baiknya sengketa pajak dapat diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat keberatan sehingga banding bisa menjadi solusi berikutnya. Artinya, banding bukan menjadi target solusi utama. Dengan demikian, sengketa pada banding akan lebih terseleksi dan tidak menumpuk sehingga putusan bisa memberikan keadilan yang maksimal.

Kemudian, atas keberatan semestinya diselenggarakan secara langsung oleh Pengadilan Pajak di tingkat wilayah yang lokasinya menyesuaikan keberadaan Kantor Wilayah (Kanwil) DJP di seluruh Indonesia. Hal ini akan membuat proses keberatan dapat diselenggarakan secara cepat tanpa harus pergi ke Pengadilan Pajak di Ibu Kota.

Kemudian, putusan akan diberikan oleh hakim pajak sehingga sama seperti banding. Lalu, atas putusan keberatan sebaiknya disampaikan langsung ke KPP tempat wajib pajak berada. Dengan ini, potensi dari conflict of interest akan terputus pada proses keberatan dan membuat fiskus tidak terbebani oleh tekanan psikologis.

Pada akhirnya, wajib pajak akan merasa diperhatikan dan mendapat keadilan yang maksimal sehingga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pembayaran pajak.

Penulis meyakini opini yang diuraikan di atas bisa menjadi bahan pertimbangan bagi calon presiden ataupun pemimpin terpilih di masa depan. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan, adalah meningkatkan kepatuhan pajak dan menegakkan keadilan pajak, baik bagi wajib pajak ataupun fiskus.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023, pajak, pemilu 2024, pajak dan politik, sengketa pajak, keberatan, banding, Pengadilan Pajak

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Mega Dwi Saputri

Kamis, 12 Oktober 2023 | 10:51 WIB
artikel sangat bermanfaat dan menarik
1

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 08:07 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Di Balik Bertahapnya Integrasi NIK-NPWP, Pertimbangan Kesiapan Sistem

Minggu, 07 Juli 2024 | 17:00 WIB
KPP PRATAMA CURUP

Kegiatan Membangun Sendiri Dilakukan Bertahap, Begini Aturan PPN-nya

Minggu, 07 Juli 2024 | 15:30 WIB
UU KUP

Fungsi SPT bagi Wajib Pajak, PKP dan Pemotong Sesuai UU KUP

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:00 WIB
PAJAK PENGHASILAN

Pegawai Dapat Uang untuk Sewa Kos dari Pemberi Kerja, Kena PPh 21?