Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Menyusun Kebijakan Pajak sebagai Respons atas Ekosistem Metaverse

A+
A-
206
A+
A-
206
Menyusun Kebijakan Pajak sebagai Respons atas Ekosistem Metaverse

PERKEMBANGAN teknologi kian masif. Hal ini telah mendorong transisi terwujudnya generasi kelima dari teknologi. Salah satu karakteristik teknologi generasi kelima adalah beralihnya penggunaan model web 2.0 ke model web 3.0.

Prinsip dari model web 2.0 adalah mengandalkan pemanfaatan internet melalui operasional smart device. Sementara model web 3.0 mengandalkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), internet of things (IoT) atau kombinasi dari keduanya (artificial intelligence of things/AIoT).

Secara konseptual, AIoT tidak sebatas mengenai relasi kecerdasan buatan pada teknologi, tetapi juga tentang tujuan untuk menerobos stagnasi pemanfaatan kecerdasan buatan pada lapisan luar teknologi yang berkembang saat ini.

Adapun pembahasan mengenai korelasi AIoT dan stagnasi juga tidak dapat dilepaskan dari diskursus terkait dengan ekosistem metaverse. Ekosistem ini menciptakan suatu konsepsi ekonomi baru, yakni meta-ekonomi.

Ekosistem metaverse bisa menjadi interpretasi virtual dari dunia yang telah ada saat ini. Penggunanya dapat melakukan kegiatan serupa yang selama ini di lakukan di dunia nyata. Kegiatan tersebut termasuk aktivitas perekonomian.

Salah satu jenis aktivitas perekonomian itu adalah kegiatan jual-beli aset virtual yang beragam jenis dan bentuknya. Goldman Sachs (2021) menegaskan transaksi atas aset virtual tumbuh positif layaknya eksistensi perdagangan elektronik berbasis sosial (social electronic commerce).

Kondisi tersebut menciptakan potensi yang besar bagi ekosistem metaverse dengan cakupan meta-ekonomi sebagai substitusi dari social electronic commerce. Artinya, bukan hanya sebagai komplementer.

Sebagai suatu inovasi, ekosistem metaverse tentu tidak lepas dari tantangan dan peluang, salah satunya terkait dengan perpajakan. Perpajakan atas aset virtual lintas geografis dan yurisdiksi ini dapat menimbulkan ketidakpastian dalam pengenaan nilai pajak kepemilikannya yang tidak mempunyai bentuk fisik (Lederman, 2007).

Dengan ketidakpastian tersebut, penghindaran hingga pengabaian pajak adalah hal yang niscaya untuk dilakukan para wajib pajak pengguna ekosistem metaverse itu sendiri (Kasiyanto & Kilinc, 2022; GSM Association, 2022).

Perlu untuk digarisbawahi, ekosistem metaverse merupakan ekosistem eksklusif yang membuat para penggunanya menjadi pihak eksklusif. Sederhananya, para penggunanya lebih banyak berasal dari kalangan masyarakat lapisan atas atau golongan high net worth individuals (HNWI).

Dalam konteks perpajakan nasional, HNWI dapat diinterpretasikan merujuk pada kelompok wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. Terhadap kelompok wajib pajak ini terkena tarif tertinggi, yakni sebesar 35%, sesuai dengan UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.

Menariknya, apabila sebagian penghasilan kena pajak dari kelompok HNWI ini berasal dari meta-ekonomi, regulasi perpajakannya belum komprehensif. Dengan demikian, ada celah hukum untuk mengalihkan harta atau objek pajak penghasilannya ke meta-ekonomi.

Bisa juga muncul celah pengalihan penghasilan wajib pajak badan yang terafiliasi dengan HNWI itu ke ekosistem metaverse. Tujuannya untuk menghindari pajak atau menekan besaran pengenaan pajak ke titik minimal dengan tidak melaporkan ke otoritas perpajakan (OECD, 2018).

Respons Otoritas

DENGAN kondisi tersebut, regulasi perpajakan untuk aset virtual—khususnya yang dimiliki HNWI ataupun kelompok afiliasinya—pada ekosistem metaverse menjadi hal strategis (J.P. Morgan, 2022). Oleh karena itu, perlu adanya respons dari otoritas perpajakan di setiap negara, termasuk Indonesia.

Respons itu tentu saja dalam wujud sebuah regulasi atau kebijakan. Perlu digarisbawahi, respons ini setidaknya harus memperhatikan tiga aspek, yaitu ekonomi, teknologi, dan hukum. Pada aspek ekonomi, penilaian terhadap valuasi aset virtual menjadi krusial bagi otoritas.

Hal tersebut setidaknya dilandasi oleh dua argumentasi. Pertama, valuasi aset virtual antara satu pengguna dan pengguna lain atau penyedia ekosistem metaverse dapat berbeda. Oleh karena itu, diperlukan standar yang terukur dari para regulator dalam negeri atas penilaian valuasi.

Kedua, valuasi aset virtual yang telah dinilai secara terukur itu akan menentukan besaran penghasilan kena pajak dari pemiliknya. Apabila ada peningkatan signifikan dari valuasi aset virtual, ada dorongan penambahan nilai pajak yang seharusnya disetorkan HNWI kepada otoritas.

Kemudian, pada aspek teknologi, otoritas perlu mencermati fenomena penyamaran identitas, bahkan anonim. Fenomena ini lazim dalam ekosistem metaverse. Otoritas dapat bekerja sama dengan pihak lain, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Dengan adanya kerja sama tersebut, otoritas perpajakan nasional dapat menelusuri aset virtual wajib pajak, terutama kelompok HNWI. Dengan demikian, HNWI tidak menjadikan ekosistem metaverse sebagai second tax heaven.

Pada aspek hukum, otoritas perlu menerbitkan regulasi yang memadai, responsif, dan komprehensif. Tujuannya agar wajib pajak kelompok HNWI tidak memanfaatkan celah dan mematuhi segala ketentuan yang berkeadilan.

Arah pemajakan HNWI pada ekosistem metaverse—yang mendorong meta-ekonomi—harus mencermati ketiga aspek di atas dalam satu kesatuan. Dengan demikian, pemajakan bagi HNWI dapat berjalan secara seimbang dan memberikan kemanfaatan untuk pembangunan nasional.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : Lomba Menulis DDTCNews 2022, HNWI, pajak, metaverse, teknologi informasi, AIoT, AI, IoT

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 10:30 WIB
KEBIJAKAN CUKAI

Pengaturan Tarif Cukai Rokok secara Multiyears Bakal Dilanjutkan

Senin, 08 Juli 2024 | 08:07 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Di Balik Bertahapnya Integrasi NIK-NPWP, Pertimbangan Kesiapan Sistem

Minggu, 07 Juli 2024 | 17:00 WIB
KPP PRATAMA CURUP

Kegiatan Membangun Sendiri Dilakukan Bertahap, Begini Aturan PPN-nya

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:00 WIB
PAJAK PENGHASILAN

Pegawai Dapat Uang untuk Sewa Kos dari Pemberi Kerja, Kena PPh 21?