Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Wamenkeu Sebut Pajak dan Perdagangan Karbon Berjalan Beriringan

A+
A-
0
A+
A-
0
Wamenkeu Sebut Pajak dan Perdagangan Karbon Berjalan Beriringan

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah Indonesia akan menerapkan pajak karbon dan perdagangan karbon melalui bursa secara beriringan sehingga para pelaku usaha memiliki pilihan.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pelaku usaha dapat memilih untuk mengurangi emisi dengan cara membeli unit karbon di pasar karbon atau dengan cara membayar pajak karbon ke pemerintah.

"Pajak karbon itu kami jadikan satu instrumen supaya pasar karbonnya bisa jalan," katanya, Rabu (13/9/2023).

Baca Juga: Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Suahasil menuturkan pajak karbon akan diterapkan pemerintah sejalan dengan peta jalan (roadmap) pasar karbon. Harapannya, langkah tersebut dapat mendukung upaya pemerintah dalam mengejar net zero emission.

"Dari awal ketika mendesain pajak karbon dalam UU HPP, tujuan kita adalah NDC dan net zero emission. Pajak karbon adalah alat agar seluruh perekonomian memiliki tujuan yang sama, memenuhi net zero emission," tuturnya.

Perdagangan karbon akan dimulai pada tahun ini berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 14/2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon dan Surat Edaran OJK 12/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.

Baca Juga: Naik Signifikan, Defisit Anggaran 2024 Diproyeksi Jadi Rp609,7 Triliun

Secara umum, POJK 14/2023 mengatur bahwa unit karbon yang diperdagangkan di bursa harus didaftarkan dalam sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim (SRN-PPI) dan penyelenggara bursa.

Suahasil menjelaskan bursa karbon Indonesia akan terbuka bagi pelaku usaha luar negeri. Dia bahkan memandang tak menutup kemungkinan akan banyak pihak dari luar negeri yang membeli unit karbon dari Indonesia.

"Kalau dari sisi kehutanan, kita ini penyedia likuiditas yang luar biasa besar. Jadi harusnya kita menawarkan likuiditas kita itu kepada dunia, jangan hanya kita yang ditawari listing di luar negeri," ujarnya. (rig)

Baca Juga: Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : wamenkeu suahasil nazara, pajak karbon, UU HPP, pajak, perdagangan karbon, emisi karbon, nasional

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Senin, 08 Juli 2024 | 11:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

PT Perorangan Bisa Manfaatkan PPh Final 0,5 Persen selama 4 Tahun

Senin, 08 Juli 2024 | 10:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Terima LHP dari BPK, Jokowi Kembali Soroti Perizinan yang Masih Rumit

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya