Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Implementasi Pajak Minimum Global, Peraturan Baru Disusun

A+
A-
3
A+
A-
3
Implementasi Pajak Minimum Global, Peraturan Baru Disusun

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menyusun rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) yang menjadi landasan penerapan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (25/10/2023).

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengimplementasikan income inclusion rule (IIR) serta qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) mulai tahun depan.

"Pada 2023 kita sedang susun PMK-nya. Kemudian, nanti rencananya pada 2024 kita sudah mengimplementasikan IIR dan QDMTT. Pada 2025, sesuai dengan guideline kita akan coba implementasi UTPR (undertaxed payment rule)," ujar Mekar.

Baca Juga: Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Sesuai dengan Pilar 2, IIR adalah klausul yang menjadi landasan bagi yurisdiksi untuk mengenakan top-up tax atas ultimate parent entity (UPE) ketika anak usaha dari perusahaan multinasional tersebut dikenai pajak dengan tarif efektif di bawah 15% oleh yurisdiksi lain.

Sementara QDMTT adalah klausul yang menjadi landasan bagi yurisdiksi untuk mengenakan pajak minimum domestik sebesar 15%. Bila suatu yurisdiksi mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki berdasarkan QDMTT, yurisdiksi tempat UPE berlokasi kehilangan hak untuk mengenakan top-up tax lewat IIR.

Mekar mengatakan penerapan IIR dan QDMTT di Indonesia telah didukung oleh 2 landasan hukum, yakni Pasal 32A Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) serta Pasal 54 PP 55/2022.

Baca Juga: Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Selain mengenai implementasi Pilar 2, ada pula ulasan terkait dengan rencana pemberian insentif pajak atas pembelian properti. Kemudian, ada juga bahasan tentang Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.

Rancangan PMK terkait dengan Implementasi Pajak Minimum Global

Analis Kebijakan Perpajakan Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti mengatakan RPMK terkait dengan penerapan pajak minimum global akan dibahas antarkementerian. Selanjutnya, pemerintah akan menggelar public hearing untuk menggali masukan dari stakeholders.

Secara umum, PMK tentang penerapan pajak minimum global akan mengatur tentang cakupan pajak minimum global dan pengecualiannya, pengenaan pajak tambahan atau top-up tax berdasarkan pada IIR dan UTPR, serta penghitungan laba rugi GloBE.

Baca Juga: Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

PMK juga akan mendefinisikan pajak tercakup atau covered taxes, jenis pajak yang tercakup, alokasi pajak tercakup, penyesuaian pajak tercakup, penyesuaian pajak tangguhan. Ada pula definisi tarif pajak efektif, persentase top-up tax, pengurangan berdasarkan substance based income exclusion (SBIE), serta de minimis top-up tax.

PMK juga akan mengatur tata cara penyampaian surat pemberitahuan GloBE atau global information return (GIR) beserta safe harbor. Pada bab terakhir, PMK juga akan memuat ketentuan tentang ruang lingkup QDMTT atau pajak minimum domestik, penghitungan QDMTT, dan alokasi QDMTT. (DDTCNews)

Cakupan Pengenaan Pajak Minimum Global

Analis Kebijakan Perpajakan Internasional BKF Melani Dewi Astuti mengatakan konsensus atas Pilar 2 sudah tercapai. Indonesia mau tidak mau harus turut serta mengadopsi pilar tersebut. Pasalnya, Indonesia tetap akan terdampak bila yurisdiksi UPE memutuskan untuk mengadopsi Pilar 2.

Baca Juga: Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

"Jika negara domisili investor menerapkan GloBE rules maka Indonesia tetap akan terdampak. It's not about choice, kadang-kadang ya mau enggak mau," ujar Melani.

Namun, pajak minimum global hanya berdampak pada grup perusahaan multinasional dengan omzet di atas EUR750 juta. Wajib pajak bagian dari perusahaan multinasional dengan omzet di bawah threshold tidak akan terdampak dan masih bisa menerima insentif tanpa perlu dikenai top-up tax.

Bagi wajib pajak penerima insentif yang merupakan bagian dari perusahaan multinasional beromzet di atas EUR750 juta, wajib pajak tersebut bakal dibebani top-up tax bila tarif pajak efektif yang ditanggung kurang dari 15%. (DDTCNews)

Baca Juga: Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

3 Insentif yang Terdampak Pajak Minimum Global

Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama menyebut insentif yang bakal terdampak langsung oleh pajak minimum global antara lain tax holiday, supertax deduction atas kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang), dan tax allowance.

"Kalau memang kepada perusahaan diberikan tax holiday 100% karena penanaman modalnya di atas Rp500 miliar, ini sudah jelas terdampak karena tarif pajak efektifnya di bawah 15%, bahkan bisa 0%," katanya.

Menurutnya, fasilitas supertax deduction atas kegiatan litbang berpotensi terdampak pajak minimum global apabila biaya litbang yang dikeluarkan wajib pajak sangat besar dan menyebabkan tarif pajak efektif turun menjadi lebih rendah dari 15%.

Baca Juga: Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Begitu juga dengan fasilitas tax allowance. Fasilitas itu berpotensi terdampak oleh pajak minimum global jika penanaman modal yang menjadi dasar pemberian tax allowance sangat besar dan menekan tarif pajak efektif menjadi di lebih rendah dari 15%. (DDTCNews)

PPN Ditanggung Pemerintah atas Rumah di Bawah Rp2 Miliar

Pemerintah akan memberikan insentif pajak untuk sektor properti. Kali ini, pemerintah akan menanggung 100% pajak pertambahan nilai (PPN) atas pembelian rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. Kebijakan ini akan berlangsung hingga Juni 2024.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan setelah Juni 2024, pemerintah hanya akan menanggung 50% PPN atas rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. Airlangga belum memerinci secara spesifik periode pemberlakuan aturan ini.

Baca Juga: Target Pajak Diperkirakan Tidak Tercapai, Shortfall Rp66,9 Triliun

"Presiden (Jokowi) meminta program PPN ditanggung pemerintah untuk pembelian rumah atau properti di bawah Rp2 miliar, ini berlaku PPN 100% ditanggung pemerintah sampai dengan Juni tahun depan. Sesudah Juni, PPN 50% ditanggung pemerintah," kata Airlangga.

Tidak hanya PPN, biaya administrasi senilai Rp4 juta terkait dengan transaksi jual beli rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) juga akan ditanggung pemerintah. Biaya administrasi itu mencakup bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang ditanggung pembeli rumah. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

Pantau SP2DK, Nanti Bisa Lewat Akun Wajib Pajak

DJP siap mendigitalisasikan SP2DK sejalan dengan pembaruan sistem inti administrasi pajak (coretax administration system/CTAS). DJP tengah mengembangkan akun wajib pajak (taxpayer account) guna memudahkan wajib pajak mengakses berbagai layanan, termasuk memantau status SP2DK.

Baca Juga: Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya

"Bahwa di sana [taxpayer account] ada SP2DK, wajib pajak boleh dilihat SP2DK-nya apakah sudah closed atau tidak. Kalau sudah closed, dia harusnya akan bergeser nanti tempatnya," ujar Kasubdit Humas Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti. (DDTCNews) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : berita pajak hari ini, berita pajak, pajak, pajak minimum global, OECD, pilar 2, Ditjen Pajak, DJP, BKF, insentif pajak

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 08:07 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Di Balik Bertahapnya Integrasi NIK-NPWP, Pertimbangan Kesiapan Sistem

Minggu, 07 Juli 2024 | 17:00 WIB
KPP PRATAMA CURUP

Kegiatan Membangun Sendiri Dilakukan Bertahap, Begini Aturan PPN-nya

Minggu, 07 Juli 2024 | 15:30 WIB
UU KUP

Fungsi SPT bagi Wajib Pajak, PKP dan Pemotong Sesuai UU KUP

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:00 WIB
PAJAK PENGHASILAN

Pegawai Dapat Uang untuk Sewa Kos dari Pemberi Kerja, Kena PPh 21?