Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

PMK Pajak Natura Masih Disusun, Pemotongan Mulai Kapan? Ini Kata DJP

A+
A-
57
A+
A-
57
PMK Pajak Natura Masih Disusun, Pemotongan Mulai Kapan? Ini Kata DJP

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) memperkirakan pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja baru berjalan pada semester II/2023. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (11/1/1023).

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan detail ketentuan pajak atas natura akan dituangkan dalam peraturan menteri keuangan (PMK) yang sedang disusun. Pemerintah juga akan memberikan periode transisi—yang dibarengi dengan sosialisasi—pemotongan PPh atas natura dan/atau kenikmatan.

“Kalau 2022 pasti enggak ada pemotongan. Saat ini, Januari, PMK juga belum terbit. Jadi, belum ada pemotongan juga. Pasti kami akan memberikan periode transisi. Semester I/2023 kira-kira transisinya untuk kami selesaikan detailnya supaya lebih berkeadilan, lebih memberikan kepantasan,” jelasnya.

Baca Juga: Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Dengan adanya periode transisi tersebut, sambung Suryo, pemotong PPh atas natura dan/atau kenikmatan dapat memotong pajak dengan tepat. Hal ini dikarenakan batasan serta jenis-jenis natura dan/atau kenikmatan sudah lebih jelas diatur dalam PMK.

“Harapannya mungkin semester depan [semester II/2023] sudah mulai. Pemotongan pajak atas natura ini bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya,” imbuh Suryo.

Selain mengenai PPh atas natura dan/atau kenikmatan, ada pula ulasan terkait dengan rencana penggunaan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21. Kemudian, ada bahasan tentang validasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Baca Juga: Naik Signifikan, Defisit Anggaran 2024 Diproyeksi Jadi Rp609,7 Triliun

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Fasilitas untuk Karyawan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Natura

Dirjen Pajak Suryo Utomo menjamin fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan, seperti komputer, laptop, handphone, hingga pulsa dari pemberi kerja akan dikecualikan dari objek pajak.

"Bagi pemberi kerja ini adalah biaya karena dengan ponsel dan laptop diupayakan untuk mendapatkan penghasilan. Namun, di sisi yang menerima bukan penghasilan karena memang harus untuk kegiatan pegawai yang bersangkutan," ujar Suryo.

Selanjutnya, bingkisan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada karyawan pada hari raya pada batas tertentu juga akan dikecualikan dari objek pajak. "Tujuan kita adalah untuk mendorong kesejahteraan. Kita juga pengen yang adil dan yang pantas untuk pemberian natura ini,” imbuhnya.

Baca Juga: Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Selain itu, fasilitas tempat tinggal yang ditujukan untuk menampung pegawai secara bersama-sama secara komunal seperti mes atau asrama juga akan dikecualikan dari objek PPh. Fasilitas kendaraan yang diterima pegawai, selain pegawai yang menduduki jabatan manajerial, juga akan dikecualikan.

"Kami mencoba menjaga bagi pekerja yang selama ini mendapatkan [natura dan/atau kenikmatan] dia bukan objek PPh, tapi di sisi yang lain dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan," kata Suryo. (DDTCNews/Kontan/Tempo)

Usulan Desain Ketentuan Teknis Pajak Natura

Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan desain ketentuan teknis dari pajak natura dan/atau kenikmatan sangat menantang. Hal ini dikarenakan tujuan pengenaan pajak tersebut untuk menjamin keadilan dan mencegah tax planning.

Baca Juga: Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Jika ketentuan teknis tidak didesain dengan tepat, Bawono khawatir akan muncul distorsi terhadap produktivitas serta upaya-upaya perusahaan untuk menggaji karyawannya. Dia pun berpendapat ketentuan teknis memuat daftar natura dan/atau kenikmatan yang menjadi objek PPh, bukan perincian pengecualian.

Dengan skema positive list, pajak hanya akan dikenakan atas natura dan/atau kenikmatan yang telah diperinci secara jelas dalam peraturan. Hal ini untuk memberikan kepastian bagi wajib pajak mengenai perincian natura dan/atau kenikmatan yang harus dihitung, dibayar, dan dilaporkan pajaknya.

Selain itu, menurutnya, batasan nilai pengenaan pajak harus menciptakan keadilan. Dia memberi contoh karyawan pada posisi tertentu sehingga batasan itu diharapkan tidak terlalu rendah. Pemerintah, sambungnya, juga perlu memperjelas tata cara dan pihak yang berhak menghitung.

Baca Juga: Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

“Sebisa mungkin penggunaan nilai pasar juga tidak memberikan cost of compliance bagi wajib pajak,” imbuh Bawono. (Tempo)

Definisi Biaya 3M Terkait Natura

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan definisi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan terkait dengan natura dan/atau kenikmatan akan diatur secara hati-hati.

"Kami tentukan secara hati-hati. Isu keadilan dan kepantasan akan menjadi tolok ukur dalam menentukan batasan, termasuk batasan dari 3M ini," katanya.

Baca Juga: Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Suryo mencontohkan pemberi kerja yang memberikan fasilitas berupa olahraga golf kepada karyawan. Apabila karyawan mendapatkan fasilitas golf yang tidak terkait dengan upaya untuk memperoleh penghasilan maka fasilitas tersebut tidak dapat dibiayakan.

"Kami definisikan pelan-pelan. Namanya 3M itu kan mencari, memperoleh, memelihara. Bagaimana kami mendefinisikan itu? Nanti kita lihat. Saya tidak bisa buru-buru, kami mesti mendefinisikan karena treatment-nya berbeda," ujar Suryo. (DDTCNews/Kontan)

Tarif Efektif Pemotongan PPh Pasal 21

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 masih disusun. Oleh karena itu, pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima karyawan tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.

Baca Juga: Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

"Besaran [tarif efektif] masih terus kita kalibrasi sampai ketemu titiknya [yang] pas, supaya di akhir tahun para karyawan itu tidak lagi pusing. Jadi yang dipotong sudah pas," ujar Suryo.

Lapisan tarif efektif PPh Pasal 21 akan disusun sedetail mungkin agar nantinya tidak ada kurang bayar atau lebih bayar yang signifikan sehingga membebani wajib pajak karyawan. Simak pula ‘DJP Bakal Kenakan Tarif Efektif PPh Pasal 21, Begini Mekanismenya’. (DDTCNews)

Validasi NIK-NPWP

DJP mencatat sebanyak 16 juta wajib pajak masih belum melakukan validasi NIK sampai dengan 8 Januari 2023.

Baca Juga: Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan jumlah NIK yang telah divalidasi sebagai NPWP telah mencapai 53 juta NIK. Jumlah itu sekitar 76% dari total 69 juta NIK. Dia pun mengimbau wajib pajak segera melakukan validasi NIK sebagai NPWP melalui DJP Online.

"Ini yang terus menerus kami coba encourage wajib pajak agar melakukan pemutakhiran atau update data di sistem," katanya. (DDTCNews) (kaw)

Baca Juga: Target Pajak Diperkirakan Tidak Tercapai, Shortfall Rp66,9 Triliun

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : berita pajak hari ini, berita pajak, pajak, natura, fringe benefit tax, FBT, Ditjen Pajak, DJP, UU HPP, PP 55/2022

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Senin, 08 Juli 2024 | 11:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

PT Perorangan Bisa Manfaatkan PPh Final 0,5 Persen selama 4 Tahun

Senin, 08 Juli 2024 | 08:07 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Di Balik Bertahapnya Integrasi NIK-NPWP, Pertimbangan Kesiapan Sistem

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya