Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Urgensi Reformasi Sistem Perpajakan Passive Income

A+
A-
21
A+
A-
21
Urgensi Reformasi Sistem Perpajakan Passive Income

BERDASARKAN dasar pengenaan pajaknya, penghasilan orang pribadi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penghasilan yang dikenakan pajak final (PPh Final) dan penghasilan yang dikenakan pajak nonfinal (PPh Nonfinal).

PPh Final atau PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan langsung dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas berbagai jenis penghasilan yang umumnya bersifat pasif (passive income). Sementara itu, PPh Non-Final seperti upah dan gaji dikenakan tarif pajak progresif sesuai dengan Pasal 17.

Tujuan pemerintah menetapkan PPh Final pada dasarnya untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan beban administrasi bagi wajib pajak. Akan tetapi, pemberlakuan sistem ini memicu beberapa kontroversi terkait asas keadilan bagi wajib pajak.

Pertama, tarif PPh Final pada umumnya lebih rendah daripada tarif teratas PPh Nonfinal. Contoh, tarif atas penghasilan bunga tabungan dan deposito 20%, penghasilan dividen 10%, keuntungan penjualan tanah/bangunan 5%, dan tarif atas keuntungan penjualan saham hanya 0,1%.

Semua tarif PPh Final ini di bawah tarif pajak progresif batas teratas 30%. Sistem pemungutan PPh Final juga langsung, artinya penghasilan yang dikenai PPh Final dikecualikan dalam pajak tahunan. Hal ini menyebabkan perbedaan beban pajak atas passive income dan active income.

Dengan kata lain, wajib pajak yang mayoritas penghasilannya berasal dari passive income cenderung dikenakan pajak yang relatif lebih rendah daripada wajib pajak yang penghasilannya berasal dari gaji/upah.

Kedua, PPh Final dikenakan atas passive income yang biasanya komponen terbesar sumber penghasilan wajib pajak orang kaya. Penelitian dari Tax Policy Centre (2015) mengungkapkan 75% penghasilan wajib pajak orang kaya berasal dari passive income yang dikenakan PPh Final.

Pengenaan pajak dengan tarif lebih rendah dari batas atas tarif progresif ini dapat dianggap sebagai insentif bagi wajib pajak orang kaya. Sementara itu, wajib pajak orang pribadi kelas bawah dan menengah yang mayoritas penghasilannya dari gaji dan upah justru dikenakan tarif progresif.

Ketiga, aturan PPh Final sudah lama tidak diperbarui. Contoh, PPh Final atas keuntungan penjualan saham diatur Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997.

Aturan yang sudah berumur lebih dari 20 tahun tersebut dianggap sudah tidak relevan dan harus diperbarui mengikuti dengan perkembangan dunia saham yang semakin pesat selama dua dekade terakhir.

Selain itu, sistem PPh Final ini patut diduga sebagai penyebab rendahnya penerimaan pajak orang pribadi nonkaryawan di Indonesia. Karena itu, perlu dipertimbangkan untuk melakukan evaluasi atas sistem perpajakan passive income untuk menjamin keadilan bagi seluruh lapisan wajib pajak.

Dua Alternatif
ADA paling tidak dua alternatif untuk menyelesaikan masalah ini. Pertama, tarif PPh Final sama dengan pajak gaji/upah. Praktik ini dilakukan di Australia, Belarusia, Denmark, Italia, Korea, Luksemburg, Selandia Baru, Norwegia, Paraguay, Romaia, Rwanda, Taiwan, Thailand, dan Venezuela.

Salah satu komponen dalam penghitungan taxable income yang terkena tarif progresif adalah capital gain (PwC, 2020). Dengan sistem ini, diharapkan ada peningkatan penerimaan pajak dari passive income yang mayoritas diperoleh wajib pajak orang kaya.

Namun, perubahan sistem ini akan menambah risiko penghindaran pajak karena pajak passive income tidak langsung dipotong pemberi penghasilan, tetapi dilapor dan disetorkan sendiri wajib pajak bersangkutan melalui pelaporan SPT Tahunan.

Kedua, menaikkan tarif PPh Final atas passive income sehingga tidak jauh berbeda dengan tarif yang dikenakan atas penghasilan nonfinal. Hal ini patut dipertimbangkan karena tarif PPh Final di Indonesia terbilang cukup rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

Jepang misalnya memiliki PPh Final dengan tarif 20,315% atas keuntungan penjualan saham dan 39,63% atas keuntungan penjualan properti, Finlandia (34%), Irlandia (33%), dan Malaysia (30%) atas keuntungan penjualan properti (PwC, 2020).

Reformasi sistem perpajakan atas passive income perlu menjadi pertimbangan tidak hanya untuk menjamin asas keadilan bagi seluruh lapisan wajib pajak, tetapi juga untuk meningkatkan penerimaan pajak mengingat besarnya kebutuhan belanja guna membiayai pemulihan ekonomi nasional.

Terlebih lagi, pajak atas orang kaya merupakan salah satu sektor yang masih berpotensi digali pada masa pandemi ini guna meningkatkan kontribusi mereka dalam penanggulangan pandemi Covid-19 sesuai dengan prinsip those with the broadest shoulders should bear the greatest burden.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : opini pajak, passive income, reformasi pemajakan passive income

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Khalif Zaidan

Senin, 31 Mei 2021 | 17:17 WIB
Mungkin bisa dibahas lebih luas lagi bahwa pph final di Indonesia dpp nya adalah bruto bukan neto. Bisa kembali ke definisi penghasilan di Pasal 4 UU PPh. Lebih jauh, kalau dibandingkan dengan Jepang yg 20% tarifnya, kata-kata yg penulis sendiri pakai adalah "keuntungan", jadi perbandingan tersebut ... Baca lebih lanjut

SuperHero

Rabu, 26 Mei 2021 | 09:18 WIB
lol broadest shoulders should bear the greatest burden. emang WP itu superhero kok ga pegawai ditjen aja jadi superheronya? tunjangan dan gaji kalian dari pajak kok jadi hero aja?
1

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 21 April 2022 | 12:15 WIB
OPINI PAJAK

Menggagas Kesetaraan Gender dalam Sistem Pajak Indonesia

Selasa, 29 Maret 2022 | 15:39 WIB
OPINI PAJAK

Yakin Sekadar Lapor SPT Tahunan?

Jum'at, 04 Maret 2022 | 17:25 WIB
OPINI PAJAK

Menggagas Pemberian Manfaat Langsung bagi Wajib Pajak Patuh

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya