Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Mengurai Berbagai Konsekuensi Kebijakan Pengecualian PPN

A+
A-
0
A+
A-
0
Mengurai Berbagai Konsekuensi Kebijakan Pengecualian PPN

DALAM beberapa waktu terakhir ini, pengecualian PPN menjadi salah satu diskursus yang mewarnai lanskap pajak nasional dan global. Implementasinya menuai perdebatan dari berbagai pihak, baik dari akademisi maupun lembaga internasional, karena dianggap menggerogoti sistem PPN itu sendiri.

Terlebih, tidak ada suatu konsensus yang dapat menjadi pedoman bagi pelaksanaan pengecualian PPN. Setiap negara memiliki pertimbangannya sendiri dalam menentukan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN atau dikecualikan.

Faktanya, perluasan basis pajak PPN telah menjadi tren kebijakan yang diterapkan berbagai negara pada 10 tahun terakhir (OECD, 2020). Lantas, faktor apa yang menjadi latar belakang tren tersebut? Seperti apa dampak kebijakan tersebut terhadap sistem pajak dan perekonomian secara luas?

Baca Juga: Jualan Online-Reseller, Hitung Pajak Pakai Pembukuan atau Pencatatan?

Dalam salah satu bab dari buku suntingan Rita de la Feria berjudul VAT Exemptions Consequences and Design Alternatives, kita dapat memperoleh pencerahan terkait jawaban atas pertanyaan tersebut melalui analisis komprehensif implementasi pengecualian PPN di beberapa negara, termasuk soal desain alternatif kebijakan menuju sistem PPN yang lebih modern.

Bab bertajuk Ending VAT Exemptions: Towards a Post-Modern VAT menyebutkan ada dua hal yang mendasari pengecualian PPN. Pertama, alasan teknis kebijakan. Otoritas pajak kerap kali kesulitan untuk menentukan dasar pengenaan pajak pada barang/jasa tertentu, seperti properti tidak bergerak dan jasa keuangan, termasuk asuransi.

Kedua, tujuan ekonomi politik. Banyak negara mengecualikan barang/jasa tertentu yang dianggap sebagai layanan publik dan memiliki kepentingan sosial seperti jasa pendidikan, kesehatan, serta jasa transportasi publik. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan vertikal serta meningkatkan eksternalitas positif dari layanan publik.

Baca Juga: Anggota Parlemen Ini Usulkan Minuman Berpemanis Kena Cukai 20 Persen

Namun, apakah tujuan itu tercapai? Perkembangan literatur pajak justru menyimpulkan pengecualian PPN khususnya barang/jasa sektor publik ternyata memiliki berbagai konsekuensi negatif, mulai dari dapat mendistorsi perekonomian, menggerus basis pajak, hingga menurunkan penerimaan negara.

Terlebih, pengecualian PPN terhadap layanan publik dianggap menjadi mekanisme hidden subsidy yang tidak efektif. Subsidi ini cenderung menjadi ajang bagi pemasok untuk melakukan profit taking baik melalui kenaikan harga maupun peningkatan volume produksi ke level yang tidak mencerminkan efisiensi pasar.

Berbeda dengan mayoritas negara lainnya, Australia dan Selandia Baru memilih untuk mengenakan PPN terhadap seluruh barang/jasa tak terkecuali yang berkaitan dengan pengadaan layanan publik (full taxation). Adapun, sebagian besar jasa pendidikan dan kesehatan di Australia menjadi objek PPN dengan tarif zero-rated.

Baca Juga: Negara Ini Siapkan Kembali Insentif Pajak untuk Tenaga Ahli Asing

Sementara itu, Selandia Baru memperlakukan entitas di sektor publik, baik institusi publik maupun swasta, sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Berbeda dengan Australia, sistem PPN di Selandia Baru memiliki barang/jasa dengan tarif zero-rated serta pengecualian opsional yang jumlahnya lebih sedikit. Lebih jauh, Selandia Baru juga memungut PPN bagi produk kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan obat-obatan.

Secara keseluruhan, buku ini menganalisis pengecualian PPN yang ekstensif lebih banyak ditemukan pada negara yang memiliki sistem PPN yang cenderung konvensional, sedangkan negara yang menganut sistem PPN yang lebih modern telah mengarah kepada pembatasan pengecualian PPN dan menuju rezim full taxation. Tak heran, semakin banyak yang mempersempit pengecualian PPN belakangan ini.

Perkembangan tren pembatasan pengecualian PPN ini terjadi karena kebijakan tersebut terbukti tidak efektif dalam mencapai tujuan sosial dan redistribusi pendapatan serta menyumbang revenue foregone yang signifikan. Pengecualian PPN juga tak mencerminkan prinsip utama PPN di mana dapat menimbulkan pajak yang lebih tinggi (overtaxation) kepada bisnis dan pajak yang lebih minim (undertaxation) kepada konsumen akhir.

Baca Juga: Per 1 Juli 2024, Negara Ini Pangkas Tarif Pajak Penghasilan

Pada bab-bab selanjutnya, buku yang diterbitkan tahun 2013 ini juga mengupas berbagai diskursus menarik lainnya mengenai konsekuensi serta alternatif kebijakan pengecualian PPN dari beberapa negara. Penasaran? Silakan Anda baca langsung di DDTC Library. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : resensi, jurnal, buku, literasi, kebijakan pajak, pengecualian PPN, pajak internasional

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya