Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

OECD Rilis Working Paper tentang Desain Presumptive Tax

A+
A-
3
A+
A-
3
OECD Rilis Working Paper tentang Desain Presumptive Tax

Working paper OECD bertajuk The Design of Presumptive Tax Regimes.

PARIS, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis working paper yang bertajuk The Design of Presumptive Tax Regimes.

Dalam working paper tersebut, OECD mengembangkan kerangka analitis yang dapat membantu stakeholder untuk mengidentifikasi dan membandingkan rezim presumptive tax yang berlaku di setiap negara.

"Perbandingan diperlukan agar otoritas pajak dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari presumptive tax yang berlaku," tulis Mariona Mas-Montserrat dalam working paper tersebut, dikutip pada Jumat (17/2/2023).

Baca Juga: Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Dalam rezim presumptive tax, pajak dikenakan berdasarkan basis pajak tertentu yang diasumsikan dapat mencerminkan penghasilan kena pajak yang sebenarnya.

Presumptive tax seringkali diberlakukan oleh yurisdiksi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak tertentu yang tergolong sulit dipajaki (hard to tax), mulai dari wajib pajak yang melakukan pekerjaan bebas sampai dengan UMKM.

Melalui kebijakan presumptive tax, pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang dimaksud dengan menurunkan biaya kepatuhan melalui penyederhanaan tata cara penghitungan dan pelaporan pajak. Upaya ini juga dapat menurunkan informalitas ekonomi dan memperluas basis pajak.

Baca Juga: Naik Signifikan, Defisit Anggaran 2024 Diproyeksi Jadi Rp609,7 Triliun

Bagi otoritas pajak, kebijakan presumptive tax tersebut dapat menurunkan biaya administrasi. Dengan presumptive tax, pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak juga dapat dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan biaya yang berlebih.

Namun, presumptive tax juga memiliki beragam kekurangan. Pertama, presumptive tax berpotensi menghambat pertumbuhan kegiatan usaha. Sebab, terdapat potensi wajib pajak untuk memilih tetap berstatus sebagai UMKM sehingga terhindar dari beban administrasi pajak yang berlebih.

Kedua, presumptive tax juga memiliki potensi mendorong praktik penghindaran dan pengelakan pajak. Pelaku usaha berpotensi secara sengaja memecah kegiatan usahanya atau melaporkan omzet lebih rendah dari yang sebenarnya sehingga terhindar dari kewajiban membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum.

Baca Juga: Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Ketiga, presumptive tax berpotensi menggerus keadilan sistem pajak. Kelompok wajib pajak yang sama berpotensi menanggung beban pajak yang sama meski memiliki tingkat laba yang berbeda. Sebaliknya, wajib pajak dengan tingkat laba yang sama berpotensi menanggung beban pajak yang berbeda.

Keempat, presumptive tax berpotensi menghambat formalisasi pembelian input. Dalam rezim presumptive tax, wajib pajak tidak diperkenankan untuk mengurangkan biaya. Akibatnya, wajib pajak bakal terdorong untuk memenuhi kebutuhan barang inputnya dari sektor informal sepanjang dapat menekan biaya.

Di Indonesia, presumptive tax juga diberlakukan dalam bentuk PPh final. Hal ini telah dibahas dalam working paper DDTC yang berjudul Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia. Unduh working paper DDTC di sini.

Baca Juga: Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Guna meningkatkan kepatuhan dari sektor yang tergolong sulit dipajaki, presumptive tax dihadirkan melalui PP 46/2013 yang mengatur tentang pengenaan PPh final sebesar 1% atas peredaran bruto bagi wajib pajak UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar.

Dalam perkembangannya, PP tersebut direvisi dengan PP 23/2018. Revisi tersebut membuat tarif PPh final diturunkan dari 1% menjadi tinggal 0,5%. Adapun tarif 0,5% ini masih dipertahankan hingga saat ini dalam PP 55/2022.

Tak hanya bagi UMKM, presumptive tax dalam bentuk PPh final diterapkan atas usaha jasa konstruksi sejak berlakunya UU 10/1994. Kebijakan tersebut masih berlanjut hingga kini dan telah diperbarui seiring dengan diundangkannya PP 9/2022. (rig)

Baca Juga: Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : prancis, oecd, pajak, pajak internasional, laporan oecd, presumptive tax, pph final

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Senin, 08 Juli 2024 | 11:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

PT Perorangan Bisa Manfaatkan PPh Final 0,5 Persen selama 4 Tahun

Senin, 08 Juli 2024 | 08:07 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Di Balik Bertahapnya Integrasi NIK-NPWP, Pertimbangan Kesiapan Sistem

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya