Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Soal Kripto dan NFT, Industri Ini Minta Pengecualian Kewajiban Pajak

A+
A-
1
A+
A-
1
Soal Kripto dan NFT, Industri Ini Minta Pengecualian Kewajiban Pajak

Ilustrasi.

PARIS, DDTCNews – Perwakilan industri kripto memohon OECD untuk mengecualikan kewajiban pelaporan pajak atas aset berupa mata uang kripto, non-fungible token (NFT), decentralize finance (DeFi), dan pembayaran ritel.

Coinbase’s Vice President for Tax Lawrence Zlatkin mengatakan proposal yang dibuat OECD terlalu luas dan membebankan industri kripto. Sebab, proposal yang dibuat melihat aset-aset tersebut sebagai aset keuangan, alat pembayaran, sekaligus investasi.

“Proposal tersebut hanya akan memberikan beban tambahan pada industri yang relatif baru dan baru lahir,” katanya seperti dikutip dari coindesk.com, Minggu (29/5/2022).

Baca Juga: Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Dalam proposalnya, OECD berencana memperluas ketentuan sektor perbankan yang telah ada untuk menghentikan kepemilikan mata uang kripto asing. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mencegah adanya pendapatan yang dirahasiakan.

OECD juga akan memperluas aturannya lebih jauh untuk ketentuan perbankan dan norma pencucian uang yang saat ini diterapkan pada kripto. Bank diwajibkan untuk mengidentifikasi pemilik rekening demi mencegah terjadinya penghindaran pajak.

Bank juga harus mengirimkan perincian terkait dengan rekeningnya kepada otoritas pajak. Namun, perwakilan industri kripto menilai persyaratan tersebut sulit diterapkan dalam aset berupa NFT dan mata uang kripto karena perubahan harganya yang sangat dinamis.

Baca Juga: Naik Signifikan, Defisit Anggaran 2024 Diproyeksi Jadi Rp609,7 Triliun

Untuk itu, Zlaktin menilai pemberlakuannya masih terlalu cepat dan belum matang, terutama jika kebijakan tersebut diterapkan atas DeFi. Dia menyarankan OECD untuk menunggu hingga memiliki parameter yang lebih siap.

Sementara itu, Penasihat Senior Departemen Keuangan AS Erika Nijenhuis tidak sependapat dengan pernyataan Zlatkin. Menurutnya, belum ada alasan yang tepat untuk mencegah penerapan atas kebijakan pajak terhadap aset digital tersebut. (rig)

Baca Juga: Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : prancis, oecd, pajak, pajak internasional, kripto, NFT, kebijakan pajak

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 08 Juli 2024 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Sederet Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Senin, 08 Juli 2024 | 11:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

PT Perorangan Bisa Manfaatkan PPh Final 0,5 Persen selama 4 Tahun

Senin, 08 Juli 2024 | 08:07 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Di Balik Bertahapnya Integrasi NIK-NPWP, Pertimbangan Kesiapan Sistem

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya