Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

'Bukan dari Pajaknya, melainkan Kapasitas UMKM-nya'

A+
A-
3
A+
A-
3
'Bukan dari Pajaknya, melainkan Kapasitas UMKM-nya'

Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman. (dokumen pribadi)

UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19. Berbeda dengan situasi krisis ekomomi pada 1998 dan 2008 yang masih bisa 'dilawan', krisis kesehatan akibat pandemi membuat pelaku UMKM cukup kewalahan karena diikuti pembatasan aktivitas masyarakat.

Di sisi lain, krisis yang terjadi kali ini bersamaan dengan momentum berakhirnya masa penggunaan rezim pajak penghasilan (PPh) final PP 23/2018 untuk wajib pajak badan UMKM yang telah terdaftar pada 2018 atau sebelumnya. Artinya mereka akan menggunakan rezim umum PPh.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman untuk mengetahui kondisi UMKM saat ini. DDTCNews juga ingin mencari tahu seberapa penting aspek pajak dalam keberlangsungan UMKM. Berikut petikannya:

Baca Juga: Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Berapa banyak jumlah pelaku UMKM di Indonesia?
Jumlahnya sekitar 65 juta pelaku pada saat ini. Dengan angka itu, serapan terhadap tenaga kerjanya juga sangat tinggi. Kalau dari skalanya, yang paling banyak masih ultramikro. Nah, kalau sektor, paling banyak tentu perdagangan. Pelaku UMKM kita banyak sekali pedagang. Jumlah kedua terbanyak adalah pertanian.

Apakah pandemi Covid-19 juga memberikan pukulan pada keberlangsungan UMKM?
Dampak pasti dirasakan. Demand tentu menurun untuk produk tertentu meskipun memang tertolong dengan strategi belanja masyarakat yang mulai beralih ke online. Itulah kenapa penting bagi teman-teman UKM untuk beralih ke digital.

Yang pasti, UKM saat ini butuh kepastian dari pemerintah bahwa mereka bisa kembali berusaha, tanpa ada pembatasan [kegiatan masyarakat] lagi. Di satu sisi, pelaku UKM perlu juga beradaptasi dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah usaha mereka.

Baca Juga: Pegawai Dapat Uang untuk Sewa Kos dari Pemberi Kerja, Kena PPh 21?

Kalau kita lihat di lapangan sangat dinamis. Selain pendampingan ke digital, kami juga berupaya memfasilitasi teman-teman UKM untuk beralih bidang usaha. Ini karena mungkin ada bidang usaha yang sekarang kurang menarik atau laku karena pandemi.

Contoh, karena banyak orang bekerja dari rumah, permintaan baju-baju formal turun. Batik-batik juga turun karena enggak pernah dipakai. Jadi, harus ada tindakan karena pola konsumen mereka berubah.

Selama ini UMKM diberikan ruang untuk memanfaatkan PPh final 0,5% sesuai dengan PP 23/2018. Namun, pemberlakuan terbatas. Bagaimana Kemenkop-UKM melihat ini?
Kalau suara kami tentu sesuai dengan aspirasi pihak teman-teman UKM. Ya pasti mereka ingin perlakuan khusus dengan skema PPh final 0,5% ini dilanjutkan, bahkan kalau perlu tidak perlu bayar pajak. Namun, di luar keinginan itu, kami memahami pelaku UKM pun warga negara yang wajib membayar pajak. Kami menyadari juga perlunya pajak untuk ‘bahan bakar’ pembangunan.

Baca Juga: Jualan Online-Reseller, Hitung Pajak Pakai Pembukuan atau Pencatatan?

Hanya saja, ada catatan-catatan yang bisa kami sampaikan terkait dengan aturan pajak bagi UKM ini. Menurut hemat saya, angka 0,5% bagi pelaku UKM masih cukup berat karena teman-teman sendiri usahanya sangat beragam.

Ada baiknya teman-teman dari otoritas [Kementerian Keuangan] menyusun skema pajak penghasilan final bergradasi [progresif] bagi pelaku UKM dengan angka yang diatur kembali. Jadi, tidak dipukul rata 0,5%. Maksudnya, kalau income sekian sampai sekian [dikenakan tarif] 0,1%, sekian sampai sekian 0,2%, terus sampai ke 0,5%.

Bisa juga berdasarkan sektor karena tidak semua sektor profitnya besar. Jadi, tidak bisa dipukul rata untuk semua sektor, apalagi kaitannya dengan pandemi kemarin. Dari omzet itu belum tentu untung. Katakanlah kalau normal untung 10% atau 20%. Anda ambil 0,5%-nya kan lumayan meskipun selama ini UMKM diberi opsi untuk pakai PPh final atau ketentuan umum yang dihitung berdasar profit.

Baca Juga: E-Bupot 21/26, DJP: Kalau Sudah Pemadanan, Sebaiknya Pakai NPWP Ini

Nah makanya kalau menurut kami angka 0,5% masih terlalu besar. Jadi, kami tetap ingin agar tarif ini progresif. Mekanismenya lebih adil untuk teman-teman UKM. Namun, yang pasti mereka wajib lapor karena kan sudah wajib pajak.

Apakah bisa dikatakan aspek pajak ini penting bagi pelaku UMKM?
Sebenarnya ada hal lain yang menurut saya lebih penting. Pemerintah, kami juga termasuk, perlu memastikan rasa aman dan nyaman bagi pelaku UKM dalam berusaha. Mereka harus merasa dilindungi. Jadi, mereka bayar pajak tapi jangan ada pungutan liar di pinggir jalan.

Mereka kan sudah bayar pajak, ya artinya harus dilindungi. Tidak ada lagi pungutan liar. Kalau usaha mikro kecil ini hambatan terbesar bukan pajak, tapi pungutan liar. Di mana-mana ada. Hal-hal seperti ini yang jadi PR (pekerjaan rumah) pemerintah juga sebenarnya.

Baca Juga: PT Perorangan Bisa Manfaatkan PPh Final 0,5 Persen selama 4 Tahun

Kalau para pelaku usaha mikro kecil ini dilindungi dengan baik dari pungutan ini, mereka merasa aman dan nyaman. Kemudian, mereka akan otomatis membayar pajak. Jadi self-assessment terkait pajak ini bisa berjalan dengan baik saat wajib pajak UKM ini merasa dijamin.

Kembali mengenai batasan waktu penggunaan PPh final, PT yang sudah terdaftar sejak 2018 atau sebelumnya sudah mulai menggunakan tarif umum pada tahun ini. Tahun depan giliran untuk CV, firma, koperasi. Bagaimana Kemenkop-UKM melihat kesiapan mereka?
PPh final UMKM 0,5% ini kan diberikan salah satunya untuk memberi ruang bagi UMKM agar lebih siap melakukan pembukuan. Poinnya sebenarnya bagus, membantu UMKM. Kemudian juga pas berbarengan dengan pandemi Covid-19. Jadi, cukup membantu teman-teman UMKM.

Di satu sisi, kita memahami negara perlu pajak dan semua warga negara punya kewajiban bayar pajak. Jadi, dari sisi kami memahami UKM memang harus bayar pajak. Hanya saja, prosedurnya harus diperbaiki. Administrasi pajak perlu disederhanakan.

Baca Juga: Terima Dana Sponsorship Kena Pajak Penghasilan? Begini Ketentuannya

Mereka takutnya usaha mereka kan enggak tetap. Kadang dia berhenti berusaha dalam beberapa bulan lalu memulai lagi. Ya, kelas-kelas mikro kan begitu ya. Hal-hal seperti itu kan kalau dipajaki pusing dia laporin-nya. Pembukuan pun tidak semua pelaku UKM memahami dengan baik.

Jadi, memang harus ada perlakuan khusus, entah dia dibebaskan atau apa. Ada langkah tertentu, misalnya yang aktivitas usahanya kurang dari waktu tertentu dibebaskan dari kewajiban pajak dengan tarif tertentu.

Apa yang dilakukan pemerintah, termasuk Kemenkop-UKM, untuk mengejar perbaikan pembukuan para pelaku UMKM?
Kami tahu ada BDS [Business Development Service]. Jadi, kami pun mengadakan pelatihan dan sosialisasi ini agar pelaku UMKM terbiasa melakukan pembukuan. Kami lebih banyak polanya bekerja sama dengan Ditjen Pajak karena ini memang wilayah mereka. Mereka juga punya program khusus untuk itu. Kalau kami lebih kepada memfasilitasi dan mencarikan UMKM-nya yang akan dilatih.

Baca Juga: Uang Bulanan Suami untuk Istri yang Statusnya Pisah Harta, Objek PPh?

Dari Kemenkop-UKM sendiri juga meluncurkan aplikasi Laporan Akuntansi Usaha Mikro (Lamikro) untuk para pelaku usaha mikro yang baru memulai usaha atau wirausaha pemula. Lamikro ini aplikasi pembukuan akuntansi sederhana untuk usaha mikro yang bisa digunakan melalui smartphone dengan sistem operasi Android.

Bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Aplikasi ini dirancang untuk menjadi fleksibel dengan banyak pilihan berbasis pengguna. Jadi, UKM bisa beradaptasi dengan berbagai prosedur penganggaran dan cukup kuat untuk menggantikan metode tradisional pencatatan manual.

Terkait dengan perlakuan khusus, pemerintah juga telah mengusulkan penghapusan fasilitas pengurangan tarif dalam Pasal 31E UU PPh. Bagaimana pandangan Kemenkop-UKM?
Kalau kita sih minta dipertahankan. Sampai sekarang, kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan tetapi belum ada waktu yang lebih pas untuk berdiskusi lebih jauh. Kalau kami fokusnya adalah membantu teman-teman UKM ini biar bisa berkembang.

Baca Juga: Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Kalau kami sih meminta insentif ini masih ada ya, khususnya di sektor-sektor yang memang mau kita dorong. Seperti halnya yang diterima perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan besar kan mereka dapat tax holiday dan tax allowance. Jadi, seharusnya kebijakan ini juga adil ke teman-teman pelaku UKM.

Pemerintah ingin UMKM naik kelas. Menurut Anda, apakah perlakuan khusus pajak bagi pelaku UMKM ini krusial?
Kalau menurut saya, tarif pajak itu tidak begitu berpengaruh ya. Penyebab [UMKM] tidak naik kelas bukan dari sisi pajaknya, melainkan lebih karena kapasitas UMKM-nya sendiri. Problem terbesar bagi UMKM adalah akses pasar, informasi mengenai perluasan pasar ke luar negeri, dan yang terpenting adalah akses pembiayaan.

Pajak tentu punya andil dalam mendorong kinerja UMKM. Namun, lebih krusial poin-poin yang saya sebut tadi. Setelah itu, baru pajak yang bisa menambah kemudahan bagi UMKM dalam memenuhi tanggung jawabnya bagi negara.

Baca Juga: Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Misalnya ekspor, kan tidak gampang. Dia mau naik kelas untuk investasi, pembiayaan itu skemanya untuk investasi masih sedikit. Kebanyakan yang bantu itu modal kerja. Jadi, kalau mau tingkatkan skalanya, pembiayaannya banyak skema yang belum tersedia.

Biasanya, mereka pakai modal sendiri. Kalau perusahaan besar kan bisa melakukan IPO [penawaran perdana saham] dan banyak skema lain untuk mendapat pembiayaan. Perusahaan makin besar, pilihannya makin banyak untuk mendapat pembiayaan.

Dari Kemenkop-UKM melihat pendekatan dari Ditjen Pajak kepada pelaku UMKM selama ini seperti apa? Apakah perlu ada perubahan?
Sebenarnya, kalau kami melihat sebaiknya UKM ini tidak perlu dijadikan target prioritas. Jumlahnya memang banyak, tapi dapatnya tidak banyak. Mending yang besar-besar saja yang dikejar. Misalnya, penerimaan pajak dari sumber daya alam dan sebagainya.

Baca Juga: Fitur Daftar Bukti Pemotongan di DJP Online Masih Tahap Pengembangan

Rasio pajak kita kan sekitar 10% ya kalau tidak salah. Padahal distribusi income kita tidak seimbang. Segelintir orang di Indonesia income-nya menyumbang sebagian besar income di Indonesia. Harusnya, rasio pajak kita di atas 20% dong ya.

Intinya adalah pajak yang berkeadilan. Jadi, teman-teman DJP ini perlu lebih banyak menyasar potensi pajak yang besar ini. Effort-nya juga akan lebih kecil. Jangan yang kecil-kecil dikejar. Poinnya adalah intensifikasi pajak ditekankan dulu baru diperluas ke yang lain. (kaw)

Baca Juga: Vietnam Bakal Bebaskan Keuntungan Bunga Green Bond dari Pungutan Pajak

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : PPh final, PPh UMKM, pajak perusahaan, WPOP, PPh, wajib pajak, UU PPh, wawancara

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Marchilo

Rabu, 29 September 2021 | 08:12 WIB
mungkin karena yg "kecil" ga ada backingan jadi enak ngejarnya, bayangkan kalo ngejar yg "besar" pasti mereka mikir sebab biasanya yg "besar" selalu punya backingan
1

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 04 Juli 2024 | 10:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Sumbangan Dana Abadi Perguruan Tinggi Diusulkan Jadi Pengurang Pajak

Rabu, 03 Juli 2024 | 14:41 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Terkait e-Bupot 21/26, DJP Kirim Email Blast ke Beberapa Wajib Pajak

Selasa, 02 Juli 2024 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pindah KPP, WP Bisa Kirim Permohonan ke Kantor Pajak Lama atau Baru

Selasa, 02 Juli 2024 | 17:05 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Untuk Saat Ini, Tidak Ada Pilihan Unduh Bupot Istri NPWP Gabung Suami

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya