Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Dinamika Ketentuan Pajak Terkini, Ini Dampaknya ke Sektor Pertambangan

A+
A-
4
A+
A-
4
Dinamika Ketentuan Pajak Terkini, Ini Dampaknya ke Sektor Pertambangan

Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.

JAKARTA, DDTCNews - Selama 3 tahun terakhir, pemerintah telah beberapa kali mengubah ketentuan perpajakan guna meningkatkan kinerja penerimaan. Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengungkapkan perubahan ketentuan pajak tersebut ikut berdampak kepada berbagai sektor usaha, termasuk pertambangan.

Perubahan aturan yang cukup krusial, misalnya, mengenai pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang tertuang dalam UU 7/2021 dan PP 55/2022. Namun, 2 beleid tersebut nampaknya belum cukup memberikan kepastian mengenai implementasi pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan.

"Kita berharap PP 55/2022 memberikan kepastian, tapi ternyata masih terdapat ketidakpastian dari sisi objeknya. Tetap menganut negative list," katanya dalam acara MiningTalk Series Vol.21, Rabu (5/4/2023).

Baca Juga: Pegawai Dapat Uang untuk Sewa Kos dari Pemberi Kerja, Kena PPh 21?

Bawono mengatakan ketentuan pajak atas natura dan kenikmatan dapat disebut sebagai game changer bagi sistem pajak di Indonesia. Ketentuan ini perlu menjadi perhatian, khususnya bagi pelaku usaha di sektor pertambangan yang banyak memberikan natura dan kenikmatan kepada pegawai yang bekerja di site atau lapangan.

Menyusul PP 55/2022, pemerintah sebenarnya masih akan menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengatur secara terperinci tentang pemajakan atas imbalan berupa natura dan kenikmatan. Namun, kepastian perilisannya masih perlu ditunggu.

Bawono turut menyoroti sejumlah aspek yang berpotensi memunculkan interpretasi ganda. Selain soal objek, multi-interpretasi juga dapat terjadi dalam menentukan biaya menagih, mendapatkan, dan memelihara penghasilan (3M) yang bersifat deductible atau non-deductible.

Baca Juga: Saat NIK-NPWP Diterapkan Penuh, DJP: WP Jangan Ada yang Tertinggal

Aspek lain yang perlu menjadi perhatian di sektor pertambangan adalah pembebanan biaya spareparts. Hingga saat ini, belum ada ketentuan pajak yang mengaturnya secara spesifik. Misalnya dalam perlakuan biaya spareparts, apakah dibiayakan sekaligus atau dibebankan melalui metode penyusutan.

"Multi interpretasi dalam menentukan perlakuan biaya spareparts pun dapat terjadi sehingga berpotensi menimbulkan sengketa," kata Bawono.

Sebetulnya, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 16 telah memiliki ketentuan yang lebih spesifik dan memudahkan dalam penentuan perlakuan biaya spareparts. Bawono mengusulkan ada baiknya pemerintah mengintegrasikan antara ketentuan dalam PSAK Nomor 16 dengan ketentuan pajak.

Baca Juga: Godok Aturan Teknis, Pemprov Bakal Pungut Pajak Alat Berat Mulai 2025

Demikian pula soal penentuan kelompok masa manfaat aktiva tetap. Sampai kini, masih terdapat area abu-abu karena kolom jenis usaha dan harta pada lampiran PMK 96/2009 belum mengatur jenis harta secara spesifik.

Berdasarkan kondisi tersebut, perlu ada ketentuan pajak yang mengatur jenis harta dan jenis usaha secara spesifik. Tujuannya, menghilangkan subjektivitas antara wajib pajak dan otoritas saat memerinci jenis harta di setiap kelompok penyusutan, serta membuat panduan dalam menentukan kelompok masa manfaat.

"Dengan adanya momentum dari PP 55/2022 ini, sebenarnya revisi PMK 96/2009 menjadi dimungkinkan," ujar Bawono.

Baca Juga: Belum Semua Layanan Pajak Mengakomodasi NIK, NPWP 16 Digit, dan NITKU

Selanjutnya, Bawono juga menyinggung masih ada isu lain yang perlu dicermati di sektor pertambangan, yakni soal pengenaan pajak alat berat yang diatur dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pemajakan atas alat berat bakal berlaku mulai 1 Januari 2024, tetapi PP yang menjelaskan lebih detail tentang desain kebijakan ini belum terbit.

Bawono memberi catatan tentang pajak alat berat ini. Apabila ditilik ke belakang, pajak alat berat memiliki area ketidakpastian yang tinggi. Pada periode 2012-2022, terdapat 554 putusan pengadilan pajak yang berkaitan dengan sengketa pajak daerah.

Dari angka tersebut, 388 di antaranya bersinggungan dengan pajak kendaraan bermotor terkait alat berat dan/atau alat besar.

Baca Juga: DJP Sebut Masih Ada 670.000 NIK yang Belum Padan dengan NPWP

Kemudian, isu lain yang perlu jadi sorotan adalah seringnya terjadi sengketa mengenai pajak internasional di sekor pertambangan. Melalui PP 55/2022, Bawono mengingatkan, telah diatur instrumen antipenghindaran pajak yang lebih kuat dan beragam.

Instrumen antipenghindaran pajak dalam PP 55/2022 secara umum dapat dikategorikan menjadi 3 jenis. Pertama, yang bersifat penegasan dan menciptakan kepastian hukum karena sebelumnya diatur dalam produk hukum di bawah PP seperti ketentuan Controlled Foreign Company (CFC) rules.

Kedua, membuka ruang modifikasi aturan seperti ketentuan atas pembatasan biaya bunga yang bisa dilakukan dengan metode selain debt to equity ratio.

Baca Juga: Padankan NIK-NPWP di Kantor Pajak, WP Perlu Bawa KTP, KK, dan Ponsel

Ketiga, tiga instrumen yang baru diperkenalkan. Ketiganya yaitu prinsip substance over form, hybrid mismatch arraangement, serta pembandingan kinerja keuangan bagi wajib pajak yang rugi fiskal selama 3 tahun berturut-turut.

"Ini rezim baru instrumen pencegahan penghindaran pajak yang perlu menjadi perhatian. Ada 3 hal yang baru," imbuhnya. (sap)

Baca Juga: Sesuai Jadwal, NIK Gantikan NPWP secara Penuh Mulai Senin Besok

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : UU HPP, natura, kenikmatan, PSAK, sparepart, PP 55/2022, pajak alat berat

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 10 Juni 2024 | 10:30 WIB
PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Nilai Jual Belum Ditetapkan, Pemprov Tak Bisa Pungut Pajak Alat Berat

Sabtu, 08 Juni 2024 | 14:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Suami Beri Rumah kepada Istri, Bukan Objek Pajak

Jum'at, 07 Juni 2024 | 12:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

WP OP Beromzet kurang dari Rp500 Juta, Perlukah Pemotong Bikin Bupot?

Sabtu, 01 Juni 2024 | 16:25 WIB
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Pajak Alat Berat Belum Optimal Sumbang Pendapatan Daerah

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya