Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Mengupas Peluang dan Tantangan PPN Melalui Tinjauan Historis

A+
A-
3
A+
A-
3
Mengupas Peluang dan Tantangan PPN Melalui Tinjauan Historis

AKHIR-akhir ini, banyak negara yang mengandalkan instrumen pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai salah satu solusi untuk mengatasi defisit anggaran akibat pandemi Covid-19. Indonesia pun mengambil langkah serupa. Penyesuaian berbagai fitur PPN tengah menjadi agenda untuk meningkatkan fleksibilitas APBN.

Tren ini menimbulkan beragam pertanyaan di ranah publik. Mengapa instrumen PPN menjadi kian populer? Seperti apakah sejarahnya?

Karya berjudul The Value Added Tax: Orthodoxy and New Thinking mencoba merangkum jawabannya. Buku yang terdiri atas 11 bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran terhadap pemikiran awal pajak berbasis konsumsi, terutama PPN. Mulai dari fitur-fitur yang dimiliki PPN hingga implikasi terhadap sistem pajak dan perekonomian.

Baca Juga: Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Pada awal pembahasan, pembaca diajak untuk memahami sejarah kemunculan dan perkembangan PPN. Instrumen ini awalnya berkembang pesat di negara-negara Eropa, terutama pada 1970-an. Dalam periode tersebut, terdapat tren pergeseran struktur pajak dari pajak berbasis penghasilan menuju pajak berbasis konsumsi di berbagai negara.

Efek domino tersebut juga dirasakan Amerika Serikat (AS). Hal ini dibuktikan dengan munculnya kritik dan penentangan yang kuat dari publik terhadap reformasi pajak AS yang menitikberatkan pada peningkatan tarif dan perluasan basis pajak penghasilan (PPh).

“The goal is no longer to improve the income tax by broadening its base but to replace it, fully or partly, with a new model." Begitulah kritik yang dilontarkan ekonom klasik Richard Musgrave perihal sistem pajak AS pada waktu itu.

Baca Juga: Jualan Online-Reseller, Hitung Pajak Pakai Pembukuan atau Pencatatan?

Dari sana, berbagai proposal mengenai pajak berbasis konsumsi menjadi bahasan rutin dalam kongres dan parlemen AS. Salah satu yang paling populer adalah PPN. Dukungan politik terhadap PPN menjadi makin besar karena dipercaya dapat menjadi solusi pamungkas untuk meningkatkan keseimbangan fiskal serta mengurangi defisit anggaran. Hal ini salah satunya dikarenakan basis pajak PPN dianggap lebih luas ketimbang jenis pajak lainnya.

Selain argumen penerimaan, PPN juga dinilai sebagai jenis pajak yang lebih netral dan tak mendistorsi perekonomian. Idealnya, PPN sepenuhnya ditanggung konsumen dan dipungut pada tingkat yang seragam di seluruh basis konsumsi sehingga tidak mendistorsi pilihan di antara produk atau metode produksi.

Seiring dengan berjalannya waktu, prinsip netralitas dan sifatnya yang less distortive meningkatkan peran PPN secara signifikan. Layaknya pada awal kemunculan PPN, berbagai negara nyatanya terus mengandalkan jenis pajak ini untuk mengatasi defisit anggaran pada masa krisis.

Baca Juga: Anggota Parlemen Ini Usulkan Minuman Berpemanis Kena Cukai 20 Persen

Selanjutnya, pada satu bab yang menarik, buku hasil suntingan Murray L. Weidenbaum, David G. Gaboy, dan Ernest S. Christian Jr. ini juga membahas fenomena PPN pada masa kontemporer yang justru mencederai prinsip utamanya. Salah satunya adalah adanya tekanan yang intens untuk memberikan perlakuan khusus dalam sistem PPN, misalnya dalam bentuk pengecualian.

Rezim perlakuan khusus PPN justru dapat mendorong terjadinya cascading effect yang berimbas pada pengenaan beban pajak yang lebih tinggi kepada sektor usaha. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip utama PPN yang seharusnya dibebankan kepada konsumen.

Selain itu, perlakuan khusus yang diberikan memiliki dampak yang cenderung regresif. Contohnya pengecualian PPN yang berpotensi untuk dinikmati oleh lapisan pendapatan yang lebih tinggi, layaknya subsidi pada harga.

Baca Juga: Kegiatan Membangun Sendiri Dilakukan Bertahap, Begini Aturan PPN-nya

Tidak sampai di situ, bagian akhir buku yang diterbitkan oleh Kluwer Academic Publisher pada 1989 ini juga mengidentifikasi berbagai langkah reformasi administrasi dan kepatuhan yang efektif agar PPN diimplementasikan secara sederhana dan sesuai dengan prinsip dan tujuannya.

Penasaran dengan pembahasan lengkapnya? Silakan Anda baca langsung di DDTC Library. (kaw)

Baca Juga: Negara Ini Siapkan Kembali Insentif Pajak untuk Tenaga Ahli Asing

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : resensi, jurnal, buku, literasi, kebijakan pajak, PPN, pajak internasional

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 02 Juli 2024 | 17:00 WIB
KPP PRATAMA POSO

Wah! Masih Banyak PKP Salah Input Kode Akun Pajak dan Jenis Setoran

Senin, 01 Juli 2024 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Saat Terutang dan Deadline Penyetoran PPN Kegiatan Membangun Sendiri

Senin, 01 Juli 2024 | 08:53 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

DJP Belum Saklek Terapkan NIK sebagai NPWP, Jadinya Berlaku Gradual

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:00 WIB
PAJAK PENGHASILAN

Pegawai Dapat Uang untuk Sewa Kos dari Pemberi Kerja, Kena PPh 21?