Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Sengketa atas Objek PPh Pasal 21 yang Tidak Dilaporkan dalam SPT

A+
A-
14
A+
A-
14
Sengketa atas Objek PPh Pasal 21 yang Tidak Dilaporkan dalam SPT

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT).

Otoritas pajak menyatakan terdapat objek PPh Pasal 21 yang belum dilaporkan dalam SPT oleh wajib pajak sehingga menyebabkan pajak kurang dibayar. Selama penyelesaian sengketa berlangsung, wajib pajak tidak pernah memberi data dan menghadiri undangan yang diminta otoritas pajak. Adapun sikap wajib pajak tersebut menunjukkan adanya itikad tidak baik. Oleh karena itu, otoritas pajak memutuskan untuk melakukan koreksi.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak. Wajib pajak berpendapat pihaknya telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Menurutnya, biaya-biaya yang dikoreksi otoritas pajak tidak seluruhnya merupakan objek PPh Pasal 21.

Baca Juga: Pegawai Dapat Uang untuk Sewa Kos dari Pemberi Kerja, Kena PPh 21?

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, pada tingkat PK, Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan PK dari otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Berdasarkan pada data dan fakta yang terungkap dalam persidangan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan. Sebab, koreksi yang dilakukan otoritas pajak hanya berdasarkan pada anggapan dan tanpa didukung bukti-bukti yang valid.

Baca Juga: E-Bupot 21/26, DJP: Kalau Sudah Pemadanan, Sebaiknya Pakai NPWP Ini

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 44264/PP/M.III/10/2013 pada 28 Maret 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 17 Juli 2013.

Pokok sengketanya adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 21 senilai Rp9.607.814.917 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

Pemohon PK menyatakan tidak setuju dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK melakukan koreksi berdasarkan pada hasil ekualisasi antara SPT Tahunan PPh Pasal 21 tahun pajak 2008 yang bersumber dari sistem informasi Ditjen Pajak (SIDJP) dan SPT PPh badan pada tahun yang sama.

Baca Juga: Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Berdasarkan pada ekualisasi tersebut, terdapat biaya gaji, upah, bonus, gratifikasi, honorarium, tunjangan hari raya (THR), dan lainnya yang tidak dilaporkan kepada Pemohon PK. Menurut Pemohon PK, terhadap biaya-biaya tersebut seharusnya dikenakan PPh Pasal 21.

Dalam proses pemeriksaan, Pemohon PK tetap mempertahankan koreksi karena wajib pajak tidak memberikan tanggapan setelah diterbitkannya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Dengan tidak adanya tanggapan atas penerbitan SPHP, Pemohon PK menganggap koreksi yang dilakukannya sudah benar dan telah disetujui Termohon PK.

Pendapat Pemohon PK tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b PMK-199/PMK.03/2007. Adapun ketentuan a quo menyatakan dalam hal wajib pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir dan tidak menyampaikan tanggapan tertulis, pajak yang terutang dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah diberitahukan kepada wajib pajak.

Baca Juga: Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Lebih lanjut, dalam proses keberatan, Termohon PK juga tidak memberikan data-data pendukung, meskipun Pemohon PK telah mengajukan permintaan data secara tertulis. Selain itu, Termohon PK juga tidak menghadiri panggilan Termohon PK untuk memberikan tanggapan serta keterangan.

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan Termohon PK tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan sengketa. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi Pemohon PK. Termohon PK berpendapat pihaknya telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Menurut Termohon PK, biaya-biaya yang dikoreksi Pemohon PK tidak seluruhnya merupakan objek PPh Pasal 21.

Baca Juga: Fitur Daftar Bukti Pemotongan di DJP Online Masih Tahap Pengembangan

Dalam komponen biaya yang dikoreksi tersebut, terdapat pemberian kenikmatan atau natura kepada karyawan yang tidak dapat dikenakan pajak. Menurut Termohon PK, koreksi PPh Pasal 21 yang dilakukan Pemohon PK tidak sesuai dengan fakta dan ketentuan yang berlaku.

Pertimbangan Majelis Hakim

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat 2 pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 21 senilai Rp9.607.814.917 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga: Pegawai Kena Pajak Penghasilan, Bagaimana Cara Cek Bukti Potongnya?

Kedua, Mahkamah Agung menyatakan koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan. Sebab, Pemohon PK melakukan koreksi tanpa mempertimbangkan fakta yang terjadi dan juga peraturan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Putusan Mahkamah Agung tersebut diucapkan Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 24 Mei 2017. (zaka/kaw)

Baca Juga: Terkait e-Bupot 21/26, DJP Kirim Email Blast ke Beberapa Wajib Pajak
(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : resume putusan, pengadilan pajak, sengketa pajak, PPh Pasal 21

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 08 Juni 2024 | 11:30 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pengenaan PPN atas Penjualan Ikan oleh Badan Usaha

Jum'at, 07 Juni 2024 | 18:30 WIB
PMK 168/2023

Jenis-Jenis Imbalan untuk Peserta Kegiatan yang Dipotong PPh Pasal 21

Jum'at, 07 Juni 2024 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Apa Bedanya Ketentuan Pajak PNS dan PPPK?

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya