Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Sengketa Pajak atas Penentuan Status BUT Wajib Pajak

A+
A-
5
A+
A-
5
Sengketa Pajak atas Penentuan Status BUT Wajib Pajak

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penentuan status Bentuk Usaha Tetap (BUT) wajib pajak. Perlu dipahami bahwa wajib pajak merupakan kantor perwakilan dagang dari suatu perusahaan yang berkedudukan di Jepang, sebut saja X Co.

Wajib pajak menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan hanya sebatas riset pemasaran, bukan promosi produk. Pihaknya hanya melakukan kegiatan yang bersifat menunjang dan persiapan, serta sementara. Adapun berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Jepang, kegiatan penunjang dan persiapan tidak tergolong sebagai BUT.

Otoritas pajak tidak setuju dengan pernyataan wajib pajak tersebut. Menurut otoritas, wajib pajak telah memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Aktivitas yang dilakukan wajib pajak berupa promosi tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penunjang dan persiapan saja. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, wajib pajak seharusnya tergolong BUT dari X Co.

Baca Juga: Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Sementara itu, di tingkat PK, Mahkamah Agung ­­­­menolak permohonan dari otoritas pajak selaku Pemohon PK.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam putusan banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat menerima dalil otoritas pajak yang menyatakan wajib pajak melakukan kegiatan memperkenalkan, memajukan, dan memasarkan barang-barang dari X Co.

Baca Juga: Koreksi DPP PPN atas Harga Jual Polyester dan Nylon Film

Dalam laporan bulanan, tidak ada kegiatan promosi yang dilakukan wajib pajak. Laporan tersebut hanya memuat kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia serta potensi persaingan yang ada. Dalam persidangan telah terbukti bahwa usaha pemasaran produk X Co kepada konsumen akhir di Indonesia sudah dilakukan oleh perusahaan lainnya. Dengan demikian, wajib pajak tidak dapat dikategorikan sebagai BUT dari X Co.

Oleh sebab itu, tidak tepat apabila wajib pajak dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 15 final. Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak.

Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No.Put.74041/PP/M.VIA/27/2016 tertanggal 6 September 2016, otoritas pajak mengajukan Permohonan PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 22 Desember 2016.

Baca Juga: Publikasi Internasional, Profesional DDTC Bahas Soal Sengketa Pajak

Pokok sengketa atas perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 15 final masa pajak Januari sampai dengan Desember 2004 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas Putusan Pengadilan Pajak. Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut keliru karena tidak sesuai fakta hukum dan peraturan perpajakan yang berlaku.

Pemohon PK berdalil bahwa Termohon PK memiliki kantor manajemen tetap di Indonesia. Selain itu, aktivitas Termohon PK adalah mempromosikan produk dari X Co. Bahkan, aktivitas promosi tersebut telah dijalankan selama bertahun-tahun. Dengan begitu, kegiatan promosi tidak dapat dikategorikan hanya sebagai penunjang dan sementara saja.

Baca Juga: Jenis Penghasilan yang Termasuk Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Melihat fungsi, tugas, dan aktivitas, dapat diketahui Termohon PK merupakan kantor perwakilan dagang yang termasuk dalam definisi BUT. Kondisi Termohon PK di atas juga sudah sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) OECD Model terkait karakteristik BUT.

Dengan adanya status BUT tersebut, pemerintah Indonesia berhak memungut pajak kepada Termohon PK. Omzet yang diperoleh X Co dari kegiatan ekspornya ke Indonesia ditetapkan menjadi objek PPh Pasal 15 final bagi Termohon PK.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 634/KMK.04/1994 juncto Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 667/PJ/2001, penghasilan wajb pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dapat dipungut pajak. Dalam P3B Indonesia dan Jepang, branch profit tax dipungut pajak sebesar 10%.

Baca Juga: Hitung PPh, Ini 3 Poin Penting saat Menentukan Besaran Laba BUT

Sebaliknya, Termohon PK berpendapat bahwa pihaknya merupakan kantor perwakilan dagang asing dari X Co yang berkedudukan di Jepang. Termohon telah memiliki izin kegiatan kantor perwakilan asing dari BKPM.

Pihaknya hanya melakukan kegiatan yang bersifat menunjang dan persiapan. Mengacu pada P3B antara Indonesia dan Jepang, perusahaan yang melakukan kegiatan penunjang dan persiapan tidak tergolong sebagai BUT. Atas transaksi ekspor yang dilakukan X Co ke wilayah Indonesia tidak terutang PPh Pasal 15 final bagi Termohon PK.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MENURUT Mahkamah Agung, Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah benar dalam menerapkan hukum. Terdapat dua alasan atas pertimbangan Mahkamah Agung tersebut. Pertama, koreksi Pemohon PK hanya berdasarkan data dari perusahaan Indonesia serta data pertukaran data Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai saja. Data yang diperoleh tersebut tidak berdasarkan keadaan sebenarnya.

Baca Juga: DJBC Siapkan 2 Strategi dalam Penyelesaian Keberatan dan Banding 2025

Kedua, kegiatan yang dilakukan Termohon PK terbukti hanya berupa riset pemasaran, bukanlah promosi produk. Atas kegiatan tersebut, tidak tepat apabila Termohon PK dikategorikan sebagai kantor perwakilan dagang asing yang menjadi objek PPh Pasal 15 final. Oleh karena itu, koreksi DPP PPh Pasal 15 tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan dan dinyatakan ditolak. Pemohon PK sebagai pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara.

Baca Juga: Sengketa Gugatan atas Pinjaman Tanpa Bunga
(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : resume putusan, pengadilan pajak, PPh Pasal 15, BUT, sengketa pajak

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 21 Mei 2024 | 08:00 WIB
PENGADILAN PAJAK

LeIP Gelar FGD Soal Penyatuan Atap Pengadilan Pajak di MA

Senin, 20 Mei 2024 | 08:53 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Karpet Merah Investor di IKN, Aturan Insentif Pajak Resmi Terbit

Jum'at, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

Jum'at, 17 Mei 2024 | 10:10 WIB
KEPUTUSAN KETUA MA NOMOR 112/KMA/SK.OT1/IV/2024

Ini Tugas Pokja Penyatuan Atap Pengadilan Pajak yang Dibentuk MA

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya