Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Usulan Desain Kebijakan PPh Final UMKM untuk Mewujudkan Keadilan Pajak

A+
A-
7
A+
A-
7
Usulan Desain Kebijakan PPh Final UMKM untuk Mewujudkan Keadilan Pajak

SEKTOR usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) punya kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Investment Report 2022 yang diterbitkan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyebutkan sebanyak 65,46 juta pelaku UMKM di Indonesia memberikan sumbangsih terhadap PDB sebesar 60,3%.

Untuk mendukung sektor UMKM dari sisi perpajakan, pemerintah mereformasi kebijakan PPh final yang telah berlaku. Ketentuan tentang PPh final UMKM dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Ketentuan PPh final dalam PP 55/2022 diharapkan bisa mendorong wajib pajak untuk menjalankan kewajibannya secara patuh dan sukarela. Namun, implementasi kebijakan PPh final UMKM ternyata menghadapi sejumlah tantangan di lapangan.

Dasar pengenaan PPh final yang berlaku saat ini mengacu pada omzet atau perderaran bruto yang diperoleh pelaku UMKM. Dalam penerapannya, nominal omzet kerap kali belum mencerminkan situasi yang sebenarnya dialami pelaku UMKM. Pelaku UMKM masih kerap menghadapi tantangan terkait dengan operasional dan permodalan. Tidak sedikit pelaku UMKM yang terpaksa harus mengesampingkan keuntungannya demi menjaga operasional usaha tetap berjalan.

Berdasarkan pengamatan penulis, lazimnya pelaku UMKM menyisihkan omzetnya untuk membiayai belanja operasional usahanya. Pengeluaran itu dipakai untuk belanja bahan baku, beban sewa tempat usaha, beban upah tenaga kerja, biaya transportasi, biaya promosi, dan pengeluaran lainnya. Karena mementingkan belanja operasional inilah, pelaku UMKM terkadang lalai menjalankan kewajiban perpajakannya.

Di samping itu, pelaku UMKM juga memerlukan modal tambahan untuk memperluas pasar. Modal ini biasanya didapat dari skema kemitraan. Namun, sebagai konsekuensi atas skema ini, pelaku usaha harus mengembalikan modal kemitraan berdasarkan perjanjian yang disepakati.

Berdasarkan kondisi-kondisi yang dialami pelaku UMKM seperti yang diuraikan di atas, sudah adilkan penerapan PPh final UMKM saat ini?

Ada anggapan umum, berdasarkan kacamata penulis, bahwa pemerintah menganggap pelaku usaha pasti dapat untung, tidak peduli ukuran omzet yang dimiliki. Anggapan tersebut memantik kritik pelaku usaha terkait dengan keadilan pajak. Hal tersebut bisa berimbas pada kesukarelaan pelaku UMKM dalam menyetorkan PPh final (willingness to pay). Ketentuan yang berlaku saat ini dikhawatirkan membuat pelaku UMKM justru enggan menghitung dan menyetorkan PPh finalnya.

Mansury R (1996) menyebutkan keadilan dalam pemungutan pajak (equity principle) ditentukan dari kemampuan membayar (ability to pay) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh. Definisi dari penghasilan adalah penghasilan bersih yang ditentukan dengan cara mengurangkan penghasilan bruto dengan biaya-biaya pengurang penghasilan kotor berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku.

Dengan demikian, kebijakan PPh final yang berlaku saat ini masih memaknai tingkat ability to pay pelaku UMKM berdasarkan omzet yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Padahal, berdasarkan makna ability to pay oleh Mansury R (1996) di atas, semestinya pajak dikenakan atas penghasilan neto, bukan dikenakan atas omzet.

Mengacu pada PP 55/2022, keadilan pajak sudah tercermin dari fasilitas tax exemption. Dalam peraturan tersebut, pelaku UMKM orang pribadi dengan omzet Rp500 juta ke bawah per tahun dibebaskan dari pengenaan PPh final. Penerapan threshold atas pengenaan PPh final UMKM ini perlu diapresiasi. Dengan adanya batasan omzet yang kena pajak, diharapkan pelaku UMKM lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Alternatif Desain Kebijakan PPh Final UMKM

Kebijakan PPh final UMKM seharusnya berlandaskan kemampuan membayar (ability to pay). Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali skema pengenaan PPh final UMKM agar dikenakan atas penghasilan bersih, bukan omzet. Dengan begitu, pajak yang disetorkan dinilai lebih mencerminkan kondisi usaha yang sebenarnya.

Alternatif lainnya, pemerintah bisa melakukan sinkronisasi pengenaan PPh final dengan kebijakan lain yang relevan. Pasalnya, kebijakan PPh final atas pelaku UMKM yang berlaku saat ini dinilai belum sinkron dengan klasifikasi skala UMKM yang diatur lebih lanjut dalam UU 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

UU 20/2008 mengatur klasifikasi skala usaha UKM terdiri dari usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah. Usaha mikro adalah usaha dengan omzet sampai dengan Rp300 juta per tahun. Kemudian, usaha kecil adalah usaha dengan omzet di atas Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar per tahun. Terakhir, usaha menengah adalah usaha dengan omzet di atas Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar per tahun.

Klasifikasi usaha yang diatur dalam UU 20/2008 tersebut dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk menetapkan pengenaan PPh final secara lebih adil. Mengacu pada klasifikasi tersebut, pemerintah dapat menyesuaikan tarif PPh final berdasarkan golongan usaha yang dapat diidentifikasi dari rentang omzet pelaku UMKM.

Penyesuaian kebijakan PPh final ini diharapkan mampu mencerminkan kondisi usaha pelaku UMKM yang sebenarnya. Penyesuaian ini juga bisa memberikan kepastian bagi pelaku UMKM mengenai status usahanya. Ketika PPh final dibayar sesuai dengan golongan status usaha (UU 20/2008), pelaku UMKM diharapkan lebih terdorong dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023, pajak, pemilu 2024, pajak dan politik, artikel lomba, lomba menulis, PPh final UMKM, UMKM, omzet

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Alfi

Minggu, 12 November 2023 | 19:20 WIB
sangat menambah wawasan

Antonius Afna Wisnu Broto

Sabtu, 11 November 2023 | 07:29 WIB
Kakak, mana desain nya? th 2025 yang sudah pakai PPh final bagaimana? Coba bandingkan final dengan norma umk 2,5 M.
1

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 05 Juli 2024 | 08:00 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Wajib Pajak Pusat Perlu Mutakhirkan Data agar Cabang Dapat NITKU

Kamis, 04 Juli 2024 | 21:02 WIB
TIPS PAJAK

Cara Cari Kurs Pajak Saat Ini dan Trennya Lewat DDTCNews

Kamis, 04 Juli 2024 | 19:30 WIB
KPP PRATAMA BLITAR

Hayo, DJP Ingatkan Lagi Tiga Kewajiban yang Perlu Dijalankan WP PKP

Kamis, 04 Juli 2024 | 19:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Cabang Tak Kunjung Dapat NITKU, WP Pusat Perlu Mutakhirkan Data

berita pilihan

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Keliru Cantumkan NPWP, Solusinya Bukan Bikin Faktur Pajak Pengganti

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
IBU KOTA NUSANTARA (IKN)

Jokowi: IKN Jadi Sumber Ekonomi Baru, Serap Hasil Tani Daerah Lain

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Ada Potensi Besar, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pengelolaan PNBP

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:09 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Jum'at, 05 Juli 2024 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dukung Kelancaran Ibadah Haji 2024, DJBC dan Saudi Customs Kerja Sama

Jum'at, 05 Juli 2024 | 15:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Nama Pengurus Tak Masuk Akta Pendirian, Boleh Tanda Tangan SPT Badan?