Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

OECD Rilis Panduan Mitigasi Aliran Dana Gelap dalam Perdagangan Minyak

A+
A-
5
A+
A-
5
OECD Rilis Panduan Mitigasi Aliran Dana Gelap dalam Perdagangan Minyak

Laporan bertajuk Policy Guidance on Mitigating the Risks of Illicit Financial Flows in Oil Commodity Trading: Enabling Integrity in the Energy Transition yang dirilis OECD.

PARIS, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis panduan kebijakan dalam mitigasi risiko aliran dana gelap (illicit financial flows/IFF) pada perdagangan komoditas minyak.

Panduan tersebut dimuat dalam sebuah laporan bertajuk Policy Guidance on Mitigating the Risks of Illicit Financial Flows in Oil Commodity Trading: Enabling Integrity in the Energy Transition. Panduan ini merupakan produk dari program kerja tahun jamak dari Development Assistance Committee (DAC).

“Panduan kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi risiko IFF dalam perdagangan komoditas minyak. [Panduan] ini dirancang untuk para pembuat kebijakan dan praktisi pembangunan,” bunyi penggalan keterangan dalam laporan tersebut, dikutip pada Senin (14/8/2023).

Baca Juga: Kanada Berlakukan Pajak Digital, AS Siapkan Retaliasi

Mengutip laporan itu, sektor ekstraktif –khususnya perdagangan komoditas minyak—merupakan kontributor dalam IFF. Suap, kolusi, penggelapan pajak, trade mispricing, pencucian uang, dan penyimpangan lewat entitas offshore adalah sebagian praktik IFF dalam perdagangan komoditas minyak.

IFF dalam komoditas minyak merupakan isu yang krusial dalam pembangunan. Setidaknya ada 3 alasan. Pertama, mobilisasi sumber daya domestik (domestic resource mobilisation). Banyak pendapatan dari perusahan migas nasional tidak masuk ke kas negara.

“Sehingga mengurangi prospek mobilisasi sumber daya domestik di negara-negara penghasil minyak,” bunyi penggalan laporan tersebut.

Baca Juga: Lebih Rendah dari Rata-Rata Asia, OECD Catat Tax Ratio RI 12,1 Persen

Kedua, pengurangan utang. Negara-negara berkembang yang kaya minyak menghadapi tingkat utang publik yang tinggi. Persentase negara berpenghasilan rendah, baik yang berisiko tinggi atau saat ini mengalami kesulitan utang, naik dari 30% menjadi 60% selama 2015-2021.

Ketiga, promosi terkait dengan integritas dalam transisi energi. Tingkat risiko IFF yang tinggi dalam perdagangan komoditas minyak cenderung bertahan dalam transisi energi, khususnya pada perdagangan karbon.

Rekomendasi Tindakan Prioritas

Ada beberapa rekomendasi tindakan prioritas bagi penyedia bantuan pembangunan resmi (official development assistance/ODA). ODA merupakan bantuan pemerintah yang mempromosikan dan menargetkan pembangunan ekonomi serta kesejahteraan negara-negara berkembang.

Baca Juga: World Bank Sebut Batas Omzet PKP RI Terlalu Tinggi, Perlu Dipangkas?

Pertama, meningkatkan pemahaman mengenai risiko IFF. Oleh karena itu, secara otomatis, akan ada pertimbangan terkait dengan IFF dalam desain proyek.

Kedua, meningkatkan keterlibatan dengan national oil companies (NOC). Keterlibatan itu dengan memperluas dukungan ODA untuk pengadaan dan akuntansi manajemen keuangan publilk yang menyertakan NOC. Kemudian, membangun kapabilitas NOC dalam manajemen keuangan, pemasaran dan perdagangan komoditas, due diligence, serta manajemen kepatuhan dan risiko.

Ketiga, mengadopsi pendekatan multi-scalar untuk mengatasi masalah IFF. Salah satunya dengan berkolaborasi dengan jaringan kebijakan khusus, termasuk OECD Investment Committee, Financial Action Task Force (FATF), dan International Institute of Finance.

Baca Juga: OECD Dorong Penyiapan Aturan Penyelesaian Sengketa Pajak Minimum

Keempat, memanfaatkan kemampuan dan keterlibatan International Monetary Fund (IMF). Hal ini melibatkan pengaktifan dan sumber daya IMF untuk menggunakan IMF Article IV ‘surveillance’, memberikan panduan tepat waktu untuk mengelola risiko IFF, serta mengatasi risiko IFF transnasional.

Kelima, meningkatkan dampak dari transparansi, khususnya melalui kemitraan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Hal ini termasuk upaya untuk meningkatkan integritas dalam pemilihan pamasok dan perantara, memperkuat pengungkapan dan penggunaan data, peningkatan pemantauan pinjaman berbasis komoditas, serta pembangunan basis bukti tentang risiko IFF dan korupsi yang muncul dalam transisi energi. (kaw)

Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Masih Ada 1 Negara yang Belum Dukung Solusi 2 Pilar

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : OECD, aliran dana gelap, illicit financial flows, IFF, negara berkembang

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 24 April 2024 | 09:30 WIB
KEANGGOTAAN OECD

Ingin Jadi Anggota OECD, Jokowi Bentuk Timnas

Jum'at, 22 Maret 2024 | 10:30 WIB
AUSTRALIA

Australia Mulai Terapkan Pajak Minimum Global Tahun Ini

berita pilihan

Senin, 08 Juli 2024 | 21:57 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Senin, 08 Juli 2024 | 17:40 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan Bebas Bea Masuk Bibit dan Benih Pertanian, Download di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:30 WIB
APBN 2024

Sri Mulyani Proyeksikan Kinerja PNBP Lampaui Target Tahun Ini

Senin, 08 Juli 2024 | 17:00 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Kejar Penerimaan Pajak di Semester II, Sri Mulyani Ungkap 3 Strategi

Senin, 08 Juli 2024 | 16:45 WIB
SELEKSI HAKIM AGUNG

Wawancara Calon Hakim Agung, Termasuk TUN Khusus Pajak, Tonton di Sini

Senin, 08 Juli 2024 | 16:05 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

Penerimaan Bea dan Cukai 2024 Diprediksi Kembali Shortfall Rp24,5 T

Senin, 08 Juli 2024 | 16:00 WIB
KABUPATEN WONOSOBO

Opsen Pajak Kendaraan di Kabupaten Wonosobo Diatur, Begini Detailnya

Senin, 08 Juli 2024 | 15:15 WIB
PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan Pajak Terkontraksi 7,9%, Sri Mulyani Ungkap 2 Penyebabnya