Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Jum'at, 28 Juni 2024 | 20:00 WIB
KAMUS AKUNTANSI DAN PAJAK
Jum'at, 28 Juni 2024 | 19:30 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Jum'at, 28 Juni 2024 | 19:00 WIB
LITERATUR PAJAK
Kamis, 27 Juni 2024 | 18:55 WIB
TIPS KEPABEANAN
Data & Alat
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Rabu, 19 Juni 2024 | 10:03 WIB
KURS PAJAK 19 JUNI 2024 - 25 JUNI 2024
Rabu, 12 Juni 2024 | 09:07 WIB
KURS PAJAK 12 JUNI 2024-18 JUNI 2024
Fokus
Reportase

Individu Kian Mudah Pindah Yurisdiksi, Kebijakan Pajak Perlu Merespons

A+
A-
0
A+
A-
0
Individu Kian Mudah Pindah Yurisdiksi, Kebijakan Pajak Perlu Merespons

Director of Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam kuliah umum perpajakan Perbanas dengan materi Perkembangan Perpajakan Internasional Terkini Paska Pandemi Covid-19.

JAKARTA, DDTCNews - Perkembangan globalisasi dan digitalisasi ekonomi tidak hanya memberikan tantangan terhadap pemajakan atas perusahaan multinasional, tetapi juga pemajakan terhadap perorangan.

Director of Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan saat ini makin banyak individu yang dapat bekerja secara remote. Artinya, seseorang dapat bekerja dan menerima penghasilan tanpa perlu menetap pada suatu yurisdiksi.

"Ini sesungguhnya bukan fenomena baru, tetapi fenomena yang makin diperkuat ketika pandemi Covid-19. Seseorang bisa bekerja secara remote itu lebih intens. Contohnya, kita sekarang ada yang namanya digital nomad," ujar Bawono dalam kuliah umum perpajakan Perbanas dengan materi Perkembangan Perpajakan Internasional Terkini Paska Pandemi Covid-19, Rabu (8/11/2023).

Baca Juga: Semua Barang Impor di Thailand Dipungut PPN Mulai 5 Juli 2024

Dahulu, seseorang memutuskan untuk berpindah dari subjek pajak dalam negeri (SPDN) suatu yurisdiksi menjadi SPDN yurisdiksi lain akibat 2 faktor, yakni tarif pajak dan sistem pajak yang dianut oleh yurisdiksi, worldwide atau teritorial.

Sebagai contoh, bila suatu yurisdiksi menganut sistem worldwide income, SPDN tak hanya wajib membayar pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri, melainkan juga atas penghasilan yang diterima dari luar negeri.

Hal ini menimbulkan beban pajak besar bagi individu berpenghasilan tinggi yang memperoleh penghasilan dari banyak negara akibat dari profesinya. "Ini akan membuat seseorang reluctant. Misalkan di Indonesia, sudah tarifnya tinggi, lalu worldwide. Ini ada pola-pola yang orang menghindari hal-hal tersebut," ujar Bawono.

Baca Juga: Vietnam Bakal Pangkas Tarif Pajak untuk UMKM, Ini Tujuannya

Pada sisi lain, yurisdiksi lain berupaya menarik individu tersebut untuk menjadi SPDN di yurisdiksinya dengan menawarkan beragam fasilitas seperti dengan rezim pajak khusus ekspatriat hingga golden visa. "Jadi sekarang kita tidak hanya berebut capital, tetapi juga berebut sumber daya manusia," ujar Bawono.

Oleh karena fasilitas-fasilitas ini, pola migrasi individu-individu berkeahlian khusus kian intens dan berpotensi menyebabkan tergerusnya basis pajak, brain drain, dan larinya kekayaan dari yurisdiksi asal ke yurisdiksi yang menawarkan beragam kebijakan pajak preferensial.

"Ini isu base erosion juga. Mereka ini sesungguhnya memiliki penghasilan yang lebih baik, jadi ini base erosion juga. Orang-orang kita yang bagus dan memiliki uang itu di-attract untuk pindah ke negara lain," ujar Bawono.

Baca Juga: Pemkab Sukoharjo Bedakan Tarif Pajak Makanan di Restoran dan PKL

Akibat dinamika ini, Bawono mengatakan setidaknya terdapat beberapa aspek terkait dengan penentuan status SPDN yang perlu ditimbang ulang, salah satunya adalah time test.

Seperti diketahui, saat ini individu memperoleh status sebagai SPDN Indonesia bila individu tersebut berada di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Ketentuan ini mengasumsikan individu akan menetap di suatu negara tempat penghasilan diperoleh. Padahal, klausul ini tidak relevan untuk individu yang memiliki pekerjaan nonstandar. "Sekarang tidak lagi. Beberapa negara sudah merevisi P3B-nya, time test-nya diganti," ujar Bawono. (sap)

Baca Juga: DJP: Perpres 63/2024 Dirilis untuk Terapkan Rencana BEPS Atas 13 P3B

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : pajak internasional, P3B, perjanjian pajak, SPDN, tarif pajak, golden visa, SPLN, sistem pajak, Bawono Kristiaji

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

berita pilihan

Senin, 01 Juli 2024 | 13:30 WIB
KABUPATEN MAGELANG

PBJT Ditetapkan 10 Persen, Ini Daftar Tarif Pajak Terbaru di Magelang

Senin, 01 Juli 2024 | 13:00 WIB
PER-6/PJ/2024

NIK Langsung Jadi NPWP Saat Pendaftaran, WP Tetap Dapat NPWP 15 Digit

Senin, 01 Juli 2024 | 12:30 WIB
TARIF BEA KELUAR CPO

Harga CPO Menguat, Tarif Bea Keluarnya Naik Jadi US$33 per Ton

Senin, 01 Juli 2024 | 12:16 WIB
PER-6/PJ/2024

Pernyataan Resmi DJP Soal NIK, NPWP 16 Digit, NITKU Mulai Hari Ini

Senin, 01 Juli 2024 | 12:00 WIB
PER-6/PJ/2024

Catat! Ada 7 Layanan Pajak yang Bisa Diakses Pakai NIK Mulai 1 Juli

Senin, 01 Juli 2024 | 11:43 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Bukti Potong di e-Bupot 21/26, Pemotong PPh Tidak Repot Kirim Manual

Senin, 01 Juli 2024 | 11:34 WIB
PERTUMBUHAN EKONOMI

Inflasi Juni 2024 Capai 2,51 Persen, Menurun dari Bulan Lalu

Senin, 01 Juli 2024 | 11:30 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Ada Banyak Fasilitas di IKN, Begini Strategi Pengawasan Pemanfaatannya

Senin, 01 Juli 2024 | 11:00 WIB
KANWIL DJP SUMSELBABEL

Diduga Mau Kabur, DJP Tangkap Terduga Pelaku Tindak Pidana Pajak

Senin, 01 Juli 2024 | 10:55 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Update Lagi! E-Bupot 21/26 Versi 2.0 Dirilis di DJP Online