Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Pemungutan PPN Belum Optimal, Ini Indikatornya

A+
A-
1
A+
A-
1
Pemungutan PPN Belum Optimal, Ini Indikatornya

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) masih belum optimal. Banyaknya pengecualian (tax exemption) dan besarnya underground economy disebut menjadi penyebab. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Jumat (25/1/2018).

Belum optimalnya pemungutan PPN ini bisa dilihat dari beberapa indikator, salah satunya adalah value added tax(VAT) efficiency ratio. Indikator ini dihitung dengan membagi antara realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan dengan produk domestik bruto (PDB).

Pada 2018, dengan penerimaan PPN senilai Rp538,2 triliun dan proyeksi PDB senilai Rp14.735,8 triliun, rasio VATefficiency ratio hanya berada di 0,36. Hal ini menunjukkan penerimaan PPN hanya mencapai 36% dari potensi yang dihitung berdasarkan PDB.

Baca Juga: Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Selain itu, belum optimalnya pemungutan PPN juga dapat dilihat dari VAT gross collection. Indikator ini dihitung dengan cara membagi realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan dengan konsumsi rumah tangga dalam PDB.

Jika diestimasikan konsumsi rumah tangga pada 2018 tumbuh 5% atau senilai Rp8.009,2 triliun, VAT gross collection ratio tercatat hanya 66,5. Dengan demikian, pemungutan PPN hanya mencakup 66,5% dari total potensi penerimaan atas pajak konsumsi yang ada.

Selain itu, beberapa media nasional juga masih menyoroti topik insentif pajak untuk kewajiban masukya devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA). Kementerian Keuangan mengaku aturan turunan yang mencakup insentif pajak akan terbit dalam satu pekan ke depan.

Baca Juga: Ada Fasilitas Kepabeanan Khusus untuk UMKM, Bisa Perluas Akses Pasar

Beberapa media nasional juga menyoroti topik pemajakan e-commerce dan rencana pemajakan ekonomi digital secara umum. Indonesia dinilai bisa mencontoh India yang berani memunculkan pungutan lain di luar pajak penghasilan (PPh) untuk ekonomi digital.

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan konsep pajak e-commerce yang diberlakukan India lebih pada pemajakan untuk raksasa digital yang berisiko melakukan base erosion and profit shifting (BEPS). Denganequalization levy (EQL), India menjadi salah satu negara yang meluncurkan aksi unilateral tanpa menunggu konsensus OECD.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Baca Juga: Cara Cari Kurs Pajak Saat Ini dan Trennya Lewat DDTCNews
  • Ada Andil Pengecualian PPN dan Batas PKP

B. Bawono Kristiaji mengatakan memang sesuai Undang-Undang (UU) PPN, ada beberapa komoditas yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Banyaknya pengecualian itu memunculkan kesulitan tersendiri dalam praktik administrasi PPN. Salah satunya, pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan oleh pengusaha yang bergerak di bidang usaha bukan objek PPN.

Terkait dengan underground economy, Bawono mengatakan ada situasi yang paradoks karena ukuran ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) senilai Rp4,8 miliar. Tingginya ambang batas itu membuat otoritas sulit untuk mengidentifikasi rantai konsumsinya.

“Yang semula kelihatan menjadi kian samar. Jadi perlu ditinjau ulang [ambang batas PKP],” ujarnya.

Baca Juga: Hayo, DJP Ingatkan Lagi Tiga Kewajiban yang Perlu Dijalankan WP PKP
  • Underground Economy Jadi Masalah Tiap Negara

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan underground economymenjadi masalah tiap negara. Negara di Kawasan Skandinavia yang memiliki kepatuhan dan rasio pajak cukup tinggi pun memiliki porsi underground economy yang cukup besar.

  • Beleid Insentif Pajak Terbit Pekan Depan

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan aturan turunan PP No. 1/2019 terkait DHE SDA yang akan mengatur insentif pajak akan terbit pekan depan. Dia mengatakan akan ada beberapa pelonggaran yang diberikan.

“Misal, depositonya diperpanjang atau diperindah dari satu bank ke bank lain selama masih berada di dalam negeri boleh mendapatkan fasilitas [tarif pajak] yang sama.” Katanya.

Baca Juga: Bangunan Lama Direnovasi Sendiri Kena PPN KMS? Begini Ketentuannya
  • Bea Cukai Bakal Rinci Daftar Komoditas

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan nantinya akan ada rincian daftar komoditas dalam ketentuan DHE SDA. Semuanya akan dirinci sesuai dengan empat kategori besar yang ada di PP No.1/2019 yakni pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

“Semuanya di-detail-kan untuk diterapkan pada sistem automasi di Bea Cukai, agar dokumen ekspornya dapat direkonsiliasi dengan data dari Bank Indonesia,” katanya.

  • Terapkan Prinsip Level Playing Field

B. Bawono Kristiaji mengatakan langkah unilateral terkait ekonomi digital dari beberapa negara seperti China, Australia, Hong Kong, Jepang, dan beberapa negara Uni Eropa bisa dijadikan referensi bagi Indonesia. Khusus untuk pajak e-commerce, mereka tetap tunduk pada ketentuan umum perpajakan.

Baca Juga: Kasus Kanker Kulit Meningkat, Senator Minta Tabir Surya Bebas PPN

“Indonesia dalam hal ini [pajak e-commerce] sudah sesuai benchmark dan prinsip level playing field,” katanya.

  • Pemerintah Kaji Perlu atau Tidaknya Penurunan Tarif PPh Badan

Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan hingga saat ini pemerintah masih mengkaji aspirasi terkait penurunan tarif PPh badan. Dia mengatakan kajian belum sampai pada besaran penurunan tarif. Pemerintah masih mengkaji perlu atau tidaknya penurunan tarif PPh badan.

  • Pengusaha Menunggu Realisasi Janji Insentif Pajak Properti

Sekjen DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan pengembang property menanti realisasi rencana pemerintah yang akan menurunkan ambang batas pengenaan PPnBM untuk properti dari Rp30 miliar menjadi Rp20 miliar. Selain itu, ada pula janji pemangkasan tarif PPh Pasal 22 dari 5% menjadi 1%. (kaw)

Baca Juga: Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Masih Lesu Terhadap Mayoritas Negara Mitra

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : PPN, konsumsi, VAT efficiency ratio, VAT gross collection ratio, underground economy

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 25 Juni 2024 | 18:30 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Sajian Makanan di Lounge Bandara Kena PPN? Begini Aturannya

Selasa, 25 Juni 2024 | 14:00 WIB
KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

Menarik! Daerah Ini Mengandalkan Penerimaan Pajak dari Jasa Katering

Selasa, 25 Juni 2024 | 08:42 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Soal Pajak, Tim Prabowo-Gibran Dalami Rencana Tarif PPN 12%

berita pilihan

Jum'at, 05 Juli 2024 | 20:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Pusat Siapkan Rp4 Triliun bagi Pemda yang Atasi Isu-Isu Ini

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Keliru Cantumkan NPWP, Solusinya Bukan Bikin Faktur Pajak Pengganti

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
IBU KOTA NUSANTARA (IKN)

Jokowi: IKN Jadi Sumber Ekonomi Baru, Serap Hasil Tani Daerah Lain

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Ada Potensi Besar, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pengelolaan PNBP

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:09 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Jum'at, 05 Juli 2024 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dukung Kelancaran Ibadah Haji 2024, DJBC dan Saudi Customs Kerja Sama