Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

'Pada Malam Hari Pemerintah Tidur'

A+
A-
3
A+
A-
3
'Pada Malam Hari Pemerintah Tidur'

Widjojo Nitisastro. (Foto: istimewa)

PERTH, musim dingin 1966. Seorang mahasiswa asal Blitar, Jawa Timur, sibuk di Perpustakaan Universitas Western Australia. Ia sedang mencari literatur untuk memahami teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, salah satu model pertumbuhan ekonomi Keynesian.

Dosennya meminta ia membaca sumber aslinya, Essays in the Theory of Economic Growth dan Toward Dynamic Economics. Namun, dua buku itu tidak pernah selesai dibacanya. “Terlalu njlimet sejak awal. Mahasiswa seperti saya mudah hilang di tengah jalan sewaktu membacanya,” katanya.

Ia lalu merumuskan strategi berbeda: Mencari buku lain yang menyarikan teori itu secara singkat dalam bahasa yang mudah dipahami. Lalu, dalam pencarian di perpustakaan itulah ia menemukan satu risalah ringkas bertajuk The Relevance of Growth Models for Less Developed Economies.

Baca Juga: ‘Pegawai Pajak Harus Dipisahkan dari Pengaruh Politik’

Risalah itu mengungkap dengan sangat jelas inti teori Harrod-Domar, disertai kritik jika diterapkan di negara berkembang. Hasilnya, “Saya lulus mata kuliah Economics,” kata Boediono, mahasiswa yang kelak jadi Wakil Presiden, tanpa pernah melupakan penulis risalah tersebut. (Anwar dkk, 2010).

Lain di Perth lain di Jakarta. Suasana ibu kota saat itu mencekam. Beberapa bulan sebelumnya meletus pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membantai para jenderal. Tentara juga terus memburu kader PKI. Kurang dari 2 bulan, Februari-Maret 1966, terjadi 2 kali resafel kabinet.

Januari sebelumnya, harga BBM kembali dikerek 400% setelah 2 bulan sebelumnya meroket 600%. Bensin menjadi Rp1.000 per liter dan minyak tanah Rp400 per liter, setelah kemudian diturunkan menjadi masing-masing Rp500 per liter dan Rp200 per liter. Akibatnya, inflasi tak terbendung.

Baca Juga: ‘Kami Ingin Memangkas Pajak, Bukan Peluang’

Di tengah hiruk-pikuk itulah, dalam satu demonstrasi mahasiswa di Universitas Indonesia (UI) di Salemba, seorang guru besar berpidato mengutip lelucon dari Amerika Latin. Di negeri itu, sebutnya, perekonomian hanya berjalan malam hari. “Karena pada malam hari pemerintah tidur,” katanya.

Guru besar yang baru 39 tahun itu—ia diangkat 4 tahun sebelumnya—agaknya sedang mengkritik pemerintah yang terlalu banyak campur tangan, mengatur dengan segala ketidakbecusannya, hingga kehidupan ekonomi harus mencari jalannya sendiri, dengan susah payah (Mohamad, 1985).

Angkatan kerja yang melimpah tak kunjung diimbangi dengan suku bunga murah yang menghela industrialisasi dan menyerap tenaga kerja. Semua itu ditingkah inflasi yang terus membubung ditambah defisit anggaran sekaligus perdagangan yang mempersulit upaya penurunan suku bunga.

Baca Juga: 'Selama Terjajah Banyak Bercita-Cita, Setelah Merdeka Kehilangan Rupa'

Kritik Widjojo Nitisastro (1927-2012)—guru besar termuda Fakultas Ekonomi UI yang rekor termudanya baru pecah setelah hampir 5 dasawarsa dan penulis The Relevance of Growth Models for Less Developed Economies yang tak pernah dilupakan Boediono itu—adalah kritik yang berumur panjang.

Banyaknya tangan pemerintah terhadap kehidupan ekonomi seperti pada zaman itu selalu bisa kembali hangat. Dengan kata lain, kritik itu tetap relevan sampai 32 tahun berselang ketika gelombang reformasi menghantam.

Namun, Widjojo, mantan tentara pelajar yang mengagumi Keynes ini telah mengirim pesan agar pemerintah menahan diri mengintervensi ekonomi secara berlebihan. Pemerintah, dengan kata lain, harus mulai terbuka terhadap pasar dan disiplin mempersiapkan diri untuk menumbuhkan ekonomi.

Baca Juga: 'Wajib Pajak Hitung Sendiri Jumlah Pajak yang Harus Dibayar'

Mungkin karena itu pula, doktor Universitas Berkeley dari beasiswa Ford Foundation ini dianggap dekat dengan International Monetary Fund atau World Bank. Seorang aktivis kiri menyebutnya Mafia Berkeley, penanam paham neoliberalisme demi kepentingan Amerika Serikat di Indonesia.

Namun, pesannya tentang cara menumbuhkan ekonomi itulah yang membuat Presiden Soeharto terpikat. Tidak lama setelah dilantik menggantikan Soekarno pada 1968, Soeharto menempatkannya sebagai Kepala Bappenas yang mengatur strategi pembangunan dan utang, dari 1971-1980.

Sekondannya dari Universitas Barkeley seperti Ali Wardhana, Emil Salim, M. Sadli, dan Sumarlin masing-masing sebagai Menteri Keuangan (1968-1983), Menteri Perhubungan (1973-1978), Menteri Tenaga Kerja (1971-1973), dan Menteri Aparatur Negara (1973-1983) sebelum berganti ke pos lain.

Baca Juga: 'Read My Lips, Tidak Ada Lagi Pajak Baru'

Dengan praktik Orde Baru yang mengisolasi kebijakan ekonomi dari ingar politik dan demokrasi, Widjojo dan timnya berhasil membawa sekaligus merehabilitasi perekonomian Indonesia ke tingkat stabilitasi pertumbuhan yang sangat tinggi, rata-rata 6,5% per tahun dari 1965-1997.

Namun, masa bulan madu tentu ada batasnya. Saat krisis moneter 1997 menghantam, Mafia Berkeley turut dipersalahkan. Para ekonom strukturalis mengkritiknya karena memakai model pertumbuhan Rostow dengan anggaran berimbang dan trickle down effect yang malah memicu konglomerasi.

Arah angin mulai berembus ke faksi lain seperti kelompok yang mengharapkan pendekatan ekonomi lebih nasionalistik yang diwakili tentara, atau faksi yang kemudian menang, yang berbasis teknologi dan kerakyatan yang diwakili kalangan intelektual seperti B.J. Habibie (Elson, 2001).

Baca Juga: 'Mengapa Pembayar Pajak Harus Menerima Perlakuan Berbeda?'

Namun, setelah Pemilu 1999, Widjojo kembali ke pemerintahan sebagai Penasehat Ekonomi Presiden. April 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menunjuknya memimpin delegasi RI dalam pertemuan Paris Club. Misinya berhasil. Penjadwalan utang US$5,9 miliar disetujui 19 negara. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : widjojo nitisastro, kutipan pajak, kutipan

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 11 September 2020 | 11:35 WIB
ABRAHAM LINCOLN:

'Saya Minta Maaf atas Ketidakadilan Pajak'

Jum'at, 04 September 2020 | 13:31 WIB
KAPITAN PATTIMURA:

'Setiap Beringin Besar akan Tumbang'

Senin, 17 Agustus 2020 | 07:01 WIB
JOSEPH SCHUMPETER:

'Pajak Membantu Membentuk Negara'

Selasa, 11 Agustus 2020 | 12:09 WIB
ALI SADIKIN:

'Uang Pajak Judi Ini untuk Pendidikan'

berita pilihan

Jum'at, 05 Juli 2024 | 20:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Pusat Siapkan Rp4 Triliun bagi Pemda yang Atasi Isu-Isu Ini

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Keliru Cantumkan NPWP, Solusinya Bukan Bikin Faktur Pajak Pengganti

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
IBU KOTA NUSANTARA (IKN)

Jokowi: IKN Jadi Sumber Ekonomi Baru, Serap Hasil Tani Daerah Lain

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Ada Potensi Besar, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pengelolaan PNBP

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:09 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Jum'at, 05 Juli 2024 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dukung Kelancaran Ibadah Haji 2024, DJBC dan Saudi Customs Kerja Sama