Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Penghitungan PPh 21 Terbaru atas Penghasilan Tidak Teratur Komisaris

A+
A-
26
A+
A-
26
Penghitungan PPh 21 Terbaru atas Penghasilan Tidak Teratur Komisaris

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris kini dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan dan tidak dihitung secara kumulatif.

Ketentuan itu merupakan salah satu skema penghitungan PPh Pasal 21 yang dirilis oleh pemerintah. Adapun ketentuan baru penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur yang diterima diperoleh anggota dewan komisaris diatur dalam Pasal 16 ayat (1) PMK 168/2023.

“PPh Pasal 21 yang wajib dipotong bagi anggota dewan komisaris…yang menerima atau memperoleh penghasilan secara tidak teratur…yaitu sebesar tarif efektif bulanan…dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) [penghasilan bruto],” bunyi pasal 16 ayat (1), dikutip pada Senin (15/1/2024).

Baca Juga: Pemerintah Pusat Siapkan Rp4 Triliun bagi Pemda yang Atasi Isu-Isu Ini

Hal ini berarti besaran PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan tidak teratur yang diterima anggota dewan komisaris kini dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan dikalikan dengan jumlah bruto penghasilan dalam 1 masa pajak.

Sebagai informasi, penghasilan yang bersifat tidak teratur merupakan penghasilan selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya. Penghasilan tidak teratur yang diterima anggota dewan komisaris antara lain berupa honorarium.

Berikut contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur komisaris:

Baca Juga: Keliru Cantumkan NPWP, Solusinya Bukan Bikin Faktur Pajak Pengganti

Tuan Bayhaqi adalah seorang komisaris di PT Kabanti. Selama 2024, Tuan Bayhaqi hanya menerima penghasilan dari PT Kabanti pada Desember 2024, yaitu honorarium sebesar Rp60 juta. Tuan Bayhaqi berstatus tidak menikah dan tidak memiliki tanggungan (TK/ 0).

Berdasarkan status PTKP TK/0 dan jumlah bruto honorarium sebesar Rp60 juta maka besaran PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima Tuan Bayhaqi pada Desember 2024 dihitung berdasarkan tarif efektif bulanan kategori A, yaitu dengan tarif sebesar 20%.

Alhasil, besaran pemotongan PPh Pasal 21 atas honorarium yang diterima atau diperoleh Tuan Bayhaqi pada Desember 2024 sebesar 20% x Rp60.000.000 = Rp12.000.000. Ketentuan penghitungan ini juga berlaku bagi anggota dewan pengawas.

Baca Juga: Ada Potensi Besar, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pengelolaan PNBP

Penghitungan itu berbeda jika disandingkan dengan ketentuan sebelumnya dalam PMK 252/2008 dan Perdirjen Pajak No. PER 16/PJ/2016.

Sebelumnya, honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama, dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 dikalikan jumlah penghasilan bruto kumulatif.

Kumulatif berarti apabila dalam satu tahun kalender yang bersangkutan menerima penghasilan lebih dari satu kali maka penghitungan PPh 21 bagi penghasilan yang diterima untuk kedua kalinya dan seterusnya ditambah (diakumulasikan) dengan penghasilan yang diterima sebelumnya. (rig)

Baca Juga: Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : pmk 168/2023, pph pasal 21, pemotongan pajak, penghitungan pajak, penghasilan komisaris, pajak, nasional

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 05 Juli 2024 | 10:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Berbeda dengan Cabang, NITKU Pusat Memiliki Akhiran 000000

Jum'at, 05 Juli 2024 | 10:00 WIB
KINERJA FISKAL

Proses Restitusi Dioptimalkan, Begini Realisasinya Hingga Mei 2024

Jum'at, 05 Juli 2024 | 09:30 WIB
KOTA SURABAYA

Cuma Juli Ini! Pemkot Beri Diskon Pokok BPHTB Hingga 40 Persen

Jum'at, 05 Juli 2024 | 08:00 WIB
BERITA PAJAK HARI INI

Wajib Pajak Pusat Perlu Mutakhirkan Data agar Cabang Dapat NITKU

berita pilihan

Jum'at, 05 Juli 2024 | 20:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Pusat Siapkan Rp4 Triliun bagi Pemda yang Atasi Isu-Isu Ini

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Keliru Cantumkan NPWP, Solusinya Bukan Bikin Faktur Pajak Pengganti

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
IBU KOTA NUSANTARA (IKN)

Jokowi: IKN Jadi Sumber Ekonomi Baru, Serap Hasil Tani Daerah Lain

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Ada Potensi Besar, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pengelolaan PNBP

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:09 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Jum'at, 05 Juli 2024 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dukung Kelancaran Ibadah Haji 2024, DJBC dan Saudi Customs Kerja Sama