Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Pajak Digital Tunggu 2020?

A+
A-
5
A+
A-
5
Pajak Digital Tunggu 2020?

Ilustrasi. (Foto: folkbro.com)

INDONESIA memilih posisi menunggu dalam isu pemajakan di bidang ekonomi digital. Menunggu sampai 2020, ketika dijadwalkan ada konsensus global mengenai Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 1 Addressing the Tax Challenges of Digital Economy.

Pembahasan Aksi BEPS 1 itu dikerjakan Task Force on Digital Economy bentukan Inclusive Framework on BEPS, wadah yang dibuat untuk memonitor dan menilai implementasi BEPS. Task Force itu sendiri akan merilis Final Report pada 2020, yang juga merupakan konsensus global pemajakan digital.

Jadi sampai Final Report itu terbit, hampir bisa dipastikan, Indonesia tidak akan memajaki raksasa ekonomi digital seperti Youtube, Facebook, Instagram, atau Google. Tidak ada pajak yang dipungut dari setiap orang/ badan di Indonesia yang bertransaksi dengan raksasa digital tersebut.

Baca Juga: Kanada Berlakukan Pajak Digital, AS Siapkan Retaliasi

Karena posisi menunggu itu pula, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik tidak menyasar raksasa digital tersebut, termasuk raksasa marketplace seperti Amazon, Alibaba, atau E-bay.

PMK 210 hanya mewajibkan marketplace yang berbasis di Indonesia dan pelapaknya untuk patuh pada peraturan perpajakan domestik. Sementara itu, Amazon, Alibaba, atau E-bay, yang berbasis di luar Indonesia, tidak terkena aturan tersebut. Tidak ada pajak baru dalam aturan itu.

Dengan demikian, di Indonesia ini memasang iklan atau mendapat penghasilan dari Youtube, Google, Facebook atau Instagram tidak kena potong pajak. Biarpun raksasa-raksasa digital itu mengedarkan iklannya di Indonesia, dan orang yang mendapatkan penghasilannya juga orang Indonesia.

Baca Juga: DJP Kumpulkan Rp3,25 Triliun dari Pemungut PPN PMSE Hingga Mei 2024

Apakah berarti masalah ini menyangkut isu kedaulatan negara? Jelas. Soal pajak pada dasarnya adalah kedaulatan negara. Di sisi lain, transaksi di Youtube, Facebook, Instagram, Google di Indonesia sangat besar. Penghasilan Youtuber yang punya jutaan pengikut sudah pasti besar. Belum lagi iklannya.

Karena ketidakadilan itulah, Inggris kemudian merilis diverted provit tax, India merilis equlization levy, Hungaria menerbitkan advertisement tax, Prancis mulai memajaki distribusi konten audio-visual, dan Australia memperkenalkan Multinational Anti-Avoidance Law.

Amerika Serikat memperkenalkan Base Erosion Anti-Abuse Tax, Israel merilis significant economic presence test untuk mempertimbangkan kehadiran secara digital, dan Slovakia memperluas definisi fixed place of business untuk platform digital.

Baca Juga: Sewindu Berlalu, DDTCNews Perkenalkan Wajah Baru

Negara-negara ini memilih posisi tidak mau menunggu bukan karena mereka tidak mau bersabar atau mereka memang hendak mengacau perjalanan menuju Final Report 2020. Bukan itu. Mereka tak mau menunggu karena itu berarti membiarkan ketidakadilan terus merajalela di depan mereka.

Kalau memang nanti Final Report 2020 berhasil dirumuskan, apa susahnya mengganti kebijakan pemajakan digital yang sudah mereka susun? Itu kalau berhasil, bagaimana jika kemudian gagal seperti yang sudah dindikasikan melalui Interim Report (2018)?

Yang pasti, dengan memilih posisi menunggu sampai 2020, itu berarti Indonesia selama beberapa tahun ini telah memberikan subsidi pajak kepada Youtube, Facebook, Instagram, atau Google, dan itu tidak tercatat di APBN atau tax expenditure. Itu yang perlu diingat. Jadi, masih mau menunggu?*

Baca Juga: Badan Penerimaan Negara, Bukan Hanya Soal Pisah dari Kemenkeu

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : ekonomi digital, pajak digital, tajuk pajak

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 08 November 2023 | 13:45 WIB
PENERIMAAN PAJAK

DJP Sebut Setoran PPN dari Produk Digital PMSE Capai Rp5,54 Triliun

Rabu, 01 November 2023 | 10:17 WIB
PROVINSI DKI JAKARTA

Gubernur DKI Heru Budi: Platform Digital Bukan Subjek Pajak Daerah

Selasa, 31 Oktober 2023 | 18:05 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

DJP Siapkan Sistem Pengawasan Pembayaran PPN PMSE

berita pilihan

Jum'at, 05 Juli 2024 | 20:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Pusat Siapkan Rp4 Triliun bagi Pemda yang Atasi Isu-Isu Ini

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Keliru Cantumkan NPWP, Solusinya Bukan Bikin Faktur Pajak Pengganti

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
IBU KOTA NUSANTARA (IKN)

Jokowi: IKN Jadi Sumber Ekonomi Baru, Serap Hasil Tani Daerah Lain

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Ada Potensi Besar, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pengelolaan PNBP

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:09 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Jum'at, 05 Juli 2024 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dukung Kelancaran Ibadah Haji 2024, DJBC dan Saudi Customs Kerja Sama