Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Kamis, 04 Juli 2024 | 14:30 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN FISKAL
Rabu, 03 Juli 2024 | 08:55 WIB
KURS PAJAK 03 JULI 2024 - 09 JULI 2024
Senin, 01 Juli 2024 | 09:36 WIB
KMK 10/KM.10/2024
Rabu, 26 Juni 2024 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 26 JUNI 2024 - 02 JULI 2024
Fokus
Reportase

Menimbang Kelayakan Arm’s Length Principle pada Era Ekonomi Digital

A+
A-
1
A+
A-
1
Menimbang Kelayakan Arm’s Length Principle pada Era Ekonomi Digital

BEBERAPA waktu lalu, penerapan solusi kebijakan pajak ekonomi digital berbasis konsensus global yang diinisiasi OECD telah disepakati oleh negara-negara yang tergabung dalam G20. Proposal OECD ini merupakan bagian dari dari proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dalam mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi.

Proposal tersebut terdiri dari dua pilar yaitu Pilar 1 dan Pilar 2. Hal menarik terletak pada Pilar 1 yang dianggap telah mengesampingkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau yang biasa dikenal dengan istilah Arm’s Length Principle (ALP). Pilar 1 mengusulkan adanya hybrid system dalam pengalokasian laba secara global yang terdiri dari ALP, tetapi juga dilengkapi dengan unsur-unsur formulary apportionment (FA).

Formula yang diusung tersebut memberikan bagian dari laba sisa (residual profit) atau laba nonrutin suatu perusahaan multinasional ke negara pasar. Selama beberapa dekade lalu, OECD sempat menolak alokasi laba berbasis FA, tetapi kini OECD rela melepaskan pendiriannya tersebut.

Baca Juga: Kanada Berlakukan Pajak Digital, AS Siapkan Retaliasi

Keraguan atas kelayakan ALP dalam memastikan distribusi basis pajak penghasilan yang dianggap adil pada suatu negara diperkuat melalui pilar dua yang mengusulkan pajak minimum global untuk perusahaan multinasional.

Meskipun tidak secara langsung dapat memengaruhi ALP, tetapi hal tersebut turut mengindikasikan OECD secara tidak langsung mengakui bahwa ALP pada dasarnya tidak dapat membagi basis pajak yang adil.

Menurut Ulrich Scheriber et al (2020) dalam jurnal yang berjudul Why the Arm’s Length Principle Should Be Maintained, pengabaian atas ALP dinilai sebagai langkah yang keliru. ALP seharusnya tetap dipertahankan karena dapat memberikan solusi yang lebih menjanjikan ke depannya untuk menciptakan keadilan perpajakan antaryurisdiksi yang timbul dari digitalisasi ekonomi, bukan dengan pendekatan alokasi laba berbasis FA.

Baca Juga: Lebih Rendah dari Rata-Rata Asia, OECD Catat Tax Ratio RI 12,1 Persen

Fleksibilitas dari ALP menjadi kunci utama. Dalam konteks bilateral, ALP mempermudah proses negosiasi antarnegara untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan fiskal yang berbeda. ALP tidak memerlukan koordinasi perpajakan internasional berskala besar karena hanya berfokus pada harga dalam transaksi internal.

Setiap otoritas pajak dari suatu negara dapat mengacu pada harga pasar yang sama untuk satu transaksi tanpa perlu mengadakan kerja sama lebih lanjut ataupun menetapkan aturan umum untuk pembagian laba yang adil. Sebaliknya, FA membutuhkan koordinasi perpajakan yang tinggi antarnegara atas aturan dan formula umum untuk mengalokasikan laba ke suatu negara.

Basis FA harus melihat perusahaan multinasional sebagai satu kesatuan entitas ekonomi, bukan entitas terpisah. Hal ini menunjukkan sulitnya menyepakati formula yang tepat dan adil mengingat bahwa setiap negara memiliki kepentingan fiskal dan ekonomi yang berbeda-beda.

Baca Juga: World Bank Sebut Batas Omzet PKP RI Terlalu Tinggi, Perlu Dipangkas?

Tidak hanya pertimbangan untuk mempertahankan ALP sebagai solusi, dalam jurnal ini pun dimuat mengenai kelemahan dari ALP, baik secara teoritis maupun praktis. Konteks ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai latar belakang adanya skenario atau rumusan solusi selain ALP dalam mencapai keadilan perpajakan secara global, khususnya terkait dengan ekonomi digital.

Dari perspektif teoritis, ALP dianggap menyimpang karena pada hakikatnya perusahaan multinasional telah melakukan upaya internalisasi dengan mengganti kondisi di luar perusahaan yang tidak sempurna dengan internalisasi pasar melalui fungsi-fungsi yang dilakukan antarperusahaan dalam grup usaha. Dengan kata lain, baik dari sisi struktur, koordinasi, maupun biaya atas suatu transaksi internal akan berbeda dan tidak sebanding dengan kondisi pasar (transaksi independen).

Hingga saat ini, makin jelas terlihat isu dari meningkatnya penggunaan aset tidak berwujud dalam proses penciptaan nilai pada perusahaan multinasional. Banyak perusahaan yang menggunakan aset tidak berwujud untuk mengalihkan labanya ke negara dengan tarif pajak rendah.

Baca Juga: DJP Kumpulkan Rp3,25 Triliun dari Pemungut PPN PMSE Hingga Mei 2024

Pola perencanaan pajak ini juga sangat terkait dengan model bisnis digital di mana beberapa perusahaan multinasional besar di dunia dapat menyediakan produk dan jasa mereka kepada pelanggan yang berlokasi di negara asing (negara pasar) tanpa membayar pajak penghasilan yang signifikan di masing-masing negara tersebut.

Meski OECD (2017) telah menambahkan skema development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation (DEMPE) dalam ALP, tetapi implementasi atas analisis fungsional dan penilaian DEMPE juga menyebabkan kompleksitas ALP meningkat tajam, termasuk dalam hal biaya kepatuhan dan administrasinya. Kelemahan-kelemahan tersebut membuat evolusi ALP diperlukan sebagai terobosan penting yang dapat diambil sebagai langkah ke depannya.

ALP harus diperbaiki secara substansial agar dapat terus diterapkan di masa mendatang. Perbaikan dapat berfokus pada dua masalah utama ALP saat ini. Pertama, pengurangan kompleksitas atas aturan transfer pricing yang tergolong rumit.

Baca Juga: OECD Dorong Penyiapan Aturan Penyelesaian Sengketa Pajak Minimum

Kedua, fokus untuk memastikan kepastian hukum yang lebih baik. Sebab, setiap transaksi internal dalam suatu perusahaan multinasional setidaknya akan tetap melibatkan administrasi pajak dari dua negara yang berdaulat sehingga ketentuan hukum yang ada tidak menjamin bahwa kedua negara tersebut akan menentukan harga transfer yang sama.

Ketentuan mengenai safe haven serta penyempurnaan program kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) dapat menjadi bagian dari evolusi ALP untuk mencapai hasil kesepakatan yang sama antarnegara sehingga dapat menghindari pajak berganda dan proses pengadilan yang mungkin terjadi yang memakan biaya tinggi.

Tulisan yang dirilis dalam International Transfer Pricing Journal Vol. 27, No. 6, pada akhir tahun 2020 ini dapat memberikan perspektif dan pertimbangan mengapa ALP layak dipertahankan di masa kini dan mendatang, terutama dalam mencapai keadilan hak pemajakan secara global pada era ekonomi digital.

Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Masih Ada 1 Negara yang Belum Dukung Solusi 2 Pilar

*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : resensi, Arm’s Length Principle, lomba resensi jurnal, resensi jurnal, OECD, pajak digital

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 26 April 2024 | 14:30 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Indonesia Ingin Jadi Anggota OECD, DJP: Prosesnya Sudah On Track

Kamis, 25 April 2024 | 13:00 WIB
KEANGGOTAAN OECD

OECD Rilis Roadmap Aksesi, Ada 8 Prinsip Pajak yang Perlu Diadopsi RI

Rabu, 24 April 2024 | 09:30 WIB
KEANGGOTAAN OECD

Ingin Jadi Anggota OECD, Jokowi Bentuk Timnas

berita pilihan

Jum'at, 05 Juli 2024 | 20:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Pusat Siapkan Rp4 Triliun bagi Pemda yang Atasi Isu-Isu Ini

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Keliru Cantumkan NPWP, Solusinya Bukan Bikin Faktur Pajak Pengganti

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
IBU KOTA NUSANTARA (IKN)

Jokowi: IKN Jadi Sumber Ekonomi Baru, Serap Hasil Tani Daerah Lain

Jum'at, 05 Juli 2024 | 19:00 WIB
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Ada Potensi Besar, DPR Minta Pemerintah Perbaiki Pengelolaan PNBP

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingin Batalkan Faktur Pajak Tapi Beda Tahun, Apakah Bisa?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 18:09 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 26 atas Jasa Luar Negeri

Jum'at, 05 Juli 2024 | 17:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Pegawai Pindah Cabang, Hitungan PPh 21-nya Disamakan dengan Resign?

Jum'at, 05 Juli 2024 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dukung Kelancaran Ibadah Haji 2024, DJBC dan Saudi Customs Kerja Sama