Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Senin, 03 Maret 2025 | 15:30 WIB
KAMUS KEPABEANAN
Senin, 03 Maret 2025 | 08:00 WIB
FOUNDER DDTC DARUSSALAM:
Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:03 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:00 WIB
KAMUS KEPABEANAN
Fokus
Reportase

Menggagas Pengenaan Pajak Koruptor

A+
A-
125
A+
A-
125
Menggagas Pengenaan Pajak Koruptor

PEMBERANTASAN korupsi bisa jadi merupakan keinginan universal setiap warga negara di seluruh dunia. Sikap dan langkah dari pemerintah terkait dengan penghentian korupsi sekaligus penghukuman koruptor pun tampaknya menjadi aspek yang selalu didambakan oleh setiap masyarakat, termasuk di Indonesia.

Apalagi, berdasarkan pada Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) 2023 yang dirilis Transparency International, poin Indonesia stagnan sejak 2022 dengan skor 34. Skor ini tercatat menurun jika dibandingkan dengan CPI 2019 yang mencapai 40 poin. Selain itu, skor yang didapat Indonesia masih berada di bawah rata-rata global, yakni 43 poin.

Sejatinya, baik pemerintah saat ini maupun para kandidat dalam pemilihan presiden 2024 juga selalu membawa agenda pemberantasan korupsi. Sayangnya, langkah konkret seperti pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang diharapkan sebagai game changer dalam pemberantasan korupsi, masih sulit terwujud.

Brinkerhoff (2000) menyatakan dalam sebuah gerakan perlawanan terhadap korupsi, kemauan politik (political will) berperan penting. Salah satu wujud political will adalah pengembangan sanksi yang efektif. Dalam konteks ini, pajak bisa berperan karena memiliki fungsi regulerend. Menyasar koruptor untuk pengenaan pajak sepertinya terdengar rasional.

Pajak dan Korupsi

KORUPSI merupakan salah satu musuh utama pajak dan pengemban amanah pemungutannya. Di satu sisi, uang dari pemungutan pajak rawan dikorupsi. Di sisi lain, adanya korupsi juga memberi dampak negatif pada kinerja pengumpulan penerimaan pajak. Bagaimanapun, masyarakat pembayar pajak akan melihat penggunaan uang yang dipungut dari mereka.

Buat apa bayar pajak kalau masih dikorupsi? Pertanyaan tersebut sering muncul. Seruan boikot pajak dan kicauan senada sering kali mewarnai media masa dan media sosial, terlebih saat kasus korupsi baru saja terungkap. Resistensi masyarakat terhadap pajak pada akhirnya akan mempersulit optimalisasi pengamanan penerimaan yang menjadi dana pembangunan.

Dalam Fiscal Monitor edisi April 2019, International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa penghindaran pajak menjadi mungkin terjadi ketika wajib pajak percaya bahwa suatu negara korup. Kondisi ini pada gilirannya turut berdampak pada hilangnya potensi penerimaan pajak yang bisa dihimpun.

Berdasarkan pada data IMF masih dalam laporan tersebut, jika membandingkan negara dengan level pendapatan yang sama, pemerintah yang paling tidak korup mengumpulkan penerimaan pajak tambahan 4% terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih banyak dibandingkan negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perbaikan tata kelola pemerintahan dan pemberantasan korupsi dapat berdampak besar pada kenaikan penerimaan pajak. Terlebih, presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, juga berkomitmen untuk meningkatkan rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap PDB.

Untuk meningkatkan rasio pendapatan negara terhadap PDB, pemerintah perlu mengerek tax ratio. Mengapa? Karena penerimaan perpajakan mendominasi struktur pendapatan negara. Faktanya, tax ratio Indonesia masih cenderung rendah. Pada 2023, tax ratio Indonesia masih berada pada level 10,31% dan hanya bergerak pada kisaran 9%-12% selama 10 tahun terakhir.

Sifat memaksa serta fungsi regulerend (mengatur) yang dimiliki memungkinkan pajak dijadikan alat atau instrumen untuk memerangi korupsi. Perilaku hidup konsumtif saja diatur dengan pungutan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Jadi, wajar jika perilaku koruptif juga mendapat konsekuensi perpajakan tambahan.

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2013), setidaknya sudah ada dua peran administrasi pajak dalam melawan korupsi.

Pertama, kepatuhan terhadap hukum pajak. Otoritas bertanggung jawab memastikan bahwa wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku. Hal ini termasuk memastikan bahwa pengeluaran yang berhubungan dengan korupsi tidak dapat dikurangkan sebagai biaya pajak.

Kedua, pertukaran informasi dengan penegak hukum. Otoritas pengampu administrasi pajak dapat memainkan peran penting dalam memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai indikasi tindak pidana korupsi yang ditemukan selama proses pengawasan pajak.

Menurut penulis, pemberlakuan pemungutan pajak sebagai bentuk hukuman tambahan untuk koruptor dapat memberikan tambahan ruang bagi instrumen pajak dalam pemberantasan korupsi. Hal ini sekaligus menjadi political statement yang baik bagi pemerintah ke depannya.

Kenaikan Tarif dan Sanksi

SAAT ini, mantan terpidana korupsi bahkan seperti masih mendapat ‘karpet merah’ untuk maju sebagai calon legislatif. Hal ini tentu tidak diinginkan masyarakat. Francois (2024) menyatakan bahwa korupsi akan terus merajalela hingga sistem peradilan dapat menghukum pelanggaran dan mengawasi pemerintah dengan ketat.

Menyikapi hal tersebut, setidaknya ada dua opsi yang mungkin dapat dilakukan dengan instrumen pajak. Pertama, penerapan kenaikan tarif untuk seluruh terpidana korupsi. Skema yang ditempuh dapat serupa dengan ketentuan pemotongan pajak penghasilan (PPh) dengan tarif lebih tinggi bagi wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Seperti diketahui, ada tarif pemotongan lebih tinggi terhadap wajib pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yaitu sebesar 20% untuk PPh Pasal 21 dan 100% untuk PPh Pasal 22 dan 23. Dapat dikatakan wajib pajak yang tidak ber-NPWP ‘dihukum langsung’ oleh pajak karena merugikan dan tidak menaati aturan yang ada.

Skema tersebut dapat diadopsi, misal kenaikan tarif sebesar 100%. Bukan hanya sebagai tambahan hukuman, skema ini juga bisa mendukung penerimaan pajak melalui kontribusi lebih yang dibebankan kepada para koruptor dan seluruh mantan terpidana korupsi. Namun, perlu dilengkapi aturan tambahan agar pembayaran itu tidak bisa dikreditkan atau diajukan restitusi.

Kedua, pemberian sanksi pajak melalui penerbitan produk hukum. Ada beberapa jenis sanksi dalam aturan pajak di Indonesia, yaitu sanksi denda, bunga, dan kenaikan. Pengenaan sanksi tersebut dilengkapi dengan tarif dan ketentuan yang berbeda-beda melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) ataupun Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Sebagaimana sanksi denda 2% dari dasar pengenaan pajak (DPP) yang dikenakan kepada pengusaha kena pajak (PKP) atas kelalaiannya dalam membuat dan melaporkan faktur pajak, usulan penerbitan STP sanksi 2% dari penghasilan dapat dikenakan atas kelalaian koruptor dalam bersikap bijak.

Alternatif lainnya adalah sanksi kenaikan yang dihitung 75% dari pajak terutang koruptor melalui penerbitan SKP. Saat ini sanksi tersebut berlaku untuk pajak pertambahan nilai (PPN) yang kurang dibayar atau PPh yang dipotong tapi tidak disetor yang ditemui berdasarkan hasil pemeriksaan.

Memajaki koruptor dan mantan terpidana korupsi seperti ini dapat menjadi sebuah terobosan dan langkah tegas pemerintah dalam pemberantasan korupsi sekaligus meningkatkan tax ratio. Pajak baru bagi semua yang berlabel ‘koruptor’ diharapkan juga bisa mengatasi masalah yang selama ini menjadi penghambat Indonesia untuk menjadi negara maju.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024, pajak, artikel pajak, Prabowo-Gibran, korupsi, koruptor, pajak koruptor

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Minggu, 02 Maret 2025 | 12:30 WIB
PMK 17/2025

Sanksi Pasal 44B Diperinci, Bisa Secara Alternatif dan Kumulatif

Minggu, 02 Maret 2025 | 12:00 WIB
KOTA SAMARINDA

Ayo Manfaatkan! Pemutihan PBB Berlaku hingga 30 Juni 2025

Minggu, 02 Maret 2025 | 11:30 WIB
THAILAND

World Bank Sarankan Thailand Optimalkan Pajak untuk Danai Bansos

Minggu, 02 Maret 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Penghitungan PPN Besaran Tertentu atas Penyerahan Aset Kripto

berita pilihan

Senin, 03 Maret 2025 | 17:05 WIB
BATU BARA DAN MINERAL

Harga Batu Bara Acuan Ditetapkan US$128,24 untuk Periode I Maret 2025

Senin, 03 Maret 2025 | 17:00 WIB
KEBIJAKAN ENERGI

Bahlil Minta Kepala Daerah Tak Persulit Perizinan Migas

Senin, 03 Maret 2025 | 16:37 WIB
PERATURAN PERPAJAKAN

Aturan PPN Ditanggung Pemerintah atas Tiket Mudik, Download di Sini!

Senin, 03 Maret 2025 | 16:30 WIB
KANWIL DJP ACEH

Terbitkan Faktur Pajak Fiktif Rp3 Miliar, Tersangka Ditahan Kejaksaan

Senin, 03 Maret 2025 | 16:07 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Perlakuan Pajak bagi Pembayar Zakat di Berbagai Negara, Seperti Apa?

Senin, 03 Maret 2025 | 15:30 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu BAPA dalam Audit Kepabeanan?

Senin, 03 Maret 2025 | 15:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Tarif Jalan Tol Didiskon 20 Persen selama Mudik Lebaran, Ini Kata AHY

Senin, 03 Maret 2025 | 14:15 WIB
MINYAK KELAPA SAWIT

Harga Referensi Turun, Tarif Bea Keluar CPO US$124/MT di Februari 2025

Senin, 03 Maret 2025 | 14:01 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA

Pertama dalam 25 Tahun, RI Deflasi Tahunan 0,09% di Februari 2025

Senin, 03 Maret 2025 | 14:00 WIB
LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Bisa Tambah Jam Layanan Khusus untuk Terima SPT Tahunan