Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Meninjau Prinsip Desain Ketentuan Anti-hybrid Mismatch Arrangement

A+
A-
17
A+
A-
17
Meninjau Prinsip Desain Ketentuan Anti-hybrid Mismatch Arrangement

ISTILAH hybrid mismatch arrangement terdengar tidak asing dalam konteks perpajakan internasional. Istilah tersebut merujuk pada suatu transaksi atau keadaan yang mendapat perlakuan berbeda di dua negara akibat adanya perbedaan peraturan pajak domestik antara satu negara dengan negara lainnya (OECD, 2015). Simak ‘Apa itu Hybrid Mismatch Arrangement?

OECD menggambarkan fenomena hybrid mismatch arrangement terdiri dari satu atau beberapa elemen seperti hybrid financial instrument, hybrid entities, dan hybrid transfer (Darussalam dan Tobing, 2014). Hybrid financial instrument contohnya, menjadi suatu skema yang umum digunakan oleh penghindar pajak untuk memanfaatkan gap perlakuan perpajakan di beberapa negara.

Hybrid financial instrument merujuk pada instrumen keuangan yang diklasifikasikan berbeda oleh negara-negara yang terlibat dalam transaksi tersebut (OECD, 2012). Modusnya, pembayaran bunga berlebih kepada subjek pajak di negara yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak rendah atas penghasilan bunga sehingga terjadilah double non-taxation.

Langkah Melawan Penghindaran Pajak

SECARA garis besar, ‘Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 2’ merekomendasikan solusi anti-hybrid mismatch arrangement melalui dua cara, yakni multilateral instrument (MLI) dan penyesuaian ketentuan domestik. Dalam MLI, OECD (2018) mengatur ketentuan anti-hybrid mismatch arrangement dalam Pasal 3 (transparent entities), Pasal 4 (dual resident), dan Pasal 5 (elimination of double taxation).

Faktanya, tidak semua negara mengadopsi ketentuan MLI. Indonesia misalnya, hanya mengadopsi Pasal 4 MLI terkait dual resident entities (Tobing, 2017). Dari total 95 negara yang menandatangani MLI, terdapat 58 yurisdiksi memilih tidak menerapkan ketentuan Pasal 4 dan sebanyak 41 yurisdiksi juga memilih tidak menerapkan Pasal 5 (MLI Database, 2021).

Parada (2023) melihat inkonsistensi adopsi ketentuan MLI akibat adanya pendekatan opsional justru menciptakan celah baru dalam koordinasi antarnegara. Selain itu, isu teknis dan administratif yang dihadapi oleh negara berkembang turut menghambat adopsi ketentuan ini (Stewart et al, 2021).

Lantas, bagaimana respons Indonesia melihat hal ini?

Sejatinya, ketentuan anti-hybrid mismatch arrangement yang sudah termuat dalam PP 55/2022 merupakan aturan turunan dari penjelasan Pasal 18 UU PPh s.t.d.d UU HPP.

Lebih lanjut, ketentuan anti-hybrid mismatch arrangement di Indonesia relatif dapat diterapkan secara luas atas transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dalam negeri (WPDN) dengan wajib pajak luar negeri (WPLN) tanpa harus memiliki hubungan Istimewa. Hal itu tecermin dalam Pasal 43 ayat (1) PP 55/2022 yang tidak mengatur ada atau tidaknya hubungan istimewa antara pihak yang terlibat sepanjang transaksi tersebut dilakukan oleh WPDN dengan WPLN.

Sebagai komparasi, ketentuan tersebut bisa berbeda, misal Australia, yang membatasi ketentuan anti-hybrid mismatch hanya atas transaksi tertentu. Di antaranya yaitu transaksi antar entitas dalam grup perusahaan (related parties) dan structured arrangements yang ditujukan untuk menciptakan adanya mismatch, meski dilakukan antara pihak independen (Treasury Laws Amendment Act, 2018). Simak ‘Catat Ternyata Ini Definisi Hubungan Istimewa dalam PP 55/2022

Hal ini tentu dapat mencerminkan progresivitas Indonesia dalam agenda menangkal percobaan penghindaran pajak dengan skema yang lebih luas. Lalu, bagaimana idealnya aturan tersebut disusun? Apa saja prinsip yang perlu diperhatikan?

Prinsip Desain Pengaturan

TERLEPAS dari adanya pro dan kontra serta perbedaan interpretasi dari berbagai negara, implementasi ketentuan domestik anti-hybrid mismatch arrangements perlu memenuhi beberapa prinsip guna mencapai tujuan yang diharapkan. Setidaknya, desain kebijakan yang dirancang perlu berpedoman pada beberapa prinsip sebagai berikut.

Pertama, menetralkan ketidakpaduan. Prinsip ini menyatakan bahwa aturan sebaiknya mengatasi isu ketidakpaduan (mismatch) dalam perlakuan hukum pajak terhadap instrumen atau entitas serupa di berbagai yurisdiksi daripada menitikberatkan pada manfaat pajak yang didapat (OECD, 2015).

Contohnya, dalam skema debt bias, perbedaan perlakuan pajak atas return dari penyertaan modal dan utang. Jika dalam pengujian diketahui bahwa pinjaman yang dimaksud adalah hybrid financial instrument, otoritas pajak dapat mengubah karakternya menjadi penyertaan modal.

Dengan demikian, atas bunga yang timbul dari pinjaman tersebut tidak bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak (Darussalam et al, 2022).

Kedua, komprehensif dan otomatis. BEPS Action 2 merekomendasikan adanya aturan penghubung (linking rules) yang berfungsi sebagai sarana menetralkan mismatch tanpa harus menyelaraskan sistem pajak antarnegara.

Aturan yang dibuat mencakup penyesuaian yang otomatis dan sistematis atas pengurangan dan pengenaan pajak yang bertujuan memastikan bahwa penghasilan dikenai pajak setidaknya satu kali (single tax principle).

Dalam laporannya, OECD (2015) menyatakan ketentuan yang dapat berlaku secara otomatis dipandang lebih efektif daripada aturan yang hanya berlaku atas prosedural administratif dari otoritas pajak yang justru memunculkan kerumitan dan inefisiensi dalam implementasinya.

Ketiga, aturan yang fleksibel. Merujuk pada BEPS Action 2 Report Par. 282, diperlukan kesepakatan bersama dari tiap yurisdiksi agar aturan anti-hybrid mismatch arrangements dapat diterapkan secara luas dan adaptif pada berbagai sistem hukum dan perpajakan yang berbeda, tanpa kehilangan efektivitas dalam mencapai tujuan kebijakan.

Adanya harmonisasi peraturan perpajakan bertujuan untuk mengeliminasi disparitas dalam ketentuan perpajakan tiap-tiap yurisdiksi. Hal itu didukung oleh pandangan bahwa harmonisasi menghadirkan solusi komprehensif dengan menyelaraskan perlakuan pajak secara global dan menghilangkan peluang terjadinya double taxation (Dalton, 2012).

Keempat, jelas dan transparan. Aturan yang disusun perlu mencerminkan asas kepastian hukum, memiliki tujuan yang jelas, ruang lingkup yang pasti, serta didukung dengan penjelasan teknis serta prosedur penerapan yang terbuka.

Misal, Australia Taxation Office (ATO) menyertakan contoh konkret berupa pembayaran bunga melalui hybrid financial instruments yang dianggap utang di suatu negara tetapi dianggap modal di negara lainnya.

Aturan tersebut juga dilengkapi flowchart untuk penilaian risiko seperti pembayaran ke entitas di tax haven tanpa aktivitas bisnis riil, dan sebagainya. Tanpa ini, wajib pajak kesulitan memprediksi kapan suatu transaksi dianggap sebagai hybrid mismatch (OECD BEPS Action 2, Par. 297).

Kelima, meminimalisasi biaya kepatuhan wajib pajak. Aturan yang diadopsi idealnya meminimalisasi beban administratif yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak patuh terhadap kewajiban perpajakannya.

Otoritas dapat menerapkan ketentuan safe harbour dan checklist wajib pelaporan seperti di Singapura dengan membebaskan transaksi dengan nilai tertentu dari aturan hybrid mismatch (IRAS, 2024). Sementara, Inggris menggunakan digital reporting service berupa pengisian formulir self-assessment berbasis risiko (HMRC, 2017).

Ketentuan pelaksanaan di Indonesia dapat mengadopsi checklist yang menjelaskan bahwa pembayaran ke luar negeri melibatkan entitas dengan perlakuan pajak berbeda di negara penerima serta adanya ketidaksesuaian antara perlakuan pajak atas instrumen di Indonesia dan yurisdiksi lain.

Keenam, menurunkan beban administrasi otoritas pajak. Idealnya aturan anti-hybrid mismatch arrangements diterapkan secara otomatis oleh wajib pajak saat menentukan kewajiban pajak mereka sehingga relatif tidak menimbulkan biaya administrasi yang signifikan bagi otoritas pajak (BEPS Action 2 Report Par. 302-303).

Misalnya, Jerman menggunakan sistem pertukaran informasi untuk mengidentifikasi pembayaran ke yurisdiksi berisiko tinggi. Sementara Belanda mengintegrasikan laporan Country-by-Country Report (CbCR) dengan basis data hybrid mismatch.

Tidak hanya itu, guna membantu wajib pajak dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan anti-hybrid mismatch, ATO disebut akan mengeluarkan lebih banyak panduan. Sebagai contoh, ‘Practical Compliance Guideline 2021/5EC’ yang menunjukkan bahwa ATO memberikan panduan tentang prinsip-prinsip untuk mengidentifikasi apakah suatu negara memiliki ketentuan anti-hybrid mismatch arrangement yang sesuai.

Rekomendasi

LAHIRNYA PP 55/2022 merupakan langkah progresif dalam mengatasi anti-hybrid mismatch arrangements. Namun demikian, absennya pedoman pengaturan lebih lanjut dapat menciptakan celah ketidakpastian hukum bagi wajib pajak dan risiko kewenangan berlebih oleh otoritas.

Seyogianya, pemerintah dapat mengkombinasikan setiap elemen prinsip tersebut dalam rangka menjamin keseimbangan antara upaya menjaga basis pajak dengan menjamin iklim usaha yang kondusif. Jangan sampai agenda mencegah penghindaran pajak justru menimbulkan sengketa atau justru berdampak negatif bagi aktivitas ekonomi yang substansial (Darussalam et al, 2022).

Tanpa langkah strategis yang nyata, adopsi ketentuan domestik dalam upaya mencegah dampak anti-hybrid mismatch arrangements hanya akan menjadi simbol belaka. Sementara itu, praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh berbagai pihak pada akhirnya akan bermuara pada penggerusan basis pajak. (sap)

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : Analisis, analisis pajak, hybrid-mismatch arrangement, penghindaran pajak, transaksi

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 26 Februari 2025 | 18:13 WIB
DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2025

Hindari Risiko, Penyusunan TP Doc Perlu Dimulai Sedini Mungkin

Kamis, 30 Januari 2025 | 17:55 WIB
PAJAK INTERNASIONAL

Penghindaran Pajak Lebih Rugikan Negara Berkembang daripada yang Maju

Kamis, 30 Januari 2025 | 17:55 WIB
PAJAK INTERNASIONAL

Tax Avoidance Undermines Developing Rather Than Developed Countries

berita pilihan

Jum'at, 06 Juni 2025 | 15:30 WIB
KELAS PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK (5)

Penyebab Terbitnya SKP Kurang Bayar Tambahan dan Konsekuensinya

Jum'at, 06 Juni 2025 | 14:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Solusi Gagal Bikin Bukti Potong di Coretax karena NIK Tak Ditemukan

Jum'at, 06 Juni 2025 | 13:00 WIB
KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Kemenperin Siapkan Regulasi Kawasan Industri Tertentu

Jum'at, 06 Juni 2025 | 12:30 WIB
SE-4/PJ/2025

DJP Rilis Surat Edaran terkait MLI antara Indonesia dan Ukraina

Jum'at, 06 Juni 2025 | 12:00 WIB
REALISASI INVESTASI

Airlangga Ajak Investor Swiss Tanam Modal di Sektor Industri Ini

Jum'at, 06 Juni 2025 | 11:30 WIB
KABUPATEN JAYAPURA

Pemda Ancam Hotel dan Restoran yang Tidak Aktifkan Alat Perekam Pajak

Jum'at, 06 Juni 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Kriteria Wajib Pajak yang Harus Laporkan SPT Tahunan Elektronik

Jum'at, 06 Juni 2025 | 10:30 WIB
KALIMANTAN TENGAH

Tunggakan Pajak Kendaraan di Provinsi Ini Tembus Rp1,8 Triliun

Jum'at, 06 Juni 2025 | 09:30 WIB
KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Optimalkan Penagihan Aktif, Kanwil Jakbar Kolaborasi dengan Perbankan