Di Hadapan Trump, Indonesia Dukung Moratorium Bea Masuk Barang Digital

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah Indonesia bersedia untuk mendukung moratorium permanen terhadap pengenaan bea masuk atas barang digital secara tanpa syarat.
Dukungan Indonesia tersebut termuat dalam pernyataan bersama terkait dengan kesepakatan perdagangan resiprokal atau agreement on reciprocal trade antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
"Indonesia berkomitmen untuk...mendukung moratorium permanen bea masuk atas barang digital di World Trade Organization (WTO) secara segera dan tanpa syarat," bunyi pernyataan bersama antara Indonesia dan AS, dikutip pada Rabu (23/7/2025).
Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk menghapuskan barang tidak berwujud dari harmonized tariff schedule (HTS), atau yang di Indonesia bernama buku tarif kepabeanan Indonesia (BTKI).
Sebagai informasi, moratorium pengenaan bea masuk atas barang digital telah berlaku sejak 1998 dan terus diperpanjang hingga saat ini.
Terbaru, dalam konferensi tingkat menteri (KTM) ke-13 pada Februari 2024, negara-negara WTO mencapai kesepakatan untuk memberlakukan moratorium bea masuk barang digital hingga 2026.
Dengan moratorium tersebut, negara-negara WTO sepakat untuk tidak mengenakan bea masuk atas transaksi barang digital lintas yurisdiksi (electronic transmission)
Indonesia sesungguhnya telah mendorong pencabutan moratorium bea masuk barang digital. Menurut Indonesia, diperlukan kesepakatan mengenai bea masuk atas barang digital guna menciptakan keadilan di antara negara produsen dan pasar.
"Ini bukan tentang penerimaan. Ini tentang bagaimana kita menyadari teknologi digital menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancang kebijakan yang tepat dan adil di seluruh negara," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada tahun lalu.
Kala itu, Sri Mulyani menilai pergerakan barang dan jasa digital telah bertumbuh secara signifikan dan mengubah perilaku masyarakat. Untuk itu, kesepakatan mengenai pengenaan bea masuk atas barang digital diperlukan untuk memberikan kemakmuran bagi negara pasar.
"Semua negara akan terkena dampaknya. Bagi negara yang masih tertinggal, akan makin sulit bagi mereka untuk mengejar ketertinggalannya jika kita tidak menerapkan kebijakan secara adil," jelas Sri Mulyani. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.