Pentingnya Pajak Minimum Global

INDONESIA telah secara resmi mengadopsi pajak minimum global atau sering disebut ketentuan Global Anti-Base Erosion (GloBE) mulai 2025. Hal ini sebagaimana diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global berdasarkan Kesepakatan Internasional (PMK 136/2024).
Perihal pajak minimum global dengan tarif pajak efektif sebesar 15% agaknya sudah menjadi bahan perbincangan hangat selama tiga tahun terakhir. Namun demikian, banyak pihak rupanya masih belum sepenuhnya memahami kerangka berpikir pajak minimum global dan kerap mempertanyakan perlu atau tidaknya Indonesia mengadopsi aturan tersebut.
Kesulitan mencerna PMK 136/2024 yang diadopsi dari ketentuan GloBE juga tak urung menimbulkan rasa masygul. Apakah kompleksitas yang ditimbulkannya adalah sesuatu yang memang diperlukan untuk mewujudkan sistem pajak yang lebih adil? Bagaimana kita meresponsnya?
Keniscayaan
Pajak minimum global adalah suatu keniscayaan. Buah pemikiran dari diskusi bertahun-tahun yang kemudian menjadi solusi tak terelakkan atas tantangan sistem pajak internasional kekinian.
Kerangka pemikiran tentang apa yang kita identifikasi sebagai sistem pajak internasional berawal sejak seratus tahun lalu setelah berakhirnya Perang Dunia I. Pada periode 1920-an, untuk pertama kalinya terdapat kompromi bersama untuk mengatasi permasalahan yang timbul dari interaksi ketentuan pajak antaryurisdiksi dalam hal kegiatan ekonomi internasional (Hongler, 2021; Carroll, 1941).
Pada titik inilah alokasi hak pemajakan (antara negara residen dan negara sumber) dan upaya pencegahan pajak berganda melalui tax treaty mulai terbentuk. Alokasi laba antaryurisdiksi juga diputuskan akan diselesaikan melalui pendekatan entitas terpisah atau separate entity approach (Eden, 1998). Selain itu, setiap negara tetap memiliki kedaulatan fiskal (fiscal sovereignty) secara penuh untuk mendesain dan menyusun sistem pajak domestiknya.
Seiring berjalannya waktu, aktivitas perdagangan internasional dan investasi lintas yurisdiksi kian meningkat. Fenomena globalisasi tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkembangan model bisnis, global supply chain yang efisien, teknologi, serta kian berkurangnya hambatan.
Bagi arena pajak, hal ini menciptakan persoalan tersendiri. Jargon kedaulatan fiskal telah memberikan kebebasan bagi tiap negara untuk mendesain beban pajak yang paling rendah untuk bersaing dalam tax law market (Peters, 2014).
Penurunan tarif PPh badan, pemberian berbagai insentif berbasis laba (profit-based), hingga transformasi menjadi negara tax haven demi argumen daya saing yang abstrak jadi fenomena global (Slemrod, 2009). Di sisi lain, pendekatan entitas terpisah tidak memungkinkan otoritas pajak melihat secara keseluruhan dari entitas yang tergabung dalam suatu grup perusahaan multinasional.
Bagi perusahaan multinasional, disparitas tarif dan celah hukum yang timbul dari interaksi sistem pajak yang bervariasi menciptakan peluang praktik profit shifting (Kristiaji, 2015). Sedangkan, perilaku negara di dunia justru kian menjurus fenomena terlibat dalam kompetisi pajak yang harmful. Kedua hal tersebut merupakan sumber kebocoran penerimaan negara khususnya di negara berkembang (Cobham, 2005).
Pemerintah di berbagai negara jelas tidak tinggal diam. Mereka juga kian membentengi diri dengan ketentuan antipenghindaran pajak yang kian sophisticated. Puncaknya ialah melalui proyek Base Erosion and Profit Shifting 2013-2015 yang kerap disebut sebagai BEPS 1.0 yang mengusung berbagai terobosan untuk mencegah penghindaran pajak.
Contohnya ialah dokumentasi transfer pricing yang berlapis dengan fitur Country-by-Country Reporting (CbCR) guna melihat postur bisnis, komersial, dan pajak perusahaan multinasional secara keseluruhan dan per yurisdiksi. Lainnya semisal formula dan desain terbaik dari ketentuan controlled foreign company (CFC) dan pembatasan biaya bunga yang berlebihan.
Upaya mengendalikan kompetisi pajak yang harmful dengan adanya asesmen atas rezim pajak ramah oleh OECD Forum on Harmful Tax Practice juga dilakukan (OECD, 2015).
Sayangnya, praktik pengalihan laba tidak surut. Data dari Wier dan Zucman (2023) menunjukan bahwa persentase PPh badan yang hilang akibat pengalihan laba justru tidak terpengaruh banyak. Per 2020, sekitar 10% PPh badan secara global tergerus.
Fenomena kompetisi pajak juga kian bervariasi, dari supertax deduction untuk litbang hingga headquarter tax regime. Puncaknya setelah pandemi Covid-19, di mana mayoritas negara di dunia kian royal menawarkan berbagai insentif pajak dalam rangka percepatan economic recovery.
Singkatnya, sistem pajak internasional yang terbentuk setelah BEPS 1.0 belum mampu mengatasi praktik profit shifting dan kompetisi pajak yang tidak sehat.
Di saat yang bersamaan, diskusi dan kebijakan atas solusi yang paling tepat mengatasi hal tersebut bermunculan. Sejak 2011, Uni Eropa bergelut dengan rencana Common Consolidated Corporate Tax Base (CCCTB) yang bermaksud untuk mengalokasikan laba perusahaan multinasional di Eropa dengan suatu formula yang lebih adil.
Diskusi mengenai hadirnya pendekatan multilateral yang mengusung single tax principle guna memastikan tidak adanya penghasilan perusahaan multinasional yang lolos dari pemajakan santer di kalangan akademisi (Avi-Yonah, 2022).
Demikian pula gagasan pengenaan pajak dengan tarif minimum, yang dapat ditemukan pada pengenaan pajak atas outbound investment melalui Global Intangible Low-Taxed Income (GILTI) yang diluncurkan Trump (2017), maupun rekomendasi IMF (IMF, 2014; IMF, 2019).
Benang merah seluruh gagasan tersebut terletak dalam 3 hal. Pertama, melihat grup perusahaan multinasional secara utuh. Kedua, pentingnya solusi yang bersifat multilateral mengenai kesepahaman bersama untuk memajaki perusahaan multinasional. Ketiga, solusi untuk memberikan suatu tarif pajak minimum.
Lantas, di manakah ketiga hal tersebut bermuara? Jawabannya ada pada ketentuan GloBE yang mengusung solusi yang tidak setengah-setengah dan menyasar secara langsung pada sumber persoalan.
Perlukah Didukung?
Walau telah disepakati oleh lebih dari 130 negara anggota BEPS Inclusive Framework serta memperoleh endorsement dari OECD dan G-20, implementasi pajak minimum global bukan tanpa sandungan.
Sehari setelah dilantik, Presiden AS Donald Trump merilis memorandum yang menyatakan pembatalan komitmen pemerintahan sebelumnya mengenai OECD Global Tax Deal. Sebagai informasi, OECD Global Tax Deal merujuk pada pembahasan atas Solusi 2 Pilar yang salah satunya mengatur tentang ketentuan GloBE.
Tidak hanya itu, setiap ketentuan pajak negara lain yang bertentangan dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan berdampak bagi pemerintah dan perusahaan asal AS, akan dibalas dengan suatu tindakan perlindungan (protective measures).
Ancaman tersebut tentu perlu ditinjau secara serius. Pasalnya, langkah AS kerap menentukan arah perkembangan lanskap pajak global. Selain itu, tindakan ancaman retaliasi perdagangan pernah diutarakan secara serius dalam investigasi US Trade Representative (USTR) mengenai pengenaan pajak digital.
Ragam respon pun bermunculan. Misalkan India yang menyatakan akan mengevaluasi sejauh mana keberhasilan reformasi pajak global pascamemorandum tersebut. Di domestik sempat timbul kegamanagan serupa, yang diungkapkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto.
Namun demikian, seyogianya kita tidak perlu buru-buru menyikapi sikap AS tersebut terlebih secara gegabah. Ada dua indikator yang perlu kita amati. Pertama, mencermati tindakan AS kepada Uni Eropa yang sudah menerapkan ketentuan GloBE secara efektif pada tahun 2024 lalu.
Kedua, memantau sikap dari berbagai negara anggota BEPS Inclusive Framework. Hingga saat ini belum ada negara yang menyatakan menarik diri (withdraw) dari komitmen penerapan ketentuan GloBE. Yang jelas, kecenderungan mengadopsi ketentuan GloBE justru tetap positif.
Berdasarkan data IBFD, per akhir 2024 terdapat 47 negara yang sudah dan berencana (dalam proses legislasi) menerapkan ketentuan GloBE. Kedua pengamatan tersebut nantinya juga untuk meninjau nyali dari setiap negara -khususnya AS- dalam posisinya terhadap ketentuan GloBE.
Terlepas dari perkembangan global tersebut, sejatinya terdapat beberapa alasan rasional lainnya yang menjustifikasi perlunya konsistensi posisi Indonesia dalam ketentuan GloBE.
Pertama, ketentuan GloBE tidak semata-mata berpihak bagi kepentingan capital exporting countries. Perihal adanya hubungan asosiatif antara ketentuan GloBE dengan kepentingan negara maju sebenarnya tidak lagi tepat. Betul bahwa pada awalnya ketentuan GloBE disusun dengan skema income inclusion rule, di mana setiap negara tempat berlokasinya ultimate parent entity berhak mengenakan pajak tambahan atas entitas yang berkedudukan di negara dengan tarif pajak efektif yang rendah (OECD, 2021).
Namun demikian, kini negara sumber -capital importing countries- diberikan hak pemajakan pertama atas adanya pajak tambahan tersebut. Skema ini disebut sebagai domestic top-up tax (DMTT). Hal tersebut hanya bisa dilakukan jika Indonesia mengadopsi DMTT dalam ketentuan domestik yang selaras dengan prinsip dan penghitungan berdasarkan ketentuan GloBE. Tanpa adopsi tersebut, segala top up tax yang timbul di Indonesia justru berpotensi ‘ditarik’ ke negara lokasi ultimate parent entity.
Kedua, mencegah revenue forgone yang lebih besar. Penerapan ketentuan GloBE akan berdampak positif bagi penerimaan. Dampak secara langsung diperoleh melalui pengenaan top-up tax di level domestik. Sedangkan, dampak tidak langsung akan diperoleh melalui kian kecilnya godaan melakukan praktik profit shifting serta kian terkelolanya tax expenditure dari berbagai insentif.
Studi dan analisis yang lebih mendalam mengenai estimasi penerimaan bagi Indonesia jelas dibutuhkan. Namun, jika kita berpatokan pada studi global yang dilakukan Hugger et al (2024), penerapan Pilar 2 akan memberikan tambahan penerimaan sebesar USD 155-192 miliar per tahun (Rp2.500 triliun hingga Rp3.100 triliun) secara global. Atau sebesar 6.5% hingga 8,1% dari penerimaan PPh Badan global saat ini. Persentase ini tentu menggiurkan mengingat tingginya kontribusi PPh badan bagi komposisi penerimaan pajak Indonesia.
Ketiga, pajak minimum global tidak secara otomatis menggerus daya saing Indonesia. Ketentuan GloBE jelas berpengaruh bagi ‘kesaktian’ dan optimalnya insentif pajak (Perez-Navarro, 2023). Akan tetapi, tidak lantas membuat pemberian insentif pajak tidak diperkenankan lagi.
Ketentuan GloBE justru menyarankan jenis insentif yang dirasa ‘aman’ bagi penghitungan tarif pajak efektif, seperti halnya pemberian uang melalui skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC). Secara komparatif, juga tidak terdapat indikasi pembatalan tawaran insentif pajak di mayoritas negara di dunia.
Kita juga perlu ingat bahwa ketentuan GloBE berbasis pada pendekatan yurisdiksi (jurisdictional blending) bukan per entitas. Artinya, walau salah satu entitas memperoleh insentif, tetapi tarif pajak efektif untuk seluruh entitas di Indonesia bisa jadi tetap di atas tarif pajak efektif 15%.
Dengan demikian, skema mengoptimalkan daya saing -seperti telah disebutkan Presiden Prabowo- melalui keberlangsungan tax holiday, tax allowance, serta fasilitas berbasis kawasan masih kompatibel. Tantangan selanjutnya ialah cara mengemas arsitektur insentif pajak yang tetap menyeimbangkan antara kebutuhan investasi dan kebutuhan komitmen global di bidang pajak. Keduanya seharusnya bisa berjalan beriringan tanpa harus saling menegasikan.
Keempat, pajak minimum global tetap menghormati prinsip substansi ekonomi dan prinsip pembentukan nilai (value creation). Hal ini dapat ditemukan dalam komponen substance-based income exclusion (SBIE) yang dipergunakan sebagai formula pengurang jumlah pajak tambahan (Rizo dan Das, 2024). SBIE dihitung berdasarkan biaya gaji dan nilai aset berwujud. Hal ini tentu menyiratkan keberpihakan bagi negara lokasi entitas perusahaan multinasional dengan substansi ekonomi semisal industri padat karya.
Kelima, tetap mempertimbangkan beban kepatuhan pajak yang berimbang. Elemen ketentuan GloBE sebagaimana diadopsi dalam PMK 136/2024 telah merekognisi potensi beban kepatuhan dalam penerapannya. Oleh karena itu, dalam ketentuan GloBE telah diatur skema de minimis yang mengecualikan yurisdiksi dengan entitas berskala kecil berdasarkan threshold tertentu.
Tidak hanya itu, ketentuan safe harbour yang dapat membuat pajak tambahan menjadi nihil juga diatur secara khusus. Skema perlindungan dalam masa transisi juga bisa ditemukan melalui berbagai kondisi seperti pengecualian sanksi, perpanjangan waktu pelaporan, dan sebagainya.
Capacity Building
Dukungan -atau dalam hal ini pembelaan- atas pengenaan pajak minimum global di Indonesia jelas bersyarat. Keberhasilan implementasinya tetap membutuhkan berbagai prasyarat pendukung.
Hal yang terpenting ialah strategi capacity building. Secara alami, ketentuan GloBE adalah sesuatu yang kompleks, mengikutsertakan berbagai jargon dan terminologi, dan sulit dipahami. Apalagi, PMK 136/2024 harus dimaknai sama dengan ketentuan GloBE yang mencakup dokumen OECD mengenai commentary, examples, agreed administrative guidance, GIR, serta safe harbours and penalty relief.
Pemahaman atas ketentuan GloBE pada dasarnya turut membutuhkan pengetahuan dasar mengenai konsep pajak internasional, mulai dari definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT), hybrid entity, hingga ketentuan CFC. GloBE juga relatif lebih mudah dipahami dengan dukungan pemahaman atas standar akuntansi komersial dan perpajakan, serta derajat hubungan antara keduanya.
Kerumitan ketentuan GloBE berkaitan pula dengan interaksinya dengan ketentuan pajak domestik di setiap yurisdiksi yang menerapkannya. Sebagai contoh, mengategorikan jenis pajak yang dapat digolongkan sebagai pajak tercakup (covered tax). Atau, misalkan interaksi ketentuan GloBE dengan perlakuan komersial dan pajak atas pengalihan harta dalam hal restrukturisasi usaha.
Urgensi capacity building juga mengemuka karena pembayaran pajak tambahan (top-up tax) atas tahun fiskal 2025 harus dirampungkan pada 2026. Mekanisme pelaporan baik melalui GloBE Information Return (GIR), notifikasi, serta SPT PPh DMTT juga harus dilaksanakan maksimal Juni 2027.
Dengan demikian, harus terdapat langkah cepat untuk menyebarkan pemahaman yang menyeluruh dan konsisten tentang PMK 136/2024 kepada wajib pajak. Tujuannya, untuk menjamin kepatuhan sekaligus memitigasi risiko pajak yang berpotensi timbul sejak dini.
Upaya mendorong kegiatan capacity building bagi internal pemerintah, khususnya otoritas pajak, tidak kalah penting. Pasalnya, perusahaan multinasional di Indonesia yang berpotensi tercakup (in-scope) dalam ketentuan GloBE diperkirakan tidaklah sedikit. Dengan demikian, penguasaan atas ketentuan GloBE perlu dilakukan untuk menjamin asistensi, pengawasan kepatuhan, hingga mencegah dan menyelesaikan sengketa antara otoritas dengan wajib pajak.
Agenda capacity building seyogianya dapat mereplikasi langkah-langkah baik yang dianjurkan PBB dalam area ketentuan transfer pricing (UN Transfer Pricing Manual, 2021). Secara khusus, PBB menitikberatkan perhatian terhadap peningkatan pengetahuan/skill, pengorganisasian tim/unit khusus, strategi pelatihan, kewenangan (sentralisasi vs desentralisasi), orientasi pelayanan bagi wajib pajak, pendekatan berbasis risiko dalam audit, ketersediaan data, hingga proses bisnis yang efektif-efisien.
Pada akhirnya, pemahaman yang seimbang baik dari sisi wajib pajak dan otoritas pajak akan menjamin implementasi ketentuan pajak minimum global yang tepat sasaran, berkepastian, tidak multiinterpretasi, dan minim sengketa. Tercapainya kondisi tersebut turut menentukan langgeng atau tidaknya dukungan kita terhadap pajak minimum global serta mimpi tentang sistem pajak yang adil.
Sebagai penutup, ketentuan GloBE hanyalah awal dari suatu perjalanan kita di semesta pembaruan sistem pajak internasional di abad 21. Masih banyak yang akan datang, masih banyak lagi yang akan kita hadapi. Mulailah bersiap sejak kini. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.