Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Catatan Soal Agenda Perpajakan Internasional Presidensi G-20 Indonesia

A+
A-
2
A+
A-
2
Catatan Soal Agenda Perpajakan Internasional Presidensi G-20 Indonesia

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri depan), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kedua kanan depan), dan delegasi pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) Presidensi G20 Indonesia mengikuti sesi foto bersama di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (17/2/2022). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/POOL/rwa.

JAKARTA, DDTCNews – Sebagai pemegang Presidensi G-20 pada tahun ini, Indonesia memiliki peran strategis dalam pembahasan sejumlah agenda, termasuk perpajakan internasional.

Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan hasil pembahasan forum G-20 selama ini memiliki pengaruh dan menjadi kunci perubahan sistem pajak. Perubahan itu terjadi pada tingkat nasional, regional, maupun internasional.

“Ini dapat ditelusuri dari bagaimana sejauh ini forum G-20 telah membawa pengaruh besar bagi koordinasi global tentang transparansi, perlawanan terhadap BEPS, hingga pajak digital. Artinya, keterlibatan Indonesia, khususnya dalam memegang tampuk presidensi, sangat strategis,” ujarnya, Rabu (23/2/2022).

Baca Juga: Ada Detail Transaksi WP yang Belum Masuk SPT, Fiskus Adakan Kunjungan

Apalagi, isu perpajakan internasional yang dibahas pada tahun ini mencakup berbagai aspek strategis. Semua isu juga relevan dengan perkembangan terkini. Beberapa agenda bersifat estafet untuk menjamin proses dari peta jalan sebelumnya. Ada pula beberapa agenda baru.

Agenda yang bersifat estafet tersebut antara lain implementasi proyek perlawanan terhadap praktik base erosion and profit shifting (BEPS), pertukaran informasi, dan sebagainya. Sementara isu baru mencakup pajak karbon, kesetaraan gender dalam pajak, serta pajak dan pembangunan.

Terkait dengan progres proyek BEPS dan pertukaran informasi, sambung Bawono, ada peningkatan implementasi. Di tengah berbagai kendala, ada pula asistensi kerja sama seperti Tax Inspector Without Border yang telah membawa tambahan penerimaan dan peningkatan kepatuhan.

Baca Juga: Kode Billing PPh Final UMKM Pakai 411128-420, Tak Perlu NPWP Lawan

Catatan dari Bawono adalah perlunya memastikan implementasi BEPS dan pertukaran informasi menjamin perlindungan basis pajak sekaligus memberikan kepastian bagi wajib pajak. Contohnya terkait dengan tinjauan atas kompleksitas ketentuan antipenghindaran pajak, biaya kepatuhan, dan sebagainya.

Kemudian, terkait dengan solusi 2 pilar tantangan pajak akibat digitalisasi ekonomi, Bawono memberikan catatan khusus. Pada Pilar 1, adanya hak pemajakan yang tidak hanya bergantung pada kehadiran fisik relevan dengan perilaku pebisnis setelah adanya digitalisasi ekonomi. Adanya skema residual profit yang ditujukan bagi negara pasar juga lebih menjamin keadilan alokasi laba dan pajak.

Namun, potensi tambahan penerimaan bagi negara berkembang diestimasi tidak terlalu besar (IMF, 2021). Kondisi ini terutama diakibatkan patokan threshold peredaran bruto global, penentuan ambang batas residual profit, dan persentase residual profit yang dialokasikan ke negara pasar.

Baca Juga: Kolom Kode Barang Coretax, Bisa Diisi 0000 Jika Tak Ada yang Mendekati

Pada Pilar 2, adanya skema pajak minimum global akan mengurangi potensi kompetisi pajak yang selama ini disebut-sebut untuk meningkatkan daya saing. Pada gilirannya peran tax haven akan tereduksi. Pajak minimum global akan mampu menambal kebocoran pajak akibat globalisasi.

Namun, skema kebijakan ini juga menyisakan risiko ditariknya basis pajak dari kegiatan ekonomi substantif di negara berkembang ke negara maju. Hal ini dikarenakan jika tarif pajak efektif di suatu yurisdiksi kurang dari 15% (misalnya akibat insentif), yurisdiksi induk dapat mengenakan top-up tax.

Kebijakan ini tentu akan berpengaruh pada rezim insentif negara berkembang. Simak pula Perspektif Bagaimana Kita Harus Menyikapi Pajak Minimum Global?.

Baca Juga: Usai Kena Teguran Keras, WP Mulai Lunasi Tunggakan Pajak Daerah

Terkait dengan digitalisasi ekonomi, G-20 juga menyerukan persoalan mengenai aset kripto. Bawono berpendapat isu pajak aset kripto atau digital memang sangat relevan dengan perkembangan model bisnis. Sistem pajak juga harus melakukan penyesuaian.

“Tidak hanya itu, ada baiknya juga membahas skema pemajakan yang tepat bagi content creator. Skema yang diterapkan di Amerika Serikat terhadap Youtube juga bisa dibahas karena sifatnya juga lintas yurisdiksi,” imbuh Bawono.

Untuk isu pajak karbon, dia berpendapat pesan yang diajukan dalam agenda G-20 tahun ini mengenai penurunan emisi merupakan aspek penting. Dorongan agar terdapat pengenaan pajak dan/atau pasar karbon secara seragam di tingkat internasional perlu diprioritaskan.

Baca Juga: Hal-Hal yang Diteliti Petugas Pajak dalam Penelitian Material PPh PHTB

Pengenaan secara seragam diperlukan mengingat lingkungan hidup sebagai global public goods dan upaya pencegahan carbon leakage. Pengenaan secara tidak seragam berpotensi membuat perpindahan lokasi investasi ke negara yang tidak menerapkan skema tersebut karena struktur biaya yang lebih rendah.

Bawono mengatakan masih terdapat beberapa isu lain yang sejatinya sangat relevan tetapi masih luput dari pembahasan. Isu yang dimaksud seperti pengaturan PPh orang pribadi di tengah mobilitas individu, digital nomad, dan peningkatan pekerjaan nonstandar.

Isu mengenai kepastian pajak yang selama 2017-2019 menjadi agenda strategis juga tidak terlalu menonjol dan terselip di bawah payung agenda lainnya. Menurutnya, isu kepastian pajak justru krusial di tengah maraknya reformasi dan perubahan lanskap.

Baca Juga: Hadapi Overtourism, Negara Ini Akan Kenakan Pajak Turis Mulai 2026

“Selain itu, isu lintas yurisdiksi yang selama ini jarang dibahas tapi sangat strategis bagi Indonesia adalah perlakuan pajak lintas yurisdiksi atas Islamic finance,” imbuh Bawono. Simak pula ‘Saatnya Pimpin Orkestrasi Pembahasan Perpajakan Internasional’. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : fokus, G-20, pajak, konsensus global, OECD, BEPS, pajak minimum global, pajak karbon, DDTC

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 07 Juni 2025 | 07:00 WIB
BERITA PAJAK SEPEKAN

Form SPT Tahunan Jadi Seragam, Detail Harta yang Diisi Makin Banyak

Jum'at, 06 Juni 2025 | 15:30 WIB
KELAS PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK (5)

Penyebab Terbitnya SKP Kurang Bayar Tambahan dan Konsekuensinya

Jum'at, 06 Juni 2025 | 14:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Solusi Gagal Bikin Bukti Potong di Coretax karena NIK Tak Ditemukan

berita pilihan

Minggu, 08 Juni 2025 | 14:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Kode Billing PPh Final UMKM Pakai 411128-420, Tak Perlu NPWP Lawan

Minggu, 08 Juni 2025 | 14:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Kolom Kode Barang Coretax, Bisa Diisi 0000 Jika Tak Ada yang Mendekati

Minggu, 08 Juni 2025 | 13:00 WIB
KOTA PEKANBARU

Usai Kena Teguran Keras, WP Mulai Lunasi Tunggakan Pajak Daerah

Minggu, 08 Juni 2025 | 12:00 WIB
PER-8/PJ/2025

Hal-Hal yang Diteliti Petugas Pajak dalam Penelitian Material PPh PHTB

Minggu, 08 Juni 2025 | 11:09 WIB
BADAN PENERIMAAN NEGARA

Membedah Urgensi Badan Penerimaan Negara, ISNU Gelar Diskusi Publik

Minggu, 08 Juni 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Jenis-Jenis Lampiran SPT Tahunan Badan berdasarkan PER-11/PJ/2025

Minggu, 08 Juni 2025 | 10:30 WIB
KEBIJAKAN EKONOMI

Masuk Finalisasi, Pemerintah RI Segera Rampungkan Kerja Sama IEU-CEPA

Minggu, 08 Juni 2025 | 10:00 WIB
ARAB SAUDI

Jamaah Haji Kini Bisa Dapat VAT Refund dari Kerajaan Arab Saudi

Minggu, 08 Juni 2025 | 09:30 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah Butuh Minimal Rp400 Triliun untuk Bangun Transmisi Listrik