Pengawasan Digencarkan, Coretax dan Dua Platform Lain Diintegrasikan

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah bakal mengintegrasikan 3 platform untuk meningkatkan pengawasan terhadap pemungutan penerimaan negara. Ketiga platform tersebut adalah coretax system, customs-excise information system and automation (CEISA), dan sistem informasi PNBP online (SIMPONI).
Topik tersebut cukup mendapat sorotan oleh netizen selama sepekan terakhir.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan integrasi ketiga sistem pendapatan negara tersebut diperlukan untuk menciptakan pengawasan yang konsisten, reliable, dan akurat. Integrasi coretax, CEISA, dan SIMPONI juga akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada pengguna.
"Juga untuk meningkatkan pelayanan dan meningkatkan transparansi serta akurasi data untuk pemungutan penerimaan negara baik pajak, kepabeanan, maupun PNBP," ujar Sri Mulyani dalam rapat paripurna di DPR.
Sebagai informasi, coretax adalah sistem administrasi perpajakan yang dikembangkan oleh Ditjen Pajak (DJP) guna menggantikan sistem sebelumnya, SIDJP. Coretax dikembangkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 40/2018.
Meski sudah diluncurkan sejak awal tahun 2025, implementasi coretax masih diwarnai oleh beragam kendala hingga hari ini. Berkaca pada kondisi tersebut, DJP berkomitmen untuk memperbaiki bug pada coretax selambat-lambatnya pada Juli 2025.
Lebih lanjut, CEISA adalah sistem informasi yang dikembangkan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) untuk mengintegrasikan proses administrasi, pengawasan, dan berbagai layanan lainnya kepada pengguna jasa, baik perorangan maupun perusahaan.
CEISA diimplementasikan sejak 2012 dan sudah diperbarui beberapa kali. Saat ini, CEISA yang digunakan adalah CEISA 4.0, yakni aplikasi berbasis web yang mengintegrasikan beberapa modul. Dengan integrasi ini, seluruh modul telah diintegrasikan dalam 1 portal yang bisa diakses tanpa memerlukan installer.
Adapun SIMPONI adalah sistem billing yang dikelola oleh Ditjen Anggaran (DJA) untuk memfasilitasi pembayaran/penyetoran PNBP dan penerimaan nonanggaran.
Selain informasi soal integrasi platform pendapatan negara, ada pula beberapa bahasan tentang perpajakan yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, permintaan pemerintah agar MK tak kabulkan gugatan tentang UU PPN, nasib perpanjangan PPh final UMKM, hingga panduan CbCR via coretax system.
Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
Gugatan Atas UU PPN
Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tidak mengabulkan permohonan pengujian materiil atas UU PPN dalam Perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan dikabulkannya permohonan pengujian materiil atas Pasal 7 ayat (1) UU PPN berpotensi menimbulkan kekosongan hukum.
"Apabila permohonan uji materi Pasal 7 ayat (1) UU PPN a quo dikabulkan, maka tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN tersebut menjadi tidak berlaku, sehingga akan terjadi kekosongan hukum, yaitu tidak adanya dasar hukum mengenai besaran tarif PPN," kata Bimo.
Poin Pajak dalam PP 28/2025
Pemerintah meyakini Peraturan Pemerintah (PP) 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dapat memperkuat transformasi ekonomi nasional ke depannya.
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyebut penerbitan PP 28/2025 ini merupakan cerminan dari komitmen pemerintah dalam membangun ekosistem perizinan berusaha.
"Melalui penguatan pengaturan dan sistem yang terintegrasi, PP ini diharapkan menyederhanakan proses, mempercepat layanan, serta memberikan kejelasan dan kepastian bagi seluruh pelaku usaha," katanya.
Jaminan Perpanjangan PPh Final UMKM
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pemerintah akan tetap memberikan perpanjangan periode PPh final dengan tarif 0,5% bagi UMKM orang pribadi meskipun PP 55/2022 belum direvisi.
Sri Mulyani mengatakan perpanjangan periode PPh final bagi UMKM orang pribadi telah menjadi bagian dari paket stimulus ekonomi yang diluncurkan pada Desember 2024. Menurutnya, pemerintah bahkan telah menghitung estimasi pagu untuk kebijakan tersebut.
"Perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5% dari omzet untuk UMKM, ini Rp2 triliun perkiraan estimasi dari policy ini," katanya dalam rapat bersama Banggar DPR.
Kelebihan Bayar Angsuran PPh Pasal 25
Wajib pajak kini tidak bisa memindahbukukan kelebihan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. Ketentuan ini telah diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-11/PJ/2025.
Merujuk beleid tersebut, wajib pajak yang memiliki kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 bisa memilih di antara 2 opsi tindakan. Kedua opsi tersebut, yaitu: (i) dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang (restitusi); atau (ii) dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
“...atas kelebihan pembayaran Angsuran PPh Pasal 25 dapat: dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh,” bunyi Pasal 116 ayat (4) PER-11/PJ/2025.
Panduan CbCR via Coretax
DJP menerbitkan panduan pemenuhan kewajiban laporan per negara atau Country-by-Country Report (CbCR) via coretax administration system.
Panduan tersebut menjelaskan tata cara menyampaikan notifikasi dan CbCR via coretax. Merujuk pada panduan tersebut, notifikasi dan CbCR dapat disampaikan melalui menu Exchange of Information yang ada pada coretax.
“Login menggunakan NPWP wajib pajak badan. Klik menu Exchange of Information. Pilih submenu CbCR untuk masuk ke Dashboard CbCR,” bunyi penjelasan pada panduan tersebut. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.