Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Rabu, 24 Juli 2024 | 09:15 WIB
KURS PAJAK 24 JULI 2024 - 30 JULI 2024
Rabu, 17 Juli 2024 | 10:59 WIB
KURS PAJAK 17 JULI 2024 - 23 JULI 2024
Kamis, 11 Juli 2024 | 17:38 WIB
STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK
Rabu, 10 Juli 2024 | 09:25 WIB
KURS PAJAK 10 JULI 2024 - 16 JULI 2024
Fokus
Reportase

Omzet Wajib Pajak di Bawah Rp500 Juta, PPh Otomatis Tidak Dipotong?

A+
A-
15
A+
A-
15
Omzet Wajib Pajak di Bawah Rp500 Juta, PPh Otomatis Tidak Dipotong?

Pertanyaan:

PERKENALKAN, saya Marwa. Saya adalah seorang wirausaha pada bidang makanan dan minuman yang baru berjalan dalam 3 bulan terakhir. Saya telah terdaftar sebagai wajib pajak orang pribadi (WPOP) yang melakukan usaha. Mayoritas customer usaha saya merupakan perusahaan. Sejauh ini omzet usaha saya masih di bawah Rp500 juta.

Saya mendengar bahwa bagi WPOP usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) seperti saya tidak dikenai PPh final 0,5% selama omzet usaha saya masih di bawah Rp500 juta. Pertanyaan saya, apakah saat saya bertransaksi dengan customer saya maka saya secara otomatis tidak dipotong PPh? Mohon jawabannya. Terima kasih.

Marwa, Jakarta.

Jawaban:

TERIMA kasih atas pertanyaannya Ibu Marwa. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa PPh final 0,5% merupakan PPh yang kerap diidentikan dengan pengenaan PPh untuk wajib pajak UMKM. Ketentuan mengenai tidak dikenainya PPh atas penghasilan WPOP UMKM yang nilai omzetnya masih di bawah Rp500 juta pertama kali disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2a) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.

“(2a) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.”

Ketentuan tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).

Sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) PP 55/2022, bagian peredaran bruto dari usaha yang tidak dikenai PPh final 0,5% merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak masa pajak pertama dalam suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.

Sesuai dengan Pasal 62 ayat (4) PP 55/2022, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran dan tata cara pemotongan atau pemungutan PPh final 0,5% diatur dalam peraturan menteri keuangan.

Adapun beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PMK 164/2023).

Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) PMK 164/2023, terdapat 2 cara pelunasan PPh final terutang. Pertama, disetor sendiri oleh wajib pajak. Kedua, dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut PPh. Cara kedua dapat dilakukan apabila wajib pajak melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh.

Meski demikian, perlu digarisbawahi kembali bahwa dalam hal peredaran bruto WPOP UMKM belum melebihi Rp500 juta setahun seperti usaha Ibu maka atas penghasilan tersebut tidak dikenai PPh final 0,5%.

Apabila usaha Ibu melakukan transaksi dengan pemotong atau pemungut pajak maka atas transaksi tersebut juga tidak dilakukan pemotongan PPh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) PMK 164/2023.

“(2) Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b tidak melakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atas transaksi:

  1. impor;
  2. pembelian barang; atau
  3. penjualan barang atau penyerahan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto atas penghasilan dari usaha tidak melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).”

Namun, transaksi tersebut tidak otomatis dikecualikan dari pemotongan atau pemungutan PPh. Sebagai WPOP UMKM, Ibu harus memberikan surat pernyataan kepada lawan transaksi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) PMK 164/2023.

“(4) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus menyampaikan surat pernyataan sebagai pengganti Surat Keterangan kepada Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa peredaran bruto atas penghasilan dari usaha Wajib Pajak pada saat dilakukan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan tidak melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Surat pernyataan yang dimaksud dibuat sesuai dengan format yang terlampir dalam PMK 164/2023. Surat pernyataan dibuat sendiri oleh WPOP dengan mencantumkan nama, NPWP/NIK, serta alamat. Bila wajib pajak menggunakan wakil/kuasa, surat pernyataan harus mencantumkan nama, NPWP/NIK, dan alamat wakil/kuasa tersebut.

Sesuai dengan format tersebut, wajib pajak orang pribadi harus menyatakan bersedia menerima akibat hukum apabila surat pernyataan yang dibuatnya ternyata tidak benar.

Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga membantu.

Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected].

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : konsultasi pajak, konsultasi, pajak, UMKM, UU PPh, PP 55/2022, PMK 164/2023, PPh final UMKM

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jum'at, 26 Juli 2024 | 12:00 WIB
KEBIJAKAN KEPABEANAN

Bea Cukai: Tak Ada Hubungan Antara Red Line dan Pajak yang Lebih Mahal

Jum'at, 26 Juli 2024 | 11:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Menko Airlangga Yakin Coretax Bakal Naikkan Tax Ratio ke 12 Persen

Jum'at, 26 Juli 2024 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Pengurangan Pajak atas Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan di IKN

Jum'at, 26 Juli 2024 | 10:30 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Susun Insentif Pajak Family Office, Pemerintah Patuhi Prinsip OECD

berita pilihan

Sabtu, 27 Juli 2024 | 10:00 WIB
PAJAK INTERNASIONAL

Soal Pajak Kekayaan Global 2 Persen, Sri Mulyani: G-20 Belum Sepakat

Sabtu, 27 Juli 2024 | 09:30 WIB
BERITA PAJAK SEPEKAN

Pembeli Tak Beri NIK, PKP Tak Bisa Asal Bikin Faktur Pajak Digunggung

Sabtu, 27 Juli 2024 | 08:30 WIB
KABUPATEN ACEH TENGGARA

ASN Hingga Kades Diminta Jadi Panutan Pajak, Tunggakan Segera Dibayar

Jum'at, 26 Juli 2024 | 21:11 WIB
HARI PAJAK 2024

Lagi, DDTCNews Terima Penghargaan dari Ditjen Pajak

Jum'at, 26 Juli 2024 | 21:00 WIB
DITJEN PAJAK

Peringati Hari Pajak, DJP Gelar Malam Apresiasi dan Penghargaan 2024

Jum'at, 26 Juli 2024 | 19:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Serahkan BKP ke Orang Pribadi, Faktur Pajak Tak Boleh Diisi Nama Toko

Jum'at, 26 Juli 2024 | 18:30 WIB
KAMUS PAJAK

Apa Itu Perseroan Terbuka dan Publik?

Jum'at, 26 Juli 2024 | 18:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Klaim Pemerintah Belum Bahas Asuransi Wajib Kendaraan Bermotor

Jum'at, 26 Juli 2024 | 17:30 WIB
KONSENSUS PAJAK GLOBAL

OECD: 40 Negara Sudah Siap Terapkan Pajak Minimum Global 15 Persen