Bayar Pajak Via Deposit Bukan Berarti Bebas Lapor SPT, WP Bisa Didenda

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) akan memberikan sanksi denda kepada wajib pajak yang melakukan deposit pajak, tetapi tidak melaporkan SPT. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Jumat (18/7/2025).
DJP menegaskan pelaksanaan pembayaran pajak melalui deposit tidak menggugurkan kewajiban penyampaian SPT. Bila wajib pajak telah membayar pajak melalui deposit, tetapi tak menyampaikan SPT maka wajib pajak berpotensi dikenai sanksi denda hingga teguran.
"Wajib pajak dapat dikenai denda atas keterlambatan pelaporan, penerbitan surat teguran, serta tindakan administratif lainnya sebagai bagian dari upaya pengawasan kepatuhan perpajakan," sebut DJP dalam pengumumannya.
Tak hanya itu, pembayaran pajak melalui deposit juga perlu dipindahbukukan ke kode akun pajak (KAP) dan kode jenis setoran (KJS) yang benar.
Sebagai informasi, deposit pajak adalah salah satu fitur baru yang bisa dimanfaatkan wajib pajak seiring dengan diterapkannya coretax system. Merujuk pada PMK 81/2024, deposit pajak adalah pembayaran pajak yang belum merujuk pada kewajiban pajak tertentu.
Pengisian deposit pajak oleh wajib pajak dapat dilakukan dengan 3 cara, yakni dengan pembayaran melalui sistem penerimaan negara secara elektronik, pemindahbukuan, atau dengan permohonan sisa kelebihan pembayaran pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak.
Dengan menggunakan deposit pajak, wajib pajak bisa terhindar dari sanksi bunga yang timbul akibat keterlambatan pembayaran mengingat tanggal deposit dianggap sebagai tanggal pembayaran pajak.
Secara terperinci, tanggal pengisian deposit pajak melalui sistem penerimaan negara secara elektronik diakui sebagai tanggal pembayaran pajak sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada bukti penerimaan negara (BPN).
Tanggal pengisian deposit melalui permohonan pemindahbukuan diakui sebagai tanggal pembayaran pajak sesuai dengan tanggal bayar pada bukti pemindahbukuan.
Tanggal pengisian deposit melalui permohonan atas sisa kelebihan pembayaran pajak diakui sebagai tanggal pembayaran pajak sesuai dengan tanggal penerbitan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (SKPKPP).
Selain topik tersebut, ada pula ulasan mengenai rencana DJP menunjuk seluruh penyedia marketplace untuk memungut PPh, rencana DJSPSK untuk menetapkan standar kompetensi konsultan pajak, dan lain sebagainya.
Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
Ada Fitur Deposit Pajak, Kinerja Penerimaan Pajak Lainnya Melesat
Makin banyaknya wajib pajak yang menggunakan deposit dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya membuat kinerja dari sektor penerimaan pajak lainnya mencapai Rp61,3 triliun pada akhir semester I/2025, tumbuh 1.550,6% dari semester I/2024.
"Penerimaan pajak lainnya tumbuh 1.550,6% dibandingkan realisasi periode yang sama tahun 2024. Hal tersebut dipengaruhi inisiatif wajib pajak dalam melakukan deposit pajak," tulis pemerintah dalam Laporan Semester I APBN 2025.
Dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa pertumbuhan penerimaan pajak lainnya yang melesat memang disebabkan oleh banyaknya wajib pajak yang memanfaatkan fitur deposit pajak pada coretax system .(rig)
Bertahap! DJP Bakal Tunjuk Semua Penyedia Marketplace Pungut PPh
DJP berencana untuk menunjuk seluruh penyelenggara marketplace, baik skala besar, menengah, maupun kecil, sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang online dalam negeri secara bertahap.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan penunjukan penyelenggara marketplace yang menyeluruh ini didasarkan pada asas keadilan. Menurutnya, mekanisme ini dapat mencegah pedagang online kabur dari marketplace besar ke marketplace kecil karena takut dipungut pajak.
"Ada aspek keadilan, jangan sampai marketplace skala besar kita tunjuk, sedangkan yang menengah dan kecil enggak. Kemudian [merchant] lari semua dari marketplace kecil atau menengah. Nanti seluruh marketplace akan kita tunjuk sebagai pemungut PPh," ujarnya. (DDTCNews)
DJSPSK Akan Tetapkan Standar Kompetensi Konsultan Pajak Tahun Depan
Ditjen Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan bakal berfokus menetapkan standar kompetensi dan standar pengendalian mutu konsultan pajak.
Dirjen Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Masyita Crystallin mengatakan kebijakan ini akan dilaksanakan pada tahun depan guna mengembangkan dan membina profesi konsultan pajak.
"Fokus pada 2026 adalah menetapkan standar kompetensi dan standar pengendalian mutu sehingga konsultan pajak lebih baik lagi dalam membantu masyarakat untuk melakukan tugas-tugas di bidang perpajakan," ujarnya. (DDTCNews)
Berburu Pajak dengan Teknologi Kecerdasan Buatan
DJP akan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan data dari media sosial untuk menggali potensi perpajakan lebih dalam, terutama guna mendeteksi ketidaksesuaian antara laporan wajib pajak dan gaya hidup mereka yang terpantau di dunia maya.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan bahwa pendekatan ini bukan hal baru, namun kini diperkuat dengan sistem analitik dan basis data yang lebih canggih. Informasi dari media sosial menjadi salah satu sumber pendukung untuk memetakan potensi penerimaan yang belum tergali.
“Sosmed kan informasi juga. Informasi untuk melihat diskrepansi (ketidakcocokan), misalnya siapa tahu ada aset yang belum dilaporkan, yang beda sama SPT, beda sama LHKPN, tapi itu sudah sejak lama kami lakukan,” katanya. (Kontan)
Biaya Pemerintah untuk Aksesi OECD Capai Rp245 Miliar hingga 2026
Kementerian Keuangan menyebut total tagihan biaya aksesi Indonesia menjadi anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) akan mencapai €13,62 juta atau sekitar Rp245,26 miliar.
Dirjen Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Masyita Crystallin mengatakan proses aksesi OECD ditargetkan akan selesai pada 2026. Oleh karena itu, tagihan biaya aksesi Indonesia juga akan dibayarkan dalam 3 termin pada 2024 hingga 2026.
"Tadinya masuk bujet waktu di BKF, setelah dibagi akan dibiayakan melalui Ditjen SPSK," tuturnya. (DDTCNews)
DJBC Susun Kebijakan Cukai Pangan Olahan Mengandung Natrium pada 2026
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) berencana menggodok kebijakan pengenaan cukai terhadap produk pangan olahan yang mengandung natrium (P2OB) pada tahun fiskal 2026.
Rencana itu dimuat dalam bahan paparan Dirjen Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama saat Raker dengan Komisi XI DPR. Perumusan kebijakan cukai pangan olahan ini menjadi salah satu upaya DJBC untuk mengelola penerimaan negara pada 2026.
"Program pengelolaan penerimaan negara, dengan perumusan kebijakan administratif ... kebijakan cukai produk pangan olahan bernatrium," tulis bahan paparan DJBC. (DDTCNews)
Tak Sampaikan Informasi Ini, Merchant Bisa Kena Pungut PPh 0,5 Persen
Penyedia marketplace bakal melakukan pemungutan PPh Pasal 22 jika pedagang tidak menyampaikan informasi-informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1), (2), (3), dan (6) PMK 37/2025.
Dengan demikian, pedagang berpotensi dikenai pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% oleh marketplace meski pedagang dimaksud sesungguhnya berhak untuk dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22.
"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku dalam hal pedagang dalam negeri tidak menyampaikan informasi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (6)," bunyi Pasal 8 ayat (8) PMK 37/2025. (DDTCNews)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.