‘Daripada Bikin Gebrakan, Lebih Baik Kebijakan yang Ajeg dan Kontinu’

Alm. Marie Muhammad, mantan Dirjen Pajak (1988-1993) dan Menteri Keuangan (1993-1998).
"INSYAALLAH tercapai". Para pewarta yang bertugas di desk ekonomi, dekade 1980-an, hapal betul jawaban bertemplat yang dilontarkan oleh Salamun Alfian Tjakradiwira (AT), dirjen pajak periode 1981-1988. Kalimat itu keluar setiap kali Salamun ditanya wartawan soal penerimaan pajak. Saban tahun, jawabannya sama.
Tapi tampaknya jawaban normatif yang melibatkan Tuhan memang cukup manjur mengerek pendapatan negara. Pada akhir Maret 1988, pengujung tutup tahun anggaran, Salamun dengan senyum lebar mengumumkan bahwa penerimaan pajak berhasil mencapai Rp7,7 triliun. Angka itu 4,7% di atas target pajak yang tertulis dalam APBN 1987/1988.
Kinerja pajak yang positif, kala itu, memang sejalan dengan perekonomian nasional yang stabil. World Bank, dalam laporannya pada 1988 berjudul Adjusment, Growth, and Sustainable menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI cukup tinggi, di level 5,1%. Meroket dari angka tahun sebelumnya, 3,6%.
Konsumsi rumah tangga juga terpantau tak goyah. Hal ini terbukti dari panjangnya antrean penonton di bioskop kota-kota besar. Orang-orang berbondong-bondong menonton film karya perdana Eros Djarot, Tjoet Nja' Dhien, yang dibintangi aktris Christine Hakim.
Namun, tercapainya target pajak tidak semata-mata karena ekonomi yang sedang baik. Selama 7 tahun menjabat, Salamun dikenal gigih menggalakkan kampanye pajak. Petugas-petugas pajak di lapangan diminta tidak sekadar menagih pajak saja, tetapi juga memberikan pemahaman soal pajak kepada masyarakat.
Upaya itu, diyakininya cukup ampuh untuk mendongkrak kepatuhan wajib pajak. Kepercayaan wajib pajak dipupuk untuk mewujudkan kepatuhan sukarela.
Dalam buku Pajak, Citra, dan Upaya Pembaruannya, Salamun menegaskan bahwa pemungutan pajak mutlak harus lebih digalakkan di bawah kepemimpinannya. Alasannya, penerimaan negara dari hasil penambangan minyak bumi tidak lagi bisa diandalkan.
Sejak awal menjabat sebagai dirjen pajak, Salamun menghadapi 3 tantangan utama dalam memungut pajak dari rakyat. Pertama, sistem perpajakan yang perlu dirombak. Kedua, trauma pajak yang masih melekati masyarakat. Ketiga, meningkatkan kualitas dan integritas petugas pajaknya sendiri.
Bicara secara khusus soal pembaruan sistem perpajakan, Salamun juga mengurai perlunya saling keterikatan antara 3 unsur pokok dalam pemungutan pajak. Apa saja?
"Memungut pajak itu harus memperhatikan kebijaksanaan perpajakan, hukum perpajakan, dan administrasi perpajakan," kata Salamun.
Tantangan dalam memungut pajak yang dihadapi oleh Salamun kemudian diestafetkan kepada Marie Muhammad. Di usianya yang ke-49, Marie ditunjuk sebagai dirjen pajak menggantikan Salamun A.T. pada Agustus 1988.
Menariknya, ada kesamaan antara Salamun dan Marie: sama-sama gemar membawa nama Tuhan ketika diwawancara wartawan!
Masih segar setelah dilantik sebagai dirjen pajak, Marie ditanya soal rencananya untuk mengejar target pajak senilai Rp9,1 triliun untuk tahun anggaran 1988/1989. Jawabannya diplomatis tetapi logis, "Tercapai atau tidak, saya pasrahkan kepada Allah".
Dalam menjalankan perannya sebagai dirjen pajak, Marie juga memilih jalan moderat. Dia menyisir tantangan-tantangan yang belum terselesaikan semasa dirjen pajak sebelumnya, tanpa membuat program-program baru. Intensifikasi dan ekstensifikasi dilanjutkan.
"Saya sendiri tidak suka gebrakan-gebrakan. Lebih baik membuat program ajeg, berjangka panjang, dan kontinu," kata Marie dalam wawancara khususnya dengan Majalah Tempo, Oktober 1988.
Sama seperti Salamun, Marie menyadari bahwa salah satu tantangan dalam menggalakkan pemungutan pajak di Indonesia adalah kualitas layanan dan integritas petugas pajak. Karenanya, hanya dalam beberapa bulan sejak dilantik, Marie melakukan reorganisasi di dalam tubuh Ditjen Pajak (DJP).
Direktorat dipangkas menjadi 6 saja. Komputerasi administrasi mulai dikenalkan. Tujuannya, memperbaiki layanan kepada wajib pajak dan meningkatkan akuntabilitas otoritas pajak.
"Dengan komputerisasi, wajib pajak tak bisa lagi kucing-kucingan. Orang kaya pasti membayar PPh lebih besar, begitu juga dengan perusahaan," kata Marie.
Sepemikiran dengan Salamun, Marie juga berpandangan bahwa pembenahan terpenting dalam pemungutan pajak adalah memperbaiki integritas aparat pajak sendiri. Sementara terhadap wajib pajak, pemerintah tidak punya opsi lain selain persuasif.
Deret tantangan dalam pemungutan pajak yang diuraikan oleh Salamun A.T. serta Marie Muhammad di atas, meski terjeda lebih dari 3 dekade, agaknya masih relevan dengan kondisi saat ini.
Hal-hal yang diupayakan oleh dua sosok dirjen pajak di atas bisa ditarik benang merahnya: sama-sama berorientasi pada perbaikan internal di otoritas pajak. Tujuannya, membangun kepercayaan wajib pajak. Ketika wajib pajak punya rasa percaya terhadap otoritas, kepatuhan dalam membayar pajak ikut muncul.
Darussalam (2018) turut mengingatkan kembali konsep kepatuhan kooperatif yang semestinya menjadi paradigma pemerintah dalam menggenjot penerimaan pajak.
Pemerintah membutuhkan strategi dan pendekatan baru dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP). Kepatuhan kooperatif atau cooperative compliance menjadi bagian dari pendekatan untuk mengerek penerimaan pajak secara berkesinambungan.
Reformasi pajak memang terus bergulir. Namun, ganjalan-ganjalannya tidak jauh beda. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi pejabat dirjen pajak baru yang belum lama ini dilantik. Barangkali, pemikiran Marie Muhammad bisa dijadikan pijakan. Tidak perlu gebrakan, yang penting konsistensi dalam melanjutkan perbaikan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.