Hakim Pajak: Keahlian Generalis atau Spesialis?

BAYANGKAN apabila seseorang memerlukan operasi jantung yang rumit. Apakah orang tersebut akan memercayakan nyawanya kepada dokter umum yang brilian, atau akan mencari seorang spesialis bedah jantung yang telah mendedikasikan kariernya untuk memahami setiap detail organ vital tersebut? Jawabannya sudah jelas.
Logika yang sama berlaku di dunia peradilan, terutama di sebuah 'ruang operasi' yang sangat khusus bernama Pengadilan Pajak.
Dalam dunia hukum, Pengadilan Pajak adalah kamar bedah spesialis. Di sinilah sengketa-sengketa paling rumit antara negara dan warga negaranya terkait pungutan yang menjadi denyut nadi pembiayaan bangsa diadili.
Namun, ada satu pertanyaan sangat penting yang sering luput dari perhatian publik: siapa yang seharusnya memegang pisau bedah keadilan di pengadilan ini? Jawabannya, tentu Hakim Pengadilan Pajak yang harus memiliki keahlian spesialis.
Meneropong Kompleksitas Sengketa Pajak
Untuk memahami mengapa sifat kekhususan ini mutlak, kita harus melihat hakikat sengketa yang ditangani. Sengketa di Pengadilan Pajak bukanlah sekadar perdebatan tafsir pasal-pasal hukum. Sengketa ini masuk ke dalam substansi ekonomi, akuntansi forensik, dan praktik bisnis internasional yang rumit.
Mari kita ambil contoh sengketa transfer pricing. Sengketa ini adalah arena di mana perusahaan multinasional, dalam transaksi dengan afiliasinya di negara lain, menetapkan harga transfer untuk barang atau jasa. Praktik ini bisa disalahgunakan untuk menggeser laba ke negara bertarif pajak rendah, menggerus potensi penerimaan negara.
Untuk mengadilinya, hakim tidak cukup hanya membaca undang-undang. Mereka harus mampu melakukan analisis kesebandingan, membedah laporan keuangan, memahami model bisnis, dan menguasai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau arm's length principle, sebuah standar ekonomi global.
Pemeriksaan atas sengketa transfer pricing ini memiliki dimensi pekerjaan seorang auditor dan ekonom, bukan hanya seorang yuris.
Begitu pula dengan sengketa kepabeanan. Sengketa ini seringkali berkutat pada penentuan nilai pabean yang menjadi dasar bea masuk. Hakim harus menguasai hierarki 6 metode penilaian yang diatur dalam perjanjian perdagangan dunia (WTO), menimbang bukti impor, dan bahkan menerapkan asas itikad baik (good faith) dari importir.
Sengketa kepabeanan ini adalah ranah hukum perdagangan internasional yang sangat teknis.
Pengakuan Undang-Undang atas Kebutuhan Spesialis
Kebutuhan akan keahlian non-hukum ini sebenarnya telah diakui secara sadar oleh pembuat undang-undang. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 (UU 14/2022) tentang Pengadilan Pajak membuat sebuah terobosan cukup radikal. Pasal 9 dalam UU tersebut menyatakan bahwa syarat menjadi hakim adalah 'mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain'.
Frasa 'atau sarjana lain' adalah sebuah pengakuan dari pembentuk undang-undang bahwa untuk mengadili sengketa pajak, keahlian teknis di bidang akuntansi ataupun ekonomi adalah sama pentingnya, jika bukan lebih penting, daripada kualifikasi hukum formal semata.
Ini adalah penyimpangan sadar dari tradisi peradilan lain di mana gelar sarjana hukum adalah harga mati. Undang-undang ini menegaskan bahwa hukum pajak adalah lex specialis, hukum yang bersifat khusus, sehingga memerlukan aparat penegak hukum yang juga khusus.
Namun, implementasi kebijakan ini melahirkan pedang bermata dua. Karena sumber talenta terbesar yang berpengalaman di bidang pajak adalah berasal dari otoritas fiskal itu sendiri, mayoritas hakim Pengadilan Pajak saat ini adalah mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Bea Cukai.
Meskipun kompetensi teknis mereka tidak diragukan, komposisi ini rentan menimbulkan persepsi publik mengenai konflik kepentingan dan independensi walaupun fakta empirisnya menunjukkan pihak wajib pajak lah yang lebih banyak memenangkan perkara di Pengadilan Pajak yang membantah asumsi masalah independensi ini.
Menjawab tantangan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus bahwa seluruh pembinaan Pengadilan Pajak harus berada di bawah satu atap Mahkamah Agung (MA) untuk memperkuat independensi dari eksekutif. Ini adalah langkah maju yang monumental. Namun, hal ini juga membawa risiko baru yaitu potensi berkurangnya kekhususan Hakim Pengadilan Pajak.
Di situlah letak titik kritis reformasi Pengadilan Pajak. Jalan ke depan bukanlah keharusan memilih antara independensi dan kompetensi, melainkan memadukan keduanya.
Komposisi hakim harus dibuat lebih proporsional dan representatif. Pintu rekrutmen harus dibuka lebar tidak hanya bagi mantan pegawai DJP atau DJBC, tetapi juga bagi para praktisi dari sektor swasta seperti konsultan pajak, akuntan publik, kuasa hukum, serta akademisi yang mumpuni.
Namun demikian, untuk menarik para profesional ini, masalah remunerasi Hakim Pengadilan Pajak harus diperbaiki. Rekrutmen Hakim Pengadilan Pajak selama ini pada dasarnya membuka banyak ruang kepada para praktisi profesional dari sektor swasta.
Faktanya tidak banyak talenta terbaik dari sektor swasta dan akademisi yang tertarik untuk menjadi hakim di Pengadilan Pajak. Untuk itu ke depan, diperlukan upaya untuk menarik profesional terbaik dari sektor swasta dan akademisi perpajakan dalam proses rekrutmen hakim Pengadilan Pajak.
Saat Pengadilan Pajak memasuki era baru di bawah MA, marwah Pengadilan Pajak harus dijaga. Hakim Pengadilan Pajak adalah profesi sui generis (unik). Mereka adalah yuris yang harus mampu berpikir seperti akuntan dan menganalisis seperti ekonom.
Mengorbankan kekhususan ini demi keseragaman administratif adalah sebuah kekeliruan. Sebab, tujuan akhir dari peradilan pajak bukanlah sekadar putusan yang independen, melainkan putusan yang independen, kompeten, dan berkeadilan secara substantif. Itulah satu-satunya cara agar Pengadilan Pajak dapat berfungsi sebagai benteng terakhir yang kokoh bagi para pencari keadilan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.