Menaksir Bentuk Ideal Peradilan Pajak, Melihat Praktik di Negara Lain

MENYUSUL putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang mengalihkan fungsi pembinaan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung (MA), muncul wacana pengintegrasian kelembagaan Pengadilan Pajak ke dalam struktur peradilan Tata Usaha Negara (TUN).
Wacana tersebut mencoba menjawab pertanyaan, apakah keberadaan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus masih diperlukan, atau justru perlu dilebur ke dalam struktur Pengadilan TUN? Kebijakan itu tentunya ikut berdampak terhadap penempatan hakim-hakim pajak dalam struktur organisasi Peradilan TUN biasa.
Dengan demikian, pertanyaan tersebut perlu dikaji secara konseptual dengan perbandingan di beberapa negara.
Keberadaan Pengadilan Pajak di Indonesia diatur dalam UU 14/2002. Berdasarkan Pasal 2 dalam beleid tersebut, Pengadilan Pajak secara eksplisit dinyatakan sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Sementara itu, Pasal 27 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa pengadilan khusus dapat dibentuk dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, atau TUN. Dengan demikian, meskipun secara lingkungan berada di bawah peradilan TUN, Pengadilan Pajak bukan menjadi bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara secara struktural, melainkan merupakan pengadilan khusus dengan yurisdiksi dan hukum acara tersendiri.
Tulisan ini akan membandingkan struktur kelembagaan Pengadilan Pajak di Indonesia dengan sistem peradilan pajak di beberapa negara lain, yakni Belanda, Amerika Serikat (AS), Afrika Selatan, dan Australia. Penulis ingin memberikan gambaran mengenai desain kelembagaan peradilan pajak di negara lain dan sejauh mana efektivitasnya dalam menyelesaikan sengketa pajak.
Kedudukan Pengadilan Pajak di Indonesia
Dalam sistem hukum Indonesia, Pengadilan Pajak dibentuk sebagai pengadilan khusus yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pengadilan Pajak secara eksplisit diakui sebagai bagian dari lingkungan peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kedudukan ini memberikan karakteristik kelembagaan yang khas dan membedakan Pengadilan Pajak dari badan peradilan lainnya.
Ada beberapa ciri khas utama yang dimiliki oleh Pengadilan Pajak Indonesia.
Pertama, sistemnya adalah sistem satu tingkat atau judex facti tunggal, artinya perkara perpajakan langsung diselesaikan oleh Pengadilan Pajak tanpa adanya tahapan kasasi.
Kedua, Pengadilan Pajak memiliki kewenangan penuh (de novo), di mana majelis hakim berwenang menilai kembali seluruh aspek sengketa, baik fakta maupun hukum, secara mandiri tanpa terikat oleh keputusan fiskus di tingkat keberatan.
Ketiga, putusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mengikat para pihak pada tingkat peradilan tersebut.
Meskipun bersifat final, putusan Pengadilan Pajak Indonesia masih memberikan kesempatan terbatas kepada para pihak untuk menempuh upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Konstruksi kelembagaan semacam itu dimaksudkan untuk menciptakan sistem penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien, namun tetap memberikan jaminan keadilan substantif bagi para pihak yang bersengketa dalam perkara perpajakan.
Kedudukan dan Karakter Pengadilan Pajak di Berbagai Negara
Agar dapat memahami kedudukan dan karakter pengadilan pajak di berbagai negara, perbandingan perlu dilakukan antara institusi sejenis Pengadilan Pajak di Belanda, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Australia.
Tolok ukur pembandingnya, di antaranya adalah posisi dalam struktur yudikatif (hubungannya dengan Mahkamah Agung atau organ yudisial tertinggi lain), cakupan yurisdiksi dan kewenangan, serta bentuk kelembagaan (bagian dari peradilan umum, peradilan tata usaha negara, atau berdiri sendiri).
Berikut ini adalah pembahasan untuk masing-masing negara.
Belanda
Belanda tidak memiliki peradilan pajak secara terpisah. Negara tersebut memproses perkara perpajakan melalui sistem peradilan administrasi umum. Struktur peradilan di Belanda terdiri atas rechtbank sebagai pengadilan tingkat pertama, gerechtshof sebagai pengadilan banding, dan Hoge Raad yang berfungsi sebagai Mahkamah Agung.
Belanda tidak memiliki entitas pengadilan pajak yang terpisah, karena sengketa perpajakan diproses sebagai bagian dari peradilan tata usaha negara dan tunduk pada hukum acara administrasi umum. Model ini mencerminkan pendekatan integratif yang mengandalkan spesialisasi fungsional dalam satu sistem peradilan yang menyatu.
Di Belanda, seluruh sengketa perpajakan dikategorikan sebagai bagian dari perkara tata usaha negara (bestuursrecht) dan tunduk pada ketentuan hukum acara administrasi umum. Mekanisme penyelesaian perkara pajak mengikuti prosedur yang sama dengan sengketa administratif lainnya dalam sistem peradilan.
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, sengketa pajak federal ditangani oleh United States Tax Court yang berfungsi sebagai lembaga peradilan khusus untuk perkara perpajakan. Posisi lembaga ini tidak sama dengan pengadilan federal pada umumnya, karena didirikan oleh Kongres berdasarkan kewenangan Pasal I Konstitusi Amerika Serikat, sehingga dikategorikan sebagai legislative court, bukan sebagai bagian dari Pasal III Konstitusi yang mengatur tentan peradilan federal konvensional.
Secara hukum, pengadilan ini ditetapkan sebagai entitas independen yang tidak termasuk dalam struktur kekuasaan eksekutif. Dengan kedudukan tersebut, United States Tax Court beroperasi secara terpisah dari sistem pengadilan federal seperti U.S. District Courts maupun Courts of Appeals.
United States Tax Court memiliki cakupan yang terbatas pada perkara-perkara perpajakan federal sebagaimana diatur dalam berbagai ketentuan dalam Internal Revenue Code.
Secara umum, yurisdiksi utama Tax Court adalah memeriksa sengketa perpajakan atas ketetapan yang diterbitkan Commissioner of Internal Revenue dari Internal Revenue Service, selaku otoritas perpajakan di Amerika Serikat, yakni memberikan wajib pajak forum untuk menggugat tagihan pajak sebelum membayar jumlah yang disengketakan. Tax Court dapat menetapkan kembali (redetermine) besarnya kewajiban pajak yang sebenarnya terutang menurut hukum.
Dari segi kelembagaan, Tax Court terdiri dari 19 orang hakim (judge) yang diangkat Presiden dengan masa jabatan 15 tahun, dipimpin oleh seorang Chief Judge. Kantor pusatnya berada di Washington D.C., namun sidang-sidangnya diselenggarakan di berbagai kota di Amerika Serikat dengan sistem trial sessions keliling.
Afrika Selatan
Pengadilan pajak di Afrika Selatan (Tax Court) merupakan bagian dari sistem peradilan yang menangani sengketa perpajakan, meskipun secara formal memiliki bentuk sebagai tribunal administratif. Pembentukan Tax Court dilakukan oleh presiden melalui proklamasi dalam Gazette untuk setiap wilayah yang biasanya sejalan dengan yurisdiksi High Court.
Secara kelembagaan, pengadilan pajak dipimpin oleh seorang hakim Pengadilan Tinggi (High Court) yang ditunjuk khusus menjadi Ketua Tax Court . Dengan demikian, meskipun secara hukum disebut sebagai tribunal administratif berdasarkan Tax Administration Act 2011, fungsi dan kedudukannya tetap berada dalam ranah yudisial, khususnya di bawah otoritas peradilan tinggi.
Yurisdiksi Tax Court diatur dalam Tax Administration Act 2011 (TAA) dan regulasi pelaksanaannya. Pengadilan ini memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa perpajakan yang diajukan dalam bentuk banding (tax appeal) terhadap keputusan otoritas pajak, yaitu South African Revenue Service (SARS), setelah wajib pajak melalui tahapan keberatan administratif.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 TAA, Tax Court memiliki kompetensi menangani berbagai bentuk sengketa, termasuk penetapan pajak yang dipermasalahkan (seperti koreksi penghasilan kena pajak, PPN, bea masuk), serta jenis keputusan perpajakan lain yang menurut hukum dapat disengketakan.
Secara kelembagaan, Tax Court Afrika Selatan dapat dilihat sebagai peradilan khusus semi-permanen. Pengadilan pajak tidak memiliki struktur organisasi terpisah seperti pengadilan konvensional (tidak ada gedung pengadilan pajak tetap dengan hakim tetap), melainkan dibentuk ad hoc untuk setiap sengketa yang masuk, dalam lingkup setiap provinsi.
Australia
Di Australia, sengketa pajak federal umumnya muncul dari keputusan keberatan (objection decision) yang dikeluarkan oleh Commissioner of Taxation setelah wajib pajak mengajukan keberatan terhadap hasil pemeriksaan (assessment) pajak. Wajib Pajak yang tidak puas atas keputusan keberatan memiliki dua opsi di bawah Part IVC Taxation Administration Act 1953 yaitu mengajukan review ke Administrative Appeals Tribunal (AAT) atau mengajukan banding yudisial ke Federal Court.
Kedua forum tersebut memiliki yurisdiksi untuk menilai ulang sengketa pajak, namun dengan perbedaan ruang lingkup yaitu AAT melakukan merits review (peninjauan ulang fakta dan hukum secara administratif) sedangkan Federal Court melakukan judicial review.
AAT berwenang mengubah keputusan pajak jika dianggap tidak sesuai hukum atau fakta (misalnya mengoreksi penghasilan kena pajak, pengkreditan pajak, besarnya penalti, dan sebagainya). Ruang lingkup sengketa pajak yang dapat dibawa ke AAT/Federal Court mencakup seluruh pajak federal utama: Pajak Penghasilan (Income Tax), GST (Goods and Services Tax), Fringe Benefits Tax, pajak superannuation, dan pajak federal lain.
Australia tidak memiliki badan pengadilan pajak khusus, sehingga bentuk kelembagaan penyelesaian sengketa pajak tersebar di antara AAT (tribunal) dan Federal Court (pengadilan umum). Administrative Appeals Tribunal (AAT) adalah sebuah tribunal multibidang yang dibentuk berdasarkan Administrative Appeals Tribunal Act 1975. AAT menangani banding administratif atas keputusan berbagai instansi pemerintah, termasuk keputusan pajak.
Rekomendasi
Berdasarkan perbandingan dengan Belanda, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan Australia, terlihat bahwa masing-masing negara mengembangkan sistem kelembagaan yang berbeda. Namun, semuanya menekankan pentingnya spesialisasi dan independensi. Sengketa pajak bersifat teknis dan kompleks, sehingga membutuhkan hakim dengan keahlian khusus.
Terdapat pemikiran bahwa setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023, yaitu mengalihkan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke Mahkamah Agung secara sepenuhnya, Pengadilan Pajak seharusnya dilebur ke dalam Peradilan TUN.
Kendati begitu, jika Pengadilan Pajak dilebur ke dalam Peradilan TUN, ada risiko kesenjangan kompetensi karena tidak semua hakim TUN memahami aspek perpajakan. Keberadaan hakim pajak sebagai profesi tersendiri mencerminkan pengakuan atas kebutuhan tersebut.
Pengadilan Pajak memiliki hukum acara khusus yang diatur dalam UU 14/2002. Hal ini berbeda dengan hukum acara peradilan Tata Usaha Negara (TUN) yang diatur dalam UU 5/1986. Pengadilan Pajak menganut sistem satu tingkat dengan tujuan penyelesaian sengketa secara cepat dan final. Sebaliknya, peradilan TUN menerapkan sistem berjenjang yang bertujuan memberikan ruang koreksi melalui pemeriksaan berlapis. Kedua sistem ini memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda sesuai kebutuhan penyelesaian perkara masing-masing.
Dengan mempertimbangkan karakteristik tersebut serta hasil perbandingan dengan peradilan pajak di negara lain seperti USTC di Amerika Serikat dan kamar khusus dalam sistem Belanda, menjaga Pengadilan Pajak sebagai lembaga tersendiri menjadi penting untuk mencegah subordinasi struktural maupun budaya terhadap sistem peradilan lain yang memiliki karakter perkara berbeda.
Upaya tersebut bertujuan untuk menjaga independensi lembaga, efisiensi proses penyelesaian sengketa, serta meningkatkan kualitas putusan Pengadilan Pajak.
Meskipun berada dalam lingkungan Peradilan TUN, status Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus tetap mencerminkan otonomi yang layak dipertahankan. Tidak ada urgensi dan dasar hukum yang menyebabkan perlunya peleburan Pengadilan Pajak ke sistem peradilan lain. Justru, pemisahan memperkuat independensi dan kelembagaan Pengadilan Pajak sejalan dengan prinsip rule of law, dan independensi peradilan.
Dengan melihat pengalaman negara lain dan memperhatikan sistem hukum Indonesia, mempertahankan Pengadilan Pajak sebagai peradilan khusus yang profesional, mandiri, dan terintegrasi dalam sistem yudikatif merupakan pilihan kebijakan yang paling sesuai secara konstitusional. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.