Peduli Bencana Bikin Pajak Lebih Ringan? Ternyata Begini Aturannya

Pertanyaan:
PERKENALKAN, saya Dita, pegawai pajak salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Kami prihatin dengan banjir yang melanda beberapa kawasan di Jakarta dan sekitarnya. Terkait itu, kami hendak mengirimkan sumbangan serta ikut membangun infrastruktur seperti tempat evakuasi sementara untuk diserahkan ke suatu lembaga sosial.
Pertanyaan saya, apakah biaya-biaya tersebut dapat menjadi pengurang pajak penghasilan (PPh) perusahaan kami? Jika iya, apa yang harus diperhatikan? Terima kasih.
Dita, Jakarta
Jawaban:
TERIMA kasih atas pertanyaannya, Ibu Dita. Kami turut prihatin dengan bencana yang terjadi dan sangat menghargai kepedulian perusahaan Ibu terhadap saudara-saudari kita yang terdampak bencana. Semoga masyarakat yang terdampak selalu diberikan keselamatan dan perlindungan.
Pemerintah mengapresiasi semangat gotong royong seperti yang hendak perusahaan Ibu lakukan. Apresiasi tersebut salah satunya diwujudkan dengan memperbolehkan biaya bantuan yang dikeluarkan sebagai pengurang penghasilan bruto berkaitan dengan penghitungan penghasilan kena pajak (PKP).
Namun, terdapat batasan dan persyaratan yang perlu diperhatikan agar biaya yang dikeluarkan dapat menjadi pengurang pajak. Sebelumnya, perlu diidentifikasi bahwa terdapat dua bentuk bantuan yang hendak diberikan oleh perusahaan Ibu, yakni:
- sumbangan bencana; dan
- pembangunan infrastruktur sosial.
Penting untuk memisahkan kedua bentuk tersebut. Sebab, keduanya memiliki ketentuan pengurang pajak yang berbeda. Untuk itu, kita dapat merujuk pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 (UU PPh).
Perbedaan
Terkait ketentuan sumbangan bencana sebagai pengurang pajak diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i UU PPh. Beleid tersebut mengatur bahwa hanya sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang dapat menjadi pengurang pajak.
Dalam hal ini, pemerintah tidak menetapkan banjir di Jakarta dan sekitarnya sebagai bencana nasional berdasarkan informasi yang didapatkan saat artikel ini terbit. Dengan begitu, sumbangan yang hendak perusahaan Ibu berikan tidak dapat menjadi pengurang pajak.
Kendati demikian, dalam hal biaya pembangunan infrastruktur sosial tidak dibatasi hanya dalam rangka penanggulangan bencana nasional saja. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf k UU PPh, biaya pembangunan yang dikeluarkan untuk infrastruktur sosial juga dapat menjadi biaya pengurang pajak. Adapun definisi biaya tersebut diatur dalam penjelasan atas Pasal 6 ayat (1) huruf k UU PPh sebagai berikut:
“Biaya pembangunan infrastruktur sosial adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.”
Dapat dipahami bahwa agar dapat menjadi pengurang pajak, biaya pembangunan infrastruktur sosial tersebut tidak mesti ditujukan untuk penanggulangan bencana nasional selama memenuhi unsur-unsur pada definisi di atas. Namun, terdapat ketentuan lebih lanjut yang perlu diperhatikan untuk dapat menjadikan biaya tersebut sebagai pengurang pajak.
Ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (PP 93/2010).
Lima Syarat
Berdasarkan Pasal 2 dan 4 PP 93/2010, terdapat lima persyaratan kumulatif yang perlu dipenuhi agar biaya pembangunan infrastruktur sosial dapat menjadi pengurang pajak.
Pertama, wajib pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh tahun pajak sebelumnya. Dengan kata lain, apabila perusahaan Ibu mengalami kerugian fiskal pada 2024, biaya pembangunan pada 2025 tidak dapat menjadi pengurang pajak.
Kedua, biaya pembangunan infrastruktur sosial tidak menyebabkan rugi pada tahun pajak sumbangan diberikan. Sebagai contoh, apabila penghasilan neto fiskal perusahaan Ibu pada 2025 adalah Rp40 juta dan biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dikeluarkan adalah Rp50 juta maka perusahaan Ibu mengalami kerugian Rp10 juta.
Oleh karena kerugian tersebut, perusahaan Ibu tidak diperkenankan mengurangkan biaya pembangunan dari penghasilan bruto pada 2025.
Ketiga, biaya pembangunan infrastruktur sosial didukung oleh bukti yang sah.
Keempat, lembaga yang menerima infrastruktur sosial memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh.
Kelima, biaya pembangunan infrastruktur sosial tidak diberikan kepada pihak yang memiliki hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam UU PPh. Apabila lima persyaratan tersebut terpenuhi maka biaya pembangunan infastruktur sosial dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan PKP perusahaan Ibu.
Besaran Nilai Biaya
Setelah memahami persyaratan, perlu dipahami juga seputar besaran nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial. Berdasarkan Pasal 3 PP 93/2010, biaya pembangunan yang dapat menjadi pengurang pajak untuk 1 tahun dibatasi, yaitu tidak melebihi 5% dari penghasilan neto fiskal tahun pajak sebelumnya.
Adapun nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana sesuai Pasal 6 ayat (2) PP 93/2010.
Sebagai ilustrasi, anggaplah penghasilan neto fiskal perusahaan Ibu pada 2024 adalah Rp1 miliar. Dengan begitu, jumlah maksimal biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat menjadi pengurang pajak pada 2025 adalah 5% dari Rp1 miliar atau sebesar Rp50 juta. Konsekuensinya, jika jumlah sesungguhnya yang dikeluarkan oleh perusahaan Ibu untuk membangun sarana dan/atau prasarana adalah Rp100 juta, maka nilai yang dapat menjadi biaya pengurang tetap sebesar Rp50 juta.
Ketentuan Teknis
Terakhir, perlu diperhatikan terkait ketentuan teknis yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (PMK 76/2011).
Sesuai Pasal 8 PMK 76/2011, pihak yang mengeluarkan biaya infrastruktur sosial wajib melampirkan bukti penerimaan biaya pada SPT Tahunan PPh sesuai format yang tercantum pada Lampiran II PMK 76/2011. Selain itu, dari sisi penerima juga wajib menyampaikan laporan penerimaan kepada Dirjen Pajak sebagaimana format Lampiran III sesuai amanat Pasal 9 ayat (3) PMK 76/2011.
Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected]. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.