Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Jum'at, 18 April 2025 | 15:30 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Kamis, 17 April 2025 | 17:00 WIB
TIPS PAJAK DAERAH
Kamis, 17 April 2025 | 14:00 WIB
KELAS PPh Pasal 21 (12)
Selasa, 15 April 2025 | 18:15 WIB
KETUA MA 1974-1982 OEMAR SENO ADJI:
Fokus
Reportase

Menjaga Independesi Wajib Pajak dalam Penyusunan Strategi Bisnis

A+
A-
3
A+
A-
3
Menjaga Independesi Wajib Pajak dalam Penyusunan Strategi Bisnis

DALAM dunia bisnis, penyusunan strategi perusahaan adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Namun demikian, tidak dimungkiri, proses ini menjadi sebuah tantangan tersendiri karena perusahaan perlu menyelaraskan antara strategi bisnis dan kepatuhan perpajakan.

Terlebih, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia, otoritas memiliki kewenangan untuk menilai suatu biaya atau keputusan bisnis adalah wajar dan layak diakui sebagai pengurang pajak atau tidak.

Contoh, kewenangan menghitung ulang besarnya penghasilan dan pengurangan berdasarkan pada Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Ketentuan ini berlaku bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya.

Pertanyaannya, apakah kewenangan tersebut justru berpotensi menjadi pintu masuk bagi otoritas pajak untuk mengintervensi pelaksanaan strategi bisnis perusahaan? Hal ini mungkin menjadi salah satu keresahan yang dialami wajib pajak.

Untuk itu, kita bisa melihat praktik di negara lain terlebih dahulu. Praktik di Amerika Serikat, Internal Revenue Service (IRS) memiliki kewenangan luas dalam melakukan audit pajak. Namun, IRS lebih berfokus pada penilaian kewajaran transaksi dari sudut pandang perpajakan.

IRS membatasi ‘campur tangan’ terhadap keputusan strategis perusahaan. Hal ini berlaku selama keputusan tersebut didukung oleh justifikasi bisnis yang sah dan wajar, sesuai dengan konsep substance-over-form (Mazzoni, 2019).

Selanjutnya, di Negeri Kanguru, Australian Taxation Office (ATO) memiliki pendekatan dalam bentuk co-operative compliance methods. Skema dari pendekatan ini dikenal dengan Annual Compliance Arrangement (OECD, 2013).

Pendekatan tersebut mencerminkan keseimbangan antara otoritas pajak dan independensi bisnis. Perusahaan memiliki ruang yang cukup untuk merancang strategi bisnis tanpa intervensi yang berlebihan dari otoritas pajak. Hal ini sepanjang transaksi memiliki substansi ekonomi yang nyata dan bukan hanya skema untuk menghindari pajak.

Batasan Kewenangan

AGAR strategi bisnis tetap dapat dijalankan tanpa menimbulkan perselisihan dengan kepentingan otoritas pajak, diperlukan batasan dan standar yang jelas terkait dengan kewenangan otoritas pajak. Setidaknya ada tiga aspek yang perlu dipahami dan dipertimbangkan.

Pertama, penilaian dari perspektif perpajakan. Secara fundamental, otoritas pajak seharusnya berfokus pada penilaian kewajaran dari perspektif perpajakan. Artinya, otoritas tidak ikut terlibat atau masuk dalam urusan teknis kontrak ataupun keputusan operasional perusahaan.

Otoritas pajak perlu memahami bahwa keputusan bisnis, seperti penggunaan jasa pihak ketiga atau perancangan struktur biaya tertentu, merupakan bagian dari strategi untuk efisiensi dan inovasi. Tujuannya adalah keberlanjutan perusahaan dan bukan semata-mata untuk tujuan perpajakan.

Kedua, standar yang lebih objektif dan transparan dalam penilaian kewajaran biaya yang dikeluarkan ataupun penghasilan yang diterima oleh wajib pajak. Standar ini sangat krusial terutama jika transaksi-transaksi yang dilakukan berhubungan dengan isu tranfer pricing.

Standar yang bersifat objektif dapat memberikan kemudahan dari sisi kepatuhan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Selain itu, aspek ini dapat menjadi pertimbangan ketika ada indikasi terkait dengan ketidakwajaran.

Misalnya, ketentuan debt-to-equity ratio (DER) secara spesifik mengatur perbandingan antara utang dan modal. Artinya, terlepas pinjaman afiliasi atau bukan, ketika threshold maksimal 4:1 tidak terpenuhi maka bunga atas utang yang lain akan dianggap tidak dapat dibiayakan.

Ketiga, laporan hasil audit yang komprehensif dari otoritas pajak kepada wajib pajak. Hal ini penting agar alasan koreksi dapat dipertanggungjawabkan. Alasan koreksi yang tidak lengkap cenderung menimbulkan kesan ‘tax farming’, koreksi dilakukan semata-mata hanya untuk menggejar target penerimaan negara (Subroto, 2020).

Itikad baik dari otoritas pajak dapat tercermin dari transparansi dan kredibilitas hasil audit yang dilakukan. Di sisi lain, laporan audit yang komprehensif juga memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menyampaikan klarifikasi atau justifikasi atas transaksi-transaksi tertentu.

Pada akhirnya, penyelarasan kewenangan otoritas pajak dengan independensi bisnis sangat penting dilakukan meskipun tantangannya cukup kompleks. Hal ini bisa dimulai dari batasan serta standar yang jelas agar perusahaan dapat menjalankan strategi bisnis tanpa takut adanya intervensi berlebihan dari otoritas pajak.

Dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan adil. Situasi ini pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik sambil tetap memastikan kepatuhan pajak optimal.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : analisis, analisis pajak, pajak, #HUT17DDTC, strategi bisnis, UU PPh, transfer pricing

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 17 April 2025 | 17:00 WIB
TIPS PAJAK DAERAH

Cara Bayar Pajak Bumi dan Bangunan Via Aplikasi Shopee

Kamis, 17 April 2025 | 16:30 WIB
KONSULTAN PAJAK

Baru Dapat Izin 2024, Konsultan Pajak Boleh Kosongkan Realisasi PPL

Kamis, 17 April 2025 | 16:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Ada Kebijakan Tarif AS, Pemerintah Perlu Antisipasi Dampaknya ke Pajak

Kamis, 17 April 2025 | 15:00 WIB
PELAPORAN SPT TAHUNAN

Tingkatkan Kepatuhan Pelaporan SPT Badan, DJP Lakukan Berbagai Upaya

berita pilihan

Sabtu, 19 April 2025 | 16:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingat Lagi Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan sebelum Pengukuhan PKP

Sabtu, 19 April 2025 | 14:00 WIB
PROVINSI SULAWESI TENGAH

Ada Pemutihan! Kendaraan Mati 10 Tahun, Cukup Bayar 1 Tahun Saja

Sabtu, 19 April 2025 | 11:35 WIB
KOLABORASI LeIP-DDTC

Gratis 25 Buku Terbaru DDTC untuk PERTAPSI! Beri Komentar Terbaik Anda

Sabtu, 19 April 2025 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Siapa yang Masuk Keluarga Sedarah dan Semenda dalam Aturan Pajak?

Sabtu, 19 April 2025 | 10:30 WIB
PMK 81/2024

Ketentuan PPh atas Pengalihan Partisipasi Interes, Apa yang Berubah?

Sabtu, 19 April 2025 | 10:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

WP Badan Masih Bisa Perpanjang Waktu Lapor SPT Tahunan, Tambah 2 Bulan

Sabtu, 19 April 2025 | 09:30 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

DPR Khawatir Efek Lemahnya Daya Beli Merembet ke Kinerja Cukai Rokok

Sabtu, 19 April 2025 | 09:05 WIB
LAPORAN FOKUS

Meluruskan Fungsi Pengadilan Pajak sebagai Lembaga Yudisial