Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Data & Alat
Rabu, 26 Februari 2025 | 08:15 WIB
KURS PAJAK 26 FEBRUARI 2025 - 04 MARET 2025
Rabu, 19 Februari 2025 | 09:45 WIB
KURS PAJAK 19 FEBRUARI 2025 - 25 FEBRUARI 2025
Rabu, 12 Februari 2025 | 09:27 WIB
KURS PAJAK 12 FEBRUARI 2025 - 18 FEBRUARI 2025
Rabu, 05 Februari 2025 | 11:07 WIB
PAJAK MINIMUM GLOBAL
Fokus
Reportase

Menjaga Independesi Wajib Pajak dalam Penyusunan Strategi Bisnis

A+
A-
3
A+
A-
3
Menjaga Independesi Wajib Pajak dalam Penyusunan Strategi Bisnis

DALAM dunia bisnis, penyusunan strategi perusahaan adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Namun demikian, tidak dimungkiri, proses ini menjadi sebuah tantangan tersendiri karena perusahaan perlu menyelaraskan antara strategi bisnis dan kepatuhan perpajakan.

Terlebih, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia, otoritas memiliki kewenangan untuk menilai suatu biaya atau keputusan bisnis adalah wajar dan layak diakui sebagai pengurang pajak atau tidak.

Contoh, kewenangan menghitung ulang besarnya penghasilan dan pengurangan berdasarkan pada Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Ketentuan ini berlaku bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya.

Pertanyaannya, apakah kewenangan tersebut justru berpotensi menjadi pintu masuk bagi otoritas pajak untuk mengintervensi pelaksanaan strategi bisnis perusahaan? Hal ini mungkin menjadi salah satu keresahan yang dialami wajib pajak.

Untuk itu, kita bisa melihat praktik di negara lain terlebih dahulu. Praktik di Amerika Serikat, Internal Revenue Service (IRS) memiliki kewenangan luas dalam melakukan audit pajak. Namun, IRS lebih berfokus pada penilaian kewajaran transaksi dari sudut pandang perpajakan.

IRS membatasi ‘campur tangan’ terhadap keputusan strategis perusahaan. Hal ini berlaku selama keputusan tersebut didukung oleh justifikasi bisnis yang sah dan wajar, sesuai dengan konsep substance-over-form (Mazzoni, 2019).

Selanjutnya, di Negeri Kanguru, Australian Taxation Office (ATO) memiliki pendekatan dalam bentuk co-operative compliance methods. Skema dari pendekatan ini dikenal dengan Annual Compliance Arrangement (OECD, 2013).

Pendekatan tersebut mencerminkan keseimbangan antara otoritas pajak dan independensi bisnis. Perusahaan memiliki ruang yang cukup untuk merancang strategi bisnis tanpa intervensi yang berlebihan dari otoritas pajak. Hal ini sepanjang transaksi memiliki substansi ekonomi yang nyata dan bukan hanya skema untuk menghindari pajak.

Batasan Kewenangan

AGAR strategi bisnis tetap dapat dijalankan tanpa menimbulkan perselisihan dengan kepentingan otoritas pajak, diperlukan batasan dan standar yang jelas terkait dengan kewenangan otoritas pajak. Setidaknya ada tiga aspek yang perlu dipahami dan dipertimbangkan.

Pertama, penilaian dari perspektif perpajakan. Secara fundamental, otoritas pajak seharusnya berfokus pada penilaian kewajaran dari perspektif perpajakan. Artinya, otoritas tidak ikut terlibat atau masuk dalam urusan teknis kontrak ataupun keputusan operasional perusahaan.

Otoritas pajak perlu memahami bahwa keputusan bisnis, seperti penggunaan jasa pihak ketiga atau perancangan struktur biaya tertentu, merupakan bagian dari strategi untuk efisiensi dan inovasi. Tujuannya adalah keberlanjutan perusahaan dan bukan semata-mata untuk tujuan perpajakan.

Kedua, standar yang lebih objektif dan transparan dalam penilaian kewajaran biaya yang dikeluarkan ataupun penghasilan yang diterima oleh wajib pajak. Standar ini sangat krusial terutama jika transaksi-transaksi yang dilakukan berhubungan dengan isu tranfer pricing.

Standar yang bersifat objektif dapat memberikan kemudahan dari sisi kepatuhan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Selain itu, aspek ini dapat menjadi pertimbangan ketika ada indikasi terkait dengan ketidakwajaran.

Misalnya, ketentuan debt-to-equity ratio (DER) secara spesifik mengatur perbandingan antara utang dan modal. Artinya, terlepas pinjaman afiliasi atau bukan, ketika threshold maksimal 4:1 tidak terpenuhi maka bunga atas utang yang lain akan dianggap tidak dapat dibiayakan.

Ketiga, laporan hasil audit yang komprehensif dari otoritas pajak kepada wajib pajak. Hal ini penting agar alasan koreksi dapat dipertanggungjawabkan. Alasan koreksi yang tidak lengkap cenderung menimbulkan kesan ‘tax farming’, koreksi dilakukan semata-mata hanya untuk menggejar target penerimaan negara (Subroto, 2020).

Itikad baik dari otoritas pajak dapat tercermin dari transparansi dan kredibilitas hasil audit yang dilakukan. Di sisi lain, laporan audit yang komprehensif juga memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menyampaikan klarifikasi atau justifikasi atas transaksi-transaksi tertentu.

Pada akhirnya, penyelarasan kewenangan otoritas pajak dengan independensi bisnis sangat penting dilakukan meskipun tantangannya cukup kompleks. Hal ini bisa dimulai dari batasan serta standar yang jelas agar perusahaan dapat menjalankan strategi bisnis tanpa takut adanya intervensi berlebihan dari otoritas pajak.

Dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan adil. Situasi ini pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik sambil tetap memastikan kepatuhan pajak optimal.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : analisis, analisis pajak, pajak, #HUT17DDTC, strategi bisnis, UU PPh, transfer pricing

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 27 Februari 2025 | 19:30 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Kemenaker Usul Pegawai Padat Karya yang Dapat Insentif Pajak Diperluas

Kamis, 27 Februari 2025 | 19:00 WIB
TIPS PAJAK

Cara Unduh Bukti Potong 1721-A1 bagi Pegawai di DJP Online

Kamis, 27 Februari 2025 | 18:45 WIB
AMERIKA SERIKAT

Trump Siapkan Bea Masuk 25 Persen atas Impor Barang dari Uni Eropa

Kamis, 27 Februari 2025 | 18:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Bappenas: Tarik Investasi, Insentif Pajak Bukan Fokus Utama

berita pilihan

Jum'at, 28 Februari 2025 | 19:30 WIB
THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Berlakukan Pajak Turis pada Akhir Tahun

Jum'at, 28 Februari 2025 | 19:00 WIB
PMK 15/2025

Pemeriksaan Terfokus, Pemeriksa Wajib Sampaikan Pos SPT yang Diperiksa

Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:03 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPN atas Penyerahan Jasa Asuransi Unit Link

Jum'at, 28 Februari 2025 | 17:00 WIB
KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pemeriksaan Fisik Barang Impor?

Jum'at, 28 Februari 2025 | 16:30 WIB
REKAP PERATURAN

Simak! Daftar Peraturan Perpajakan yang Terbit sepanjang Februari 2025

Jum'at, 28 Februari 2025 | 16:00 WIB
LAYANAN PAJAK

Hati-Hati Penipuan Berkedok Pemutakhiran Data NPWP via Coretax

Jum'at, 28 Februari 2025 | 15:30 WIB
RPJMN 2025-2029

Masuk RPJMN 2025-2029, Pertumbuhan Ekonomi 2029 Ditarget Tembus 8%

Jum'at, 28 Februari 2025 | 15:21 WIB
KONSULTASI PAJAK

Bangun Usaha di Kawasan Industri? Ini Menu Insentif Perpajakannya

Jum'at, 28 Februari 2025 | 15:00 WIB
SELEBRITAS

Ajak WP Segera Lapor SPT Tahunan, Jonatan Christie: Jangan Ditunda

Jum'at, 28 Februari 2025 | 14:30 WIB
KEP-67/PJ/2025

Tak Kena Sanksi! PPh Masa Januari 2025 Disetor Paling Lambat Hari Ini