Sengketa Perbedaan Penentuan Harga Jual Tanah

Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai perbedaan penentuan klasifikasi harga jual tanah dalam menentukan besaran dasar pengenaan pajak (DPP) atas pajak bumi dan bangunan (PBB).
Otoritas pajak menyatakan bahwa harga bumi per meter persegi (m2) untuk menghitung besaran PBB atas perkebunan kelapa sawit wajib pajak adalah senilai Rp5.000. Adanya kenaikan kelas bumi dari A40 (dengan tarif Rp3.500 per m2) menjadi kelas bumi A39 (dengan tarif Rp5.000 per m2) disebabkan karena adanya pergeseran umur tahun tanam.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan bahwa dalam menghitung besaran PBB perkebunan sawitnya, dapat digunakan kelas bumi A40, yaitu dengan tarif Rp3.500 per m2. Dalam hal ini, wajib pajak tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak yang mengakibatkan kenaikan kelas bumi hingga 43%. Sebab, perhitungan yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak berdasarkan bukti yang kuat. Dengan begitu, koreksi positif dari otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan.id.
Kronologi
Wajib pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi positif terhadap DPP atas PBB tidak dapat dibenarkan karena perhitungan yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkan Putusan Pengadilan Pajak PUT.47901/PP/M.X/18/2013 tanggal 23 Oktober 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 23 April 2014.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi DPP atas PBB untuk tahun pajak 2010 sejumlah Rp97.260.000.000 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
Pemohon PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK merupakan wajib pajak badan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang perkebunan kelapa sawit.
Sengketa bermula dari adanya penerbitan SPPT Nomor: 62.10.050.010.000.0001-1 untuk PBB tahun pajak 2010. Berdasarkan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) tersebut, diketahui bahwa penghitungan besaran PBB oleh Pemohon PK lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang telah dihitung oleh Termohon PK.
Perbedaan penghitungan besaran PBB tersebut terjadi karena adanya perbedaan interpretasi dalam menentukan besaran harga bumi per m2. Dari sisi Pemohon PK, harga bumi per m2 ialah senilai Rp5.000 sementara Termohon PK menyatakan sebesar Rp3.500. Pemohon PK menilai bahwa harga bumi per m2 sebesar Rp5.000 tersebut diperoleh dengan cara menghitung jumlah nilai tanah dibagi dengan luas tanah.
Merujuk pada penghitungan tersebut, diperoleh harga bumi per m2 sebesar Rp4.283. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 532/KMK.04/1998, angka Rp4.283 termasuk dalam kelas A39 dengan penggolongan atas nilai jual permukaan bumi per m2 sebesar 4.100 sampai dengan 5.900. Dengan range tersebut, dapat diketahui nilai jual objek pajak nya (NJOP) ialah Rp5.000.
Selain itu, persoalan lainnya ialah adanya perbedaan dalam menentukan klasifikasi objek bumi, meliputi areal produktif, areal emplasemen, dan juga areal tidak produktif. Pada 2017, Pemohon PK menilai areal produkti sebesar Rp18.544.228 m2, areal emplasemen sebesar 295.028 m2, dan areal tidak produktif atau tidak dapat dimanfaatkan ialah sebesar 1.552.273 m2. Adapun data tersebut berbeda dengan yang dinyatakan oleh Termohon PK.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa penghitungan DPP atas PBB yang dilakukan olehnya sudah benar. Dengan kata lain, koreksi nya yang terjadi juga seharusnya dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK menyatakan bahwa pada 2010, atas tanah yang dimilikinya dapat diklasifikasikan dalam kelas A40 dengan tarif Rp3.500.
Menurut Termohon PK, kenaikan kelas dari A40 pada 2009 dengan tarif Rp3.500 menjadi kelas A39 dengan tarif Rp5.000 pada 2010 tidak dapat dibenarkan. Kenaikan tersebut terlalu, yaitu mencapai 43% sehingga berdampak signifikan terhadap beban perusahaan.
Termohon PK menilai bahwa kenaikan nilai jual bumi tersebut tidak wajar karena tidak ada perubahan kondisi lahan perkebunan yang menyebabkan NJOP bumi menjadi lebih tinggi. Selain itu, fasilitas umum yang tersedia juga masih belum terjangkau listrik dan telepon.
Selain itu, Termohon PK juga menegaskan terkait klasifikasi dan objek bumi yang meliputi areal produktif, areal emplasemen, dan juga areal tidak produktif. Menurut Termohon, areal produktif terdiri dari 7.214.728 m2, areal emplasemennya nihil atau 0, dan areal tidak produktifnya ialah 12.586.745 m2.
Mengacu pada uraian di atas, koreksi DPP atas PBB untuk tahun pajak 2010 sebesar Rp97.260.000.000 tidak dapat dibenarkan karena tidak adanya bukti yang menunjukkan perubahan kondisi lahan perkebunan yang menyebabkan NJOP meningkat. Oleh karenanya, Termohon PK menyimpulkan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.
Pertimbangan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Sebab, Putusan Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp234.721.060 dapat dibenarkan. Terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan permohonan PK terkait dengan koreksi DPP atas PBB tahun pajak 2010 sejumlah Rp97.260.000.000 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara ini, Mahkamah Agung menilai bahwa koreksi DPP atas PBB tahun pajak 2010 sebesar Rp97.260.000.000 yang diajukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Adapun selisih pemanfaatan areal produktif dan areal emplasemen telah dihitung secara tepat.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan ditolaknya permohonan PK, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Ighfar Ulayya Sofyan/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.