‘Rakyat Mengharapkan Perlindungan dari Penindasan Orang-Orang Atas’

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
MASING-MASING kaum punya perjuangannya sendiri. Bagi orang Samin di Blora, pembangkangan terhadap penjajahan kolonial Belanda diwujudkan dengan menolak bayar pajak. Mereka juga emoh menyewakan tanahnya ke gubermen.
Kala itu, pemungutan pajak terhadap petani masih dianggap sebagai penindasan. Besaran-besaran pajak yang harus dibayarkan juga memunculkan rasa tidak adil di kalangan pribumi.
Situasi tersebut digambarkan dengan cukup mendetail oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah, salah satu episode Tetralogi Buru yang ditulisnya. Dalam ceritanya, Minke si tokoh utama mendukung gerakan Samin melalui surat kabar yang didirikannya, Medan.
Gubermen pun khawatir gerakan perlawanan orang Samin yang didukung Minke bisa merembet ke kelompok-kelompok petani lainnya. Imbasnya, penerimaan pajak dalam negeri bisa tergerus.
Dalam narasi yang dibangun Pramoedya, rakyat mulai berani melakukan perlawanan karena disebut sudah ada 'badan hukum' yang membantu menyelesaikan perkara-perkara hukum melawan gubermen. Termasuk, soal pajak.
"... tidak melalui organisasi lagi, [tetapi] melalui pembabaran soal kepada umum demi akal waras. Orang mengharapkan perlindungan pendapat umum terhadap penganiayaan dan penindasan orang-orang atasan, penguasan kolonial putih dan coklat, dengan tulisan yang tidak akan berbalik lidah," tulis Pramoedya dalam Jejak Langkah, halaman 247.
Sesuai dengan linimasa Tetralogi Buru yang dibangun oleh Pramoedya, lembaga peradilan pajak secara bertahap memang mulai terbentuk di Hindia Belanda, meski pada mulanya tidak secara gamblang bernama 'Pengadilan Pajak'.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD, dalam karyanya The Law of the State Aspect and Institutional Administrative Tax Court, menuliskan bahwa pada titik awalnya, peradilan pajak diselesaikan secara final oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. Rakyat dipandang kecil di depan hukum kolonial.
Namun, untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman dan makin banyaknya perusahaan yang berdiri di Hindia Belanda, pada 1915 dibangun sebuah lembaga yang khusus mengadili sengketa pajak, yakni Raad van Beroep voor Belastingzaken (Dewan Banding Pajak). Pendirian lembaga ini mengacu pada Staatsblad 1915 No. 707.
Yang perlu dipahami, Dewan Banding masih berada di bawah gubernur jenderal Hindia Belanda melalui menteri keuangan. Sederhananya, Pengadilan Pajak saat itu masih sepenuhnya berdiri di bawah Kementerian Keuangan.
Dalam kondisi tersebut, wajib pajak pada era kolonial berada di posisi yang cukup lemah untuk memperoleh keadilan. Sebabnya, lembaga yang menjalankan fungsi peradilan pajak sama dengan lembaga yang menyusun dan menetapkan pajak.
Sejalan dengan kesadaran gubermen terhadap pentingnya keadilan bagi wajib pajak, ketentuan mengenai lembaga peradilan pajak diubah. Pada 1927, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelis Dirk de Graeff menerbitkan Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1927 No. 29 Blastingen Verponding.
Poin pentingnya, Dewan Banding Pajak kini diketuai oleh Mahkamah Agung. Beleid itu mengatur bahwa sebelum memberikan keputusan, Dewan secara lisan bisa meminta pendapat dari Inspektur Utama dari Financient (Kementerian Keuangan dalam menghadapi sebuah sengketa.
Dengan adanya Raad van Beroep voor Belastingzaken, sengketa pajak yang semula final pada keputusan gubernur jenderal Hindia Belanda menjadi bisa diajukan banding ke lembaga peradilan pajak.
Transformasi lembaga peradilan pajak di Tanah Air terus bergulir hingga memasuki periode Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi. Mengacu pada UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak, lembaga Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tersendiri yang berpindah di Mahkamah Agung.
Hanya saja, UU 14/2022 masih menganut dualisme dalam hal pembinaan Pengadilan Pajak. Pembinaan kekuasaan kehakiman belum dijalankan dalam satu atap, baik pembinaan teknis-judicial maupun administratif, organisatoris, dan finansial.
Pembinaan teknis Pengadilan Pajak memang dijalankan oleh Mahkamah Agung. Namun, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
Kondisi tersebut dinilai belum sejalan dengan napas reformasi yang mengedepankan integrasi pembinaan kehakiman di bawah satu atap Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman.
Situasi yang terjadi belakangan seolah-olah memberi nuansa yang mirip dengan era kolonial sebelum 1927. Saat itu, pengelolaan dan pembinaan Dewan Banding Pajak sepenuhnya berada di bawah Kementerian Keuangan. Hal itu memunculkan risiko bias bagi hakim dalam memutus perkara karena adanya kepentingan kumpeni dalam mengumpulkan pendapatan.
Berkelindannya kepentingan lembaga peradilan pajak dalam memberikan keadilan bagi wajib pajak serta hasrat untuk meningkatkan penerimaan negara tidak semestinya terjadi. Itulah yang saat ini sudah direformasi.
Sesuai dengan Pasal 2 UU Pengadilan Pajak, badan peradilan pajak semestinya berperan menjalankan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Artinya, fokus Pengadilan Pajak tidak ditujukan untuk memastikan terlindunginya penerimaan negara lewat sektor pajak. Pengadilan Pajak hadir agar wajib pajak selaku pencari keadilan memperoleh kepastian hukum atas besarnya pajak terutang yang dikenakan kepadanya serta atas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya (Darussalam, 2023).
Pada hakikatnya, upaya memastikan terlindunginya penerimaan negara melalui sektor pajak merupakan peran dari lembaga eksekutif. Hal tersebut bukan menjadi peran dari Pengadilan Pajak sebagai lembaga yudikatif.
Pesan tersebut kemudian diejawantahkan ke dalam pemindahan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung (MA). Pergeseran pembinaan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan ke MA merupakan perintah dari Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 26/PUU-XXI/2023.
Kewenangan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak yang sebelumnya di bawah Kemenkeu akan dialihkan ke MA. Proses perpindahan ini harus diselesaikan paling lambat pada 31 Desember 2026.
Pada akhirnya, Pengadilan Pajak perlu mengembalikan fungsinya untuk menempatkan otoritas pajak dan wajib pajak dalam posisi yang setara, tidak berat sebelah. Tidak semestinya Pengadilan Pajak ikut sibuk mengumpulkan penerimaan negara dari beban sengketa yang diurusi.
Peran untuk memastikan terlindunginya penerimaan negara melalui sektor perpajakan merupakan peran dari lembaga eksekutif dan bukan merupakan peran dari lembaga yudikatif.
Tanggung jawab lembaga eksekutif untuk mengumpulkan penerimaan negara tersebut tidak boleh dialihkan atau dibagikan, baik secara politik maupun psikologis, menjadi tanggung jawab Pengadilan Pajak.
Sudah lebih dari 1 abad kelembagaan peradilan pajak berdiri di Tanah Air. Jika Minke, tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer, masih hidup, barangkali suaranya masih tetap nyaring.
Minke pasti berdiri paling depan untuk memastikan Pengadilan Pajak saat ini dan di masa depan menjalankan perannya sebagai benteng terakhir bagi wajib pajak dalam mencari keadilan.
"Kepada siapa harus mengadu? Dalam zamanku, kekuatan menang adalah kekuatan kolonial," tulis Pramoedya dalam Rumah Kaca. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.