‘Jangan Sampai yang Sudah Taat Pajak Malah Kecewa’

RENDAHNYA tax ratio tampaknya sudah menjadi ganjalan klasik bagi Indonesia. Dalam sebuah pidato di Hotel Sahid Jakarta, pada 1988 silam, Menteri Keuangan J.B. Sumarlin sempat bilang kalau kesadaran pajak masyarakat Indonesia masih rendah.
Hal itulah, salah satunya, yang membuat rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) RI saat itu masih tertahan di angka 6,5%. Angka ini jauh di bawah kinerja negara tetangga di Asean yang rasio pajaknya sudah bisa tembus 10%.
Perekonomian RI pada medio 1980-an sebenarnya ditorehkan dengan catatan positif. Pemerintah membuat sejumlah gebrakan, termasuk meluncurkan paket ekonomi Pakto 88 yang dinilai berhasil menggeliatkan sektor non-migas.
Daya beli masyarakat saat itu juga cukup baik. Penikmat musik Tanah Air masih ramai membeli album ketiga God Bless, Semut Hitam yang kelak menjadi album terlaris God Bless sepanjang masa.
Namun, angka konsumsi itu belum sejalan dengan tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Dari 176 juta penduduk Indonesia saat itu, jumlah wajib pajak yang tercatat baru 3,1 juta.
Bagi J.B. Sumarlin, aspek pelayanan yang diberikan oleh petugas pajak ikut memengaruhi tingkat kepatuhan dan kesadaran pajak. Karenanya, Sumarlin tak kurang sekali-dua kali memperingatkan jajarannya untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi wajib pajak.
"Jangan sampai wajib pajak yang sadar pajak, kecewa dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan aparatur pajak, sehingga akhirnya mereka enggan membayar pajak," ujar Sumarlin di hadapan peserta dan pemenang Sayembara Karya Tulis Perpajakan, seperti ditulis dalam Harian Neraca edisi 11 Mei 1988.
Pelayanan dan kesiapan petugas pajak dalam memberikan pelayanan bagi wajib pajak, menurut Sumarlin, menjadi poin penting dalam membangun kepatuhan.
Kendala yang dihadapi pemerintah 35 tahun lalu itu ternyata masih juga berlangsung saat ini. Rendahnya tax ratio masih membayangi Indonesia, yang juga salah satunya disebabkan kepatuhan yang belum optimal.
Darussalam (2021) mengelompokkan level kepatuhan wajib pajak ke dalam 4 area. Keempatnya adalah wajib pajak patuh, wajib pajak ingin patuh, wajib pajak mencoba tidak patuh, dan wajib pajak berniat tidak patuh.
Dalam memberikan pelayanan, otoritas mestinya menerapkan treatment yang berbeda-beda terhadap masing-masing kelompok kepatuhan tersebut. Menurut Darussalam, kepastian mengenai treatment tersebut sangat penting bagi wajib pajak.
Untuk kelompok wajib pajak patuh, sambungnya, otoritas bisa memberikan ‘karpet merah’ dari sisi pelayanan. Kemudian, untuk kelompok wajib pajak ingin patuh, otoritas bisa terus memberikan bimbingan dan arahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Sementara itu, untuk wajib pajak yang mencoba tidak patuh, otoritas bisa senantiasa mengingatkan. Dalam konteks ini, pemberian Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang ditempuh otoritas.
Selanjutnya, untuk kelompok wajib pajak yang sudah berniat untuk tidak patuh, otoritas bisa melakukan tindakan tegas. Tindakan itu bisa melalui pemeriksaan bukti permulaan (bukper) hingga penyidikan.
Dari sisi wajib pajak, pengelolaan risiko kepatuhan pajak menjadi aspek yang krusial. Perlakuan yang tepat akan membuat kepatuhan bisa meningkat. Pada saat yang bersamaan, risiko ketidakpatuhan juga bisa dihindari.
Pada akhirnya, kita memahami kalau pesan yang disampaikan Sumarlin 35 tahun lalu masih relevan pada saat ini. Prinsipnya, pelayanan petugas pajak perlu optimal tanpa mengesampingkan aspek keadilan. Jangan sampai, yang sudah patuh jadi malah enggan membayar pajak. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pejuang Cinta