Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Jum'at, 18 April 2025 | 15:30 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Kamis, 17 April 2025 | 17:00 WIB
TIPS PAJAK DAERAH
Kamis, 17 April 2025 | 14:00 WIB
KELAS PPh Pasal 21 (12)
Selasa, 15 April 2025 | 18:15 WIB
KETUA MA 1974-1982 OEMAR SENO ADJI:
Fokus
Reportase

Barang Kebutuhan Pokok Indonesia Bebas PPN, Bagaimana di Asean?

A+
A-
2
A+
A-
2
Barang Kebutuhan Pokok Indonesia Bebas PPN, Bagaimana di Asean?

INDONESIA masih memberikan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) tidak dikenakan atau dibebaskan atas barang kebutuhan pokok. Mengutip Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2023, kebijakan ini merupakan deviasi terhadap tax benchmark PPN, yaitu semua barang dan jasa merupakan objek PPN, kecuali barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah.

Sebelum terbit dan berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak masuk kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN (Pasal 4A ayat (2) huruf b). Artinya, barang kebutuhan pokok itu bukanlah barang kena pajak (BKP) atau dikecualikan dari pengenaan PPN.

Setelah UU HPP berlaku, barang kebutuhan pokok dihapus dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan dipindahkan ke Pasal 16B ayat (1a) huruf J UU PPN. Dengan demikian, sekarang, barang kebutuhan pokok menjadi BKP tapi dapat diberikan fasilitas tidak dipungut sebagian/seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya.

Baca Juga: Ingat Lagi Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan sebelum Pengukuhan PKP

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022, penyerahan dan impor barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dibebaskan dari pengenaan PPN. Barang kebutuhan pokok itu adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat.

Pembebasan dapat dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan dampaknya terhadap penerimaan negara. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PP 49/2022, jenis barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak antara lain beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam; daging; telur; susu; buah-buahan; dan sayur-sayuran.

Dalam kelompok PPN dan PPnBM, potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue forgone) karena fasilitas PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok menempati posisi kedua terbesar setelah batasan pengusaha kecil tidak kena pajak atau threshold pengusaha kena pajak (PKP). Simak pula ‘Batasan Pengusaha Pungut PPN (PKP) Indonesia Tertinggi ke-2 di Asean’.

Baca Juga: Kawasan Industri Batang Jadi KEK, Investasi Ditarget Rp74 Triliun

Adapun nilai potensi penerimaan pajak yang sengaja tidak dipungut oleh negara karena fasilitas PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2025, nilainya diproyeksi mencapai Rp50,5 triliun atau 19,0% dari total belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai Rp265,6 triliun. Berikut perinciannya.


Berdasarkan pada data yang diolah DDTC dari berbagai sumber, termasuk Country Tax Guide IBFD, pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok tersebut ternyata juga diterapkan di berbagai negara kawasan Asia Tenggara (Asean) yang mempunyai rezim PPN (value-added tax/VAT) ataupun goods and services tax (GST).

Baca Juga: Beli Emas Batangan, Konsumen Akhir Tak Kena PPh Pasal 22 dan PPN

Namun, mayoritas menyebut langsung ke produknya, misalnya produk pertanian dan peternakan. Artinya, tidak secara eksplisit menggunakan istilah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Misal, Filipina memberikan pembebasan PPN atas produk pertanian, seperti beras, jagung, biji kopi, daun teh yang belum diolah, gula mentah, buah-buahan segar, dan sayuran. Namun, ada juga negara Asean yang tidak menerapkan pembebasan beberapa barang kebutuhan pokok seperti di Indonesia, yakni Singapura. Berikut perinciannya.


Baca Juga: Turis Asing di China Bisa Langsung Minta VAT Refund di Toko

Namun, tidak diketahui secara jelas nilai potensi penerimaan pajak yang hilang dari pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok tersebut di tiap negara. Terlebih, jika melihat data pada Global Tax Expenditures Database (GTED), profil negara yang tersedia hanya Indonesia dan Filipina.

Selain itu, berdasarkan Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI), Indonesia berada di peringkat kedua setelah Korea Selatan. Bisa dikatakan transparansi belanja perpajakan Indonesia menempati posisi pertama jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Berikut perinciannya.


Baca Juga: Kurs Pajak Hari Ini: Rupiah Masih Lemah terhadap Nyaris Semua Negara

Terlepas dari hal tersebut, Darussalam (2024) menyatakan untuk melihat kebijakan PPN, setidaknya ada 3 variabel yang perlu diperhatikan. Ketiganya adalah tarif PPN, threshold PKP, dan fasilitas (pembebasan PPN). Ketiganya menjadi aspek yang penting juga untuk membandingkan rezim PPN satu negara dengan negara lainnya.

Misal, meskipun memiliki tarif PPN yang sama, bisa jadi beban yang harus ditanggung oleh konsumen akhirnya berbeda. Hal ini dikarenakan ada perbedaan dari aspek batasan pengusaha yang mulai memungut PPN (threshold PKP) dan nilai fasilitas (pembebasan PPN).

Kondisi yang serupa juga berlaku ketika ada perbedaan tarif. Bisa jadi negara dengan tarif PPN lebih tinggi, beban ke konsumen akhirnya juga lebih besar. Begitu pula sebaliknya, untuk negara dengan tarif PPN lebih rendah, belum tentu beban ke konsumen akhirnya lebih sedikit.

Baca Juga: Wah! Kantor Pajak Panggil Puluhan Pedagang Emas, Diminta Jadi PKP?

Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.

Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 32 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)

Baca Juga: Ajukan PKP tapi Usaha WP Belum Jalan, Petugas Pajak Adakan Kunjungan

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : statistik kebijakan pajak, narasi data, PPN, fasilitas PPN, pembebasan PPN, kebijakan pajak, tarif PPN, PKP, threshold PKP, pengusaha kena pajak

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 07 April 2025 | 08:00 WIB
KONSULTASI PAJAK

Hitung PPh Jasa Penerjemah dengan NPPN, Bagaimana Ketentuannya?

Sabtu, 05 April 2025 | 10:15 WIB
BERITA PAJAK SEPEKAN

Hayo Jangan Lupa! Faktur Pajak Kini Perlu Dibuat Sesuai PMK 131/2024

Jum'at, 04 April 2025 | 10:00 WIB
PMK 81/2024

Terlambat Sampaikan Pemberitahuan NPPN, WP Dianggap Wajib Pembukuan

Jum'at, 04 April 2025 | 08:30 WIB
PMK 131/2024

Jangan Lupa! Masa Transisi Berakhir, Faktur Harus Dibuat Ikuti PMK 131

berita pilihan

Sabtu, 19 April 2025 | 16:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingat Lagi Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan sebelum Pengukuhan PKP

Sabtu, 19 April 2025 | 14:00 WIB
PROVINSI SULAWESI TENGAH

Ada Pemutihan! Kendaraan Mati 10 Tahun, Cukup Bayar 1 Tahun Saja

Sabtu, 19 April 2025 | 11:35 WIB
KOLABORASI LeIP-DDTC

Gratis 25 Buku Terbaru DDTC untuk PERTAPSI! Beri Komentar Terbaik Anda

Sabtu, 19 April 2025 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Siapa yang Masuk Keluarga Sedarah dan Semenda dalam Aturan Pajak?

Sabtu, 19 April 2025 | 10:30 WIB
PMK 81/2024

Ketentuan PPh atas Pengalihan Partisipasi Interes, Apa yang Berubah?

Sabtu, 19 April 2025 | 10:00 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

WP Badan Masih Bisa Perpanjang Waktu Lapor SPT Tahunan, Tambah 2 Bulan

Sabtu, 19 April 2025 | 09:30 WIB
PENERIMAAN PERPAJAKAN

DPR Khawatir Efek Lemahnya Daya Beli Merembet ke Kinerja Cukai Rokok

Sabtu, 19 April 2025 | 09:05 WIB
LAPORAN FOKUS

Meluruskan Fungsi Pengadilan Pajak sebagai Lembaga Yudisial