Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Fokus
Reportase

Barang Kebutuhan Pokok Indonesia Bebas PPN, Bagaimana di Asean?

A+
A-
2
A+
A-
2
Barang Kebutuhan Pokok Indonesia Bebas PPN, Bagaimana di Asean?

INDONESIA masih memberikan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) tidak dikenakan atau dibebaskan atas barang kebutuhan pokok. Mengutip Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2023, kebijakan ini merupakan deviasi terhadap tax benchmark PPN, yaitu semua barang dan jasa merupakan objek PPN, kecuali barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah.

Sebelum terbit dan berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak masuk kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN (Pasal 4A ayat (2) huruf b). Artinya, barang kebutuhan pokok itu bukanlah barang kena pajak (BKP) atau dikecualikan dari pengenaan PPN.

Setelah UU HPP berlaku, barang kebutuhan pokok dihapus dari Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN dan dipindahkan ke Pasal 16B ayat (1a) huruf J UU PPN. Dengan demikian, sekarang, barang kebutuhan pokok menjadi BKP tapi dapat diberikan fasilitas tidak dipungut sebagian/seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya.

Baca Juga: Batas Omzet Rp4,8 Miliar sebagai Pemungut PPN Dinilai Terlalu Tinggi

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022, penyerahan dan impor barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dibebaskan dari pengenaan PPN. Barang kebutuhan pokok itu adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat.

Pembebasan dapat dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan dampaknya terhadap penerimaan negara. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PP 49/2022, jenis barang tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak antara lain beras; gabah; jagung; sagu; kedelai; garam; daging; telur; susu; buah-buahan; dan sayur-sayuran.

Dalam kelompok PPN dan PPnBM, potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue forgone) karena fasilitas PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok menempati posisi kedua terbesar setelah batasan pengusaha kecil tidak kena pajak atau threshold pengusaha kena pajak (PKP). Simak pula ‘Batasan Pengusaha Pungut PPN (PKP) Indonesia Tertinggi ke-2 di Asean’.

Baca Juga: Threshold PKP Tinggi Jadi Penyebab PPN Indonesia Tak Efisien

Adapun nilai potensi penerimaan pajak yang sengaja tidak dipungut oleh negara karena fasilitas PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2025, nilainya diproyeksi mencapai Rp50,5 triliun atau 19,0% dari total belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai Rp265,6 triliun. Berikut perinciannya.


Berdasarkan pada data yang diolah DDTC dari berbagai sumber, termasuk Country Tax Guide IBFD, pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok tersebut ternyata juga diterapkan di berbagai negara kawasan Asia Tenggara (Asean) yang mempunyai rezim PPN (value-added tax/VAT) ataupun goods and services tax (GST).

Baca Juga: Mau Persiapan Rekonsiliasi PPN dan Kertas Kerjanya? Ikuti Webinar Ini

Namun, mayoritas menyebut langsung ke produknya, misalnya produk pertanian dan peternakan. Artinya, tidak secara eksplisit menggunakan istilah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Misal, Filipina memberikan pembebasan PPN atas produk pertanian, seperti beras, jagung, biji kopi, daun teh yang belum diolah, gula mentah, buah-buahan segar, dan sayuran. Namun, ada juga negara Asean yang tidak menerapkan pembebasan beberapa barang kebutuhan pokok seperti di Indonesia, yakni Singapura. Berikut perinciannya.


Baca Juga: Tarif PPN Karya Seni di Negara Ini Akan Turun Jadi 5%

Namun, tidak diketahui secara jelas nilai potensi penerimaan pajak yang hilang dari pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok tersebut di tiap negara. Terlebih, jika melihat data pada Global Tax Expenditures Database (GTED), profil negara yang tersedia hanya Indonesia dan Filipina.

Selain itu, berdasarkan Global Tax Expenditures Transparency Index (GTETI), Indonesia berada di peringkat kedua setelah Korea Selatan. Bisa dikatakan transparansi belanja perpajakan Indonesia menempati posisi pertama jika dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Berikut perinciannya.


Baca Juga: Pemerintah Tegaskan Peran OSS dalam Pengajuan Insentif Perpajakan

Terlepas dari hal tersebut, Darussalam (2024) menyatakan untuk melihat kebijakan PPN, setidaknya ada 3 variabel yang perlu diperhatikan. Ketiganya adalah tarif PPN, threshold PKP, dan fasilitas (pembebasan PPN). Ketiganya menjadi aspek yang penting juga untuk membandingkan rezim PPN satu negara dengan negara lainnya.

Misal, meskipun memiliki tarif PPN yang sama, bisa jadi beban yang harus ditanggung oleh konsumen akhirnya berbeda. Hal ini dikarenakan ada perbedaan dari aspek batasan pengusaha yang mulai memungut PPN (threshold PKP) dan nilai fasilitas (pembebasan PPN).

Kondisi yang serupa juga berlaku ketika ada perbedaan tarif. Bisa jadi negara dengan tarif PPN lebih tinggi, beban ke konsumen akhirnya juga lebih besar. Begitu pula sebaliknya, untuk negara dengan tarif PPN lebih rendah, belum tentu beban ke konsumen akhirnya lebih sedikit.

Baca Juga: Mendesain Strategi Insentif Pajak yang Efektif: Perlu Sesuai Kebutuhan

Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.

Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 32 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)

Baca Juga: WP Ajukan Pencabutan PKP, Petugas Pajak Adakan Pemeriksaan

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : statistik kebijakan pajak, narasi data, PPN, fasilitas PPN, pembebasan PPN, kebijakan pajak, tarif PPN, PKP, threshold PKP, pengusaha kena pajak

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 18 Juni 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Rabu, 18 Juni 2025 | 08:45 WIB
KURS PAJAK 18 JUNI 2025 - 24 JUNI 2025

Kurs Pajak Terbaru: Bergerak Dinamis, Rupiah Menguat Atas Dolar AS

Selasa, 17 Juni 2025 | 13:30 WIB
PER-12/PJ/2025

Pungut PPN PMSE, Pelaku Usaha Bisa Sampaikan Pemberitahuan Via Coretax

berita pilihan

Selasa, 24 Juni 2025 | 13:30 WIB
KEM-PPKF 2026

Mulai Pembahasan, Puan Minta RAPBN 2026 Pertimbangkan Kondisi Global

Selasa, 24 Juni 2025 | 12:30 WIB
PER-11/PJ/2025

Keliru Cantumkan NITKU Pembeli, Tak Bisa Dibikin Faktur Pajak Penggnti

Selasa, 24 Juni 2025 | 12:00 WIB
PER-8/PJ/2025

Entitas Dana Pensiun Bisa Ajukan Surat Bebas Pajak via Coretax

Selasa, 24 Juni 2025 | 11:30 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Dari Uang Pajak, Pembelajaran di Sekolah Rakyat Akan Dimulai Juli 2025

Selasa, 24 Juni 2025 | 11:00 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Pajak Penghasilan Komisaris, Begini Ketentuannya

Selasa, 24 Juni 2025 | 10:31 WIB
PENGADILAN PAJAK

Mohammad Wangsit Supriyadi Dilantik Jadi Wakil Ketua Pengadilan Pajak

Selasa, 24 Juni 2025 | 10:30 WIB
KOTA PEMATANGSIANTAR

Kejar 21 WP Penunggak Pajak, Pemkot Gandeng Kejaksaan Negeri

Selasa, 24 Juni 2025 | 10:00 WIB
KEBIJAKAN PEMERINTAH

Banyak Insentif Pajak, Pemerintah Ajak Investor Tanamkan Modal di KEK

Selasa, 24 Juni 2025 | 09:00 WIB
PER-11/PJ/2025

PER-11/PJ/2025 Atur Bentuk SPT Masa Bea Meterai Era Coretax