Batas Omzet Rp4,8 Miliar sebagai Pemungut PPN Dinilai Terlalu Tinggi

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Anggapan bahwa batas omzet untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) terlampau tinggi kembali muncul. Kali ini rekomendasi agar Indonesia mereformulasi threshold PKP disampaikan oleh Asean+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) dalam laporannya.
Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (24/6/2025).
Pemungutan PPN Indonesia dinilai belum efisien akibat tingginya threshold PKP serta banyaknya barang dan jasa yang terbebas dari pengenaan PPN. Pemungutan PPN yang tak efisien tercermin pada C-efficiency PPN Indonesia yang masih rendah.
"Efisiensi pemungutan PPN dapat ditingkatkan dengan menurunkan threshold PKP serta mengevaluasi barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN," tulis AMRO dalam Annual Consultation Report: Indonesia - 2025.
Saat ini, threshold PKP yang berlaku di Indonesia adalah senilai Rp4,8 miliar atau kurang lebih US$315.000. Sebagai perbandingan, threshold PKP di negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina ditetapkan lebih rendah dari US$55.000.
Pemerintah menetapkan threshold PKP tersebut untuk meringankan beban kepatuhan pajak serta untuk meningkatkan daya saing UMKM Indonesia. Dengan berkurangnya beban kepatuhan, UMKM diharapkan terus bertumbuh dan berekspansi.
Masalahnya, pelaku usaha justru secara sengaja menjaga omzetnya di bawah Rp4,8 miliar per tahun agar terhindar dari kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP dan memungut PPN. Tindakan ini menghambat pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan inefisiensi pengumpulan pajak.
Berdasarkan catatan AMRO, saat ini Indonesia sedang mengevaluasi threshold PKP yang saat ini berlaku.
"Pemerintah mempertimbangkan saran para pakar untuk menurunkan threshold PKP dan mengadakan diskusi internal terkait isu tersebut," tulis AMRO.
Sebagai informasi, wajib pajak pelaku usaha yang omzetnya belum mencapai Rp4,8 miliar per tahun berhak memanfaatkan skema PPh final UMKM dengan tarif sebesar 0,5% dan terbebas dari kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Selain informasi mengenai threshold PKP, ada pula bahasan lain yang juga diulas oleh media nasional pada hari ini. Di antaranya, peringatan Ditjen Pajak (DJP) agar masyarakat tidak tergiur meterai murah, kewaspadaan RI terhadap dampak konflik di Timur Tengah, hingga dorongan bagi pemerintah untuk menambah bracket PPh orang pribadi.
Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
DJP Tak Jadi Turunkan Threshold PKP
Pada akhir 2024, pemerintah sempat berencana menurunkan threshold dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. Namun, belakangan DJP membantah rencana tersebut.
Pemerintah mengatakan evaluasi terhadap threshold PKP tetap akan dilakukan, tetapi tidak dalam waktu dekat.
"Sampai saat ini pemerintah tidak berencana untuk menurunkan batasan omzet bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0.5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai PKP, dari Rp4,8 miliar per tahun menjadi Rp3,6 miliar per tahun," ungkap DJP dalam keterangan resminya. (DDTCNews)
Tambahan PPh untuk Wajib Pajak Kaya
Dalam laporannya, AMRO juga mendorong Indonesia untuk mempertimbangkan reformasi sistem PPh orang pribadi. Termasuk, penambahan lapisan tarif untuk kelompok berpendapatan tinggi.
AMRO memandang struktur PPH saat ini masih kurang progresif jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asean. Meski Indonesia sudah menambah jumlah laposan tarif PPh OP dari 4 menjadi 5 layer, masih ada kesenjangan yang cukup lebar antara lapisan tarif 30% dan 35%.
Reformasi sistem PPh ini juga diyakini bakal menjadi sinyal populis dari pemerintah kepada rakyat untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok berpenghasilan rendah hingga menengah. (Harian Kontan)
Jangan Tergiur Meterai Murah
Masyarakat perlu mewaspadai peredaran meterai palsu yang dijual di toko online maupun situs tidak resmi. Biasanya, mereka membanderol meterai dengan harga yang sangat murah.
DJP pun mewanti-wanti supaya masyarakat luas tidak tergiur meterai yang harganya di bawah Rp10.000. DJP menyatakan meterai yang dijual di bawah nominal tersebut sudah pasti adalah barang palsu.
"Hati-hati dengan meterai palsu. Ingat, kalau ada meterai di bawah Rp10.000, itu pasti palsu!" imbau DJP melalui media sosial. (DDTCNews)
Setor Sendiri PPh Dividen Orang Pribadi
DJP menyebut penyetoran sendiri PPh dividen dalam negeri dilakukan melalui mekanisme bayar dan lapor pada SPT Unifikasi, bukan menggunakan mekanisme layanan mandiri kode billing.
Penjelasan dari Kring Pajak itu merespons pertanyaan dari seorang warganet yang ingin membayar pajak dividen 2024 sebesar 10%, tetapi masih bingung terkait dengan tata cara penyetoran pajak terutangnya tersebut.
“Untuk penyetoran sendiri PPh dividen dalam negeri yang diterima orang pribadi, penyetorannya saat ini tidak dilakukan melalui mekanisme layanan mandiri kode billing, tetapi melalui mekanisme bayar dan lapor pada SPT Unifikasi,” jelas Kring Pajak. (DDTCNews)
Imbas Konflik Timur Tengah
Pemerintah tengah mewaspadai penurunan pasokan minyak mentah sebagai imbas dari konflik di Timur Tengah. Apalagi, Iran berencana menutup Selat Hormuz yang selama ini menjadi jalur penting perdagangan migas dunia.
Juru Bicara Kementerian ESDM Dwi Anggia menyampaikan ancaman penutupan Selat Hormuz merupakan hal serius karena 20% pasokan migas dunia harus lewat jalur tersebut.
Dampak yang perlu diwaspadai oleh Indonesia adalah kenaikan harga ICP yang bisa berujung pada bengkaknya subsidi energi. Hal ini disebabkan Indonesia merupakan negara net-importir BBM. (Bisnis Indonesia) (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.