Membaca Penerapan Coretax, Sudahkah Jadi Solusi?

Wajib pajak menunjukan platform coretax system di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Wilayah Sumatera Utara I, Medan, Sumut, Senin (17/2/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/tom.
SEJATINYA, pemerintah punya niat super-mulia berkaitan dengan transformasi digital administrasi pajak. Melanjutkan reformasi pajak yang sudah berjalan 2 dekade, pemerintah bertujuan menyederhanakan urusan administrasi bagi wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya.
Dibuatlah sebuah platform canggih berjuluk coretax administration system, menyatukan 20 proses bisnis administrasi pajak yang selama ini berjalan sendiri-sendiri. Butuh waktu 4 tahun bagi pemerintah untuk merampungkan pengembangan coretax system, sejak inisiasi desain awal pada Januari 2021 lalu, hingga akhirnya big bang pada 1 Januari 2025.
Strategi yang dijalankan pemerintah adalah implementasi penuh bagi seluruh wajib pajak secara serentak. Sederhananya, saluran-saluran lama yang dipakai wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya nyaris ditinggalkan sepenuhnya. Semuanya beralih ke sistem baru: coretax system.
Ala akrobat, coretax system sekonyong-konyong dijalankan 'sesuai' jadwal, yakni 1 Januari 2025. Presiden Prabowo Subianto langsung yang meluncurkannya.
Yang terjadi selanjutnya, kendala demi kendala teknis dalam penggunaan coretax system bermunculan. Ditjen Pajak (DJP) selaku pengampu coretax system menuai banyak keluhan, baik dari wajib pajak orang pribadi atau badan.
Bila ditilik, masalahnya ada di dua sisi: wajib pajak dan otoritas (sistem coretax itu sendiri).
Dari sisi wajib pajak, pemahaman terhadap coretax system belum merata. Hingga pertengahan Desember 2024, kurang dari 50.000 wajib pajak yang sudah berhasil login ke akun simulator coretax system. Kegiatan sosialisasi yang dijalankan otoritas juga belum menyentuh seluruh wajib pajak.
Dari sisi otoritas, coretax system yang diluncurkan jelas masih jauh dari siap. Paramater siap-tidak siap dari mana? Sederhananya, banyaknya masalah teknis yang muncul menjadi jawabannya.
Dua hal itu, pemahaman wajib pajak yang minim dan sistem coretax-nya yang terkesan belum siap, menjadi semacam paket kombo tersendatnya implementasi wajah baru administrasi pajak Indonesia.
Lalu apa yang solusinya? Sebelum melangkah ke solusi jangka panjang, pemerintah sudah menyodorkan sejumlah solusi jangka pendek. Bentuknya berupa relaksasi pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak akibat kendala yang muncul pada coretax system, terutama dalam hal penyetoran dan pelaporan pajak.
Pada pekan pertama Februari 2025, Dirjen Pajak Suryo Utomo akhirnya resmi menerbitkan keputusan penghapusan sanksi administrasi pascaimplementasi coretax system. Kebijakan tersebut diatur melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-67/PJ/2025.
Melalui keputusan tersebut, dirjen pajak menghapus sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak serta keterlambatan penyampaian SPT.
Kebijakan ini diambil sebagai respons atas perubahan sistem administrasi yang menyebabkan keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan SPT. Dalam kondisi tersebut, jelas keterlambatan bukan merupakan kesalahan wajib pajak.
Namun, kalau direnungi lagi, mestinya relaksasi soal sanksi itu tak perlu diberikan oleh DJP jika coretax system memang sudah optimal dalam bekerja. Jadi, pembebebasan sanksi sejatinya memang sudah sewajarnya diberikan pemerintah sebagai konsekuensi atas belum andalnya sistem.
Karenanya, pembebasan sanksi administratif ini bukan solusi permanen. Ada satu hal lain yang sebenarnya paling diperlukan oleh wajib pajak saat ini: kepastian!
Yang jelas, coretax system sudah berjalan. Mau tidak mau, mimpi besar pemerintah untuk mewujudkan sebuah sistem administrasi pajak yang terintegrasi, real time, dan sederhana harus dilanjutkan.
Ada dua hal yang perlu menjadi catatan pemerintah. Pertama, optimalisasi dan perbaikan menyeluruh terhadap coretax system. Orientasi pemerintah dalam menjalankan perbaikan coretax system mestinya adalah kemudahan wajib pajak.
Sesuai dengan tujuan awal, yakni menyederhanakan sistem administrasi pajak, coretax system perlu dijamin keandalannya. Andal dalam sistemnya, andal dalam pengalaman penggunaannya. DJP perlu memastikan kembali bahwa coretax system minim kendala.
Kedua, kepastian administratif. Saat ini, sebagai respons atas kendala teknis yang masih muncul, DJP membolehkan wajib pajak menggunakan kembali saluran administrasi yang lama, misalnya e-faktur. Ke depannya, seiring dengan jaminan keandalan coretax system, DJP perlu memastikan kembali saluran mana yang akan digunakan secara permanen.
Kepastian soal coretax system tersebut menjadi modal bagi wajib pajak, baik pribadi atau perusahaan, untuk memenuhi seluruh kewajiban pajaknya. Sebagai pihak yang berkontribusi terhadap penerimaan negara, sudah semestinya wajib pajak menjadi target utama pemerintah dalam melakukan perbaikan.
Pemerintah perlu mengembalikan coretax system ke dalam konsep Tax Administration 3.0 sesuai laporan OECD, yakni beroentasi terhadap kemudahan wajib pajak. Ujungnya, ketika wajib pajak dimudahkan dalam membayar dan melaporkan pajak, kepatuhan pajak ikut naik.
Apabila kepatuhan pajak meningkat, penerimaan negara jelas akan terkerek. APBN yang sehat memberi jaminan bagi negara untuk menjalankan pembangunannya secara optimal.
Akhir kata, bak jam pasir, pemerintah dikejar waktu untuk melakukan perbaikan menyeluruh terhadap coretax system. Mimpi besar membangun sistem administrasi pajak yang terintegrasi dan taxpayer-oriented menjadi pertaruhannya. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.