Melihat Pajak Minimum Global Lewat Kacamata Teori Keadilan John Rawls

Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Meneropong implementasi pajak minimum global melalui lensa 'keadilan' ternyata menarik. O'Kelley (1981) sempat mengungkapkan bahwa penggunaan teori moral dalam menganalisis kebijakan perpajakan bisa melahirkan usulan kebijakan yang lebih mudah diterima dan dimengerti semua kalangan.
Karenanya, aspek keadilan menjadi salah satu teori moral yang bisa dipakai untuk membedah kebijakan perpajakan, seperti pajak minimum global. Salah satu teori keadilan yang relevan untuk dipakai sebagai pisau analisis dalam membedah pajak minimum global, adalah teori keadilan yang dipostulatkan oleh John Rawls.
Kaitan antara pajak minimum global dengan teori keadilan John Rawls dikupas cukup dalam oleh Adrianto Dwi Nugroho dalam pidato pengangkatannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bidang ilmu hukum pajak perusahaan.
Dalam pidatonya, Adrianto mengangkat judul 'Pajak Minimum Global dalam Teori Keadilan John Rawls'.
Ada 2 prinsip keadilan menurut Rawls. Pertama, setiap orang memiliki hak yang setara atas sebesar-besarnya kebebasan dasar yang setara dengan kebebasan yang dimiliki oleh orang lain (equality principle).
Kedua, ketimpangan ekonomi dan sosial ditata sedemikian rupa sehingga diharapkan memberikan manfaat bagi setiap orang (difference principle), serta didasari kesempatan yang terbuka bagi semua orang (fair equality of opportunity principle).
Apakah pajak minimum global memenuhi teori keadilan?
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dipahami kembali bahwa pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) merupakan konsensus teraktual yang dilahirkan oleh OECD guna memastikan perusahaan multinasional membayar porsi kewajiban perpajakan yang adil.
Melalui kebijakan ini, PPh badan yang terutang pada sebuah perusahaan multinasional yang memenuhi syarat tertentu ditetapkan minimal 15% dari penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE Rules).
Menurut Adrianto, narasi ketidakadilan yang disebabkan oleh hilangnya pendapatan negara akibat ketidakmampuan hukum pajak dalam mengenakan PPh atas laba usaha dari perusahaan multinasional sering kali diajukan OECD sebagai alasan untuk mereformasi tatanan perpajakan internasional.
"Untuk mengimbanginya, berbagai kebijakan yang disusun OECD perlu ditelaah dengan teori keadilan agar kebijakan yang dibuat bisa membangun kepatuhan sukarela dari perusahaan multinasional," kata Adrianto.
Adrianto memetakan pembahasan aspek keadilan dalam pajak minimum global ke dalam 4 bagian. Dari 4 bagian inilah nantinya kita bisa melihat apakah pajak minimum global memang sudah memenuhi teori keadilan atau belum.
Pertama, model GloBE Rules yang mengatur tentang syarat objektif perusahaan yang terkualifikasi ke dalamnya. Sesuai ketentuan itu, grup perusahaan multinasional yang tunduk pada rezim pajak minimum global tidak dibeadakan berdasarkan keadaan objektifnya, melainkan pada akumulasi penghasilan global yang didapat dari entitasnya di seluruh dunia.
Dalam hal ini, Rawls menyatakan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang tidak berarti bahwa penghasilan yang mereka peroleh memiliki nilai intrinsik yang sama. Artina, pengenaan pajak yang mengualifikasikan subjeknya berdasarkan penghasilan yang diakumulasikan sejalan dengan teori keadilan Rawls.
Kedua, laba usaha dalam GloBE Rules terbatas pada laba ekses, yakni laba yang dihitung dengan mengurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan substantif. Dengan begitu, perusahaan multinasional wajib membayar pajak minimum global di yurisdiksi manapun mereka beroperasi.
Situasi tersebut turut membangun level playing field dengan perusahaan lain di yurisdiksi yang sama. Dalam konteks ini, pengenaan pajak minimum global juga tidak bertentangan dengan teori keadilan Rawls.
Ketiga, top up tax dikenakan dengan tarif proporsional sebesar pajak minimum 15% dikurangi dengan effective tax rate (ETR) per yurisdiksi.
Dalam praktiknya, pajak minimum global turut memastikan keputusan investasi perusahaan multinasional tidak banyak dipengaruhi oleh insentif PPh seperti tax allowance atau tax holiday. Dengan begitu, penerapan pajak minimum global justru dekat dengan teori keadilan Rawls.
Keempat, pemberian prioritas kewenangan untuk mengenakan top up tax kepada yurisdiksi entitas konstituen/constituent entity (CE) bertujuan mengimbangi kewenangan yurisdiksi ultimate parent entity (UPE) untuk mengenakan top up tax dalam wujud IIR dan UTPR.
Pada poin keempat ini, Adrianto memandang, bertentangan dengan prinsip keseteraan dan melanggar kedaulatan pajak yurisdiksi lain. Namun, arstitektur pajak minimum global perlu dilihat sebagai jalan keluar atas ketimpangan penerimaan pajak di antara negara-negara di dunia.
"Praktik pemberian insentif PPh untuk menarik investasi telah sampai titik yang tidak sehat (harmful tax competition)," ujar Adrianto.
Karenanya, keberadaan pajak minimum global justru perlu dilihat sebagai upaya yurisdiksi-yurisdiksi dunia untuk mereduksi kompetisi yang tidak sehat. Dengan begitu, pada akhirnya implementasi pajak minimum global memang tidak bertentangan dengan teori keadilan Rawls.
"Namun, para ahli hukum pajak mengingatkan bahwa pajak minimum global memberikan fondasi bagi jenis kompetisi pajak yang baru, yaitu kompetisi yang mengedepankan insentif pajak yang diukur berdasarkan kegiatan substantif," ungkap Adrianto. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.