Pajak Karbon Bikin Operasi PLTU Lebih Mahal, Terungkap di RUPTL PLN

Petani menebar pupuk di area persawahan sekitar lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 7, Kabupaten Serang, Banten, Jumat (30/5/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/nym.
JAKARTA, DDTCNews - Pengenaan pajak karbon dipastikan bakal menambah mahal ongkos operasional pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Hal ini diungkap dalam dokumen resmi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (perser) periode 2025-2034.
Topik mengenai pengenaan pajak karbon dituangkan dalam sub-bab risiko regulasi dan kepatuhan. Dalam dokumen RUPTL PLN dijelaskan bahwa kebijakan pajak karbon sejatinya sudah diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan proyeksi implementasi pada 2025.
"[Pengenaan pajak karbon] akan membuat pengoperasian pembangkit berbahan bakar fosil menjadi lebih mahal sehingga dapat mengubah pola operasi pembangkit PLN," tulis dokumen RUPTL PLN 2025-2034, dikutip pada Rabu (4/6/2025).
Sebagai informasi, pengenaan pajak karbon memang akan membuat biaya operasional pembangkit listrik energi fosil, misalnya PLTU, menjadi lebih tinggi. Alasannya, ada pungutan atas emisi karbon yang dihasilkan.
Secara sederhana, pajak karbon dipungut atas setiap ton karbondioksida (CO2) yang dilepaskan pembangkit ke atmosfer. Hal inilah yang membuat ongkos operasi pembangkit listrik tenaga fosil menjadi lebih mahal.
Situasi tersebut yang nanti perlu diantisipasi oleh PLN selaku produsen listrik, terutama terkait dengan rembetan imbasnya terhadap harga jual istrik.
Kapan Pajak Karbon Berjalan?
Penerapan pajak karbon terus tertunda hingga kini. UU HPP telah mengatur pajak karbon semula direncanakan berlaku mulai 1 April 2022, tetapi belum terlaksana. Pajak karbon direncanakan dikenakan pertama kali pada PLTU batu bara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyampaikan bahwa pemerintah masih berupaya menyelesaikan peraturan yang diperlukan untuk penerapan pajak karbon.
Sri Mulyani mengatakan penyusunan peraturan soal pajak karbon membutuhkan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Menurutnya, penyusunan peraturan ini harus dilakukan secara hati-hati karena pengenaan pajak baru juga akan memunculkan reaksi dari publik.
Pajak karbon rencananya akan melengkapi skema perdagangan karbon yang telah diluncurkan pemerintah. Apabila pajak karbon sudah berlaku, pelaku usaha yang emisinya melampaui cap akan memiliki pilihan antara membeli kredit karbon di bursa atau membayar pajak karbon.
Sementara itu, bursa karbon telah diselenggarakan berdasarkan UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 14/2023. Berdasarkan POJK tersebut, OJK menunjuk BEI sebagai penyelenggara bursa karbon. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.