Apa Itu Bentuk Usaha Tetap dalam konteks Pajak Minimum Global?

ISTILAH bentuk usaha tetap (BUT) atau permanent establishment kerap kali muncul dalam diskursus mengenai pemajakan atas laba usaha dari suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas.
Pengertian BUT pun telah dirumuskan sedemikian rupa di antaranya dalam OECD Model Tax Convention on Income and Capital (P3B OECD Model) dan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku di Indonesia.
Istilah BUT juga muncul dalam ketentuan pengenaan pajak minimum global (Global Anti-Base Erosion/GloBE Rules). Dalam konteks GloBE, istilah BUT penting dipahami di antaranya untuk mendefinisikan entitas konstituen anggota grup perusahaan multinasional (PMN).
Uniknya, GloBE rules mengembangkan pengertian BUT secara khusus. Alhasil, definisi BUT tersebut hanya berlaku untuk tujuan GloBE Rules dan tidak dimaksudkan untuk memengaruhi interpretasi istilah BUT dalam P3B, undang-undang domestik, atau definisi BUT untuk tujuan country-by-country report (CbCR).
Untuk itu, pengertian BUT dalam konteks GloBE Rules menjadi hal yang menarik untuk diulas. Pihak yang acap kali berkecimpung dalam pajak internasional pun perlu memperhatikan kembali pengertian BUT dalam konteks GloBe Rules. Lantas, apa itu BUT dalam konteks GloBE Rules?
Pengertian BUT dalam konteks GloBE Rules tercantum dalam Article 10 OECD Globe Model Rules beserta penjelasannya (commentary). Pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi pengertian BUT dalam konteks GloBE Rules tersebut melalui Pasal 4 ayat (3) PMK 136/2024.
Berdasarkan Article 10 OECD GloBE Rules Model dan Pasal 4 ayat (3) PMK 136/2024, definisi BUT dalam konteks GloBE Rules dibagi menjadi 4 skenario. Artinya, BUT dianggap ada untuk tujuan GloBE Rules apabila memenuhi salah satu dari 4 kondisi yang ditetapkan.
Pertama, BUT adalah suatu tempat usaha (termasuk tempat yang dianggap tempat usaha) yang berada di suatu negara atau yurisdiksi dan diperlakukan sebagai BUT sesuai dengan P3B yang berlaku sepanjang negara/yurisdiksi tersebut mengenakan pajak atas penghasilan yang diatribusikan kepada BUT tersebut.
Pengertian BUT yang pertama dijadikan acuan apabila terdapat suatu P3B yang berlaku. Dalam hal ini, GloBE Rules mengakui keberadaan BUT sesuai dengan P3B yang berlaku sepanjang negara sumber mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari BUT berdasarkan ketentuan yang serupa dengan Pasal 7 dari OECD Model.
Istilah ‘yang dianggap tempat usaha’ (deemed place of business) dicantumkan untuk mengakomodasi situasi di mana subjek pajak luar negeri tidak memiliki tempat usaha, tetapi kegiatannya di yurisdiksi sumber dianggap sebagai BUT berdasarkan ketentuan P3B. Misal, dependent agent.
Berdasarkan pengertian pertama, keputusan yang diambil oleh pengadilan dalam negeri dan pejabat yang berwenang juga dipertimbangkan untuk mengartikan BUT.
Misal, pengertian BUT pertama dalam GloBE Rules dianggap terpenuhi apabila pejabat yang berwenang dari yurisdiksi terkait telah menyetujui melalui mutual agreement procedure (MAP) bahwa suatu BUT ada sesuai dengan P3B.
Kedua, BUT adalah suatu tempat usaha (termasuk yang dianggap tempat usaha) di mana suatu yurisdiksi mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya atas penghasilan yang dapat berasal dari tempat usaha tersebut dengan jumlah neto yang serupa dengan cara yang sama yurisdiksi tersebut memajaki subjek pajak dalam negerinya sendiri.
Pengertian BUT yang kedua mengacu pada kondisi ketika yurisdiksi telah mengadopsi definisi dan aturan perpajakan untuk BUT ke dalam undang-undang domestiknya dan tidak ada P3B yang berlaku antara yurisdiksi domisili dan yurisdiksi sumber.
Dalam situasi ini, GloBE Rules mengakui keberadaan BUT apabila berdasarkan undang-undang domestik BUT tersebut dianggap ada. Selain itu, yurisdiksi sumber memajaki penghasilan yang berasal dari BUT dengan basis neto yang serupa dengan cara yurisdiksi tersebut memajaki subjek pajak dalam negerinya sendiri.
Ketiga, BUT adalah suatu tempat usaha (termasuk tempat yang dianggap tempat usaha) yang berada di negara/yurisdiksi tersebut diperlakukan sebagai suatu BUT sepanjang negara atau yurisdiksi tersebut seolah-olah memiliki hak untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari tempat usaha tersebut.
Pengertian BUT yang ketiga menjadi patokan dalam hal suatu negara/yurisdiksi tidak mempunyai sistem pajak penghasilan badan.
Dalam hal ini, BUT dianggap ada jika terdapat tempat usaha di yurisdiksi tersebut yang akan diperlakukan sebagai BUT sesuai dengan OECD Model dengan ketentuan yurisdiksi tersebut memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang diatribusikan kepada BUT.
Berdasarkan OECD Commentary on GloBE Rules, definisi BUT berdasarkan pengertian yang ketiga memerlukan analisis mengenai apakah suatu BUT akan ada di yurisdiksi yang tidak memiliki sistem sistem PPh badan. Analisis ini berlangsung seolah-olah negara domisili dan negara sumber mempunyai P3B yang mereplikasi versi terakhir dari OECD Model.
Keempat, suatu tempat usaha (termasuk tempat yang dianggap tempat usaha) yang belum dijelaskan dalam ketiga pengertian di atas yang kegiatan operasionalnya dilakukan di luar negara atau yurisdiksi tempat entitas berada dalam hal negara/yurisdiksi tersebut mengecualikan penghasilan yang dapat diatribusikan untuk kegiatan operasional tersebut.
Pengertian BUT yang keempat menjadi acuan apabila yurisdiksi tempat entitas konstituen berlokasi mengecualikan atau membebaskan pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha di luar yurisdiksi tersebut. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.