Ketentuan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Ilustrasi.
SURAT ketetapan pajak (SKP) yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak (DJP) tidak selalu membuat jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak bertambah. Pada kondisi tertentu, ada pula SKP yang justru membuat wajib pajak berhak atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi pajak).
SKP yang menetapkan kelebihan pembayaran pajak itu disebut SKP Lebih Bayar (SKPLB). Ketentuan mengenai SKPLB diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP).
Selain UU KUP, ketentuan mengenai SKPLB juga dapat mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 80 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak (PMK 80/2023).
Berdasarkan kedua beleid tersebut, SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU KUP, direktur jenderal (dirjen) pajak setelah melakukan pemeriksaan dapat menerbitkan SKPLB apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Dalam konteks ini, SKPLB tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas SPT yang disampaikan wajib pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan restitusi pajak.
Selain itu, berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU KUP, dirjen pajak juga dapat menerbitkan SKPLB atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. SKPLB dalam konteks ini terbit setelah dirjen pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak.
Kemudian, berdasarkan Pasal 17B UU KUP, dirjen pajak juga dapat menerbitkan SKPLB setelah melakukan pemeriksaan atas SPT yang menyatakan lebih bayar dengan disertai permohonan restitusi pajak.
Dengan demikian, SKPLB dapat diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau hasil penelitian, tergantung pada konteksnya. Secara lebih terperinci, dirjen pajak menerbitkan SKPLB berdasarkan:
1. Hasil penelitian terhadap:
- kebenaran pembayaran pajak atas permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU KUP terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
- permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah dibayar atas pembelian barang kena pajak (BKP) di dalam daerah pabean oleh turis asing yang tidak dikonsumsi di daerah pabean sebagaimana diatur dalam Pasal 17E UU KUP (VAT refund for tourist).
2. Hasil pemeriksaan terhadap:
- SPT terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP; atau
- permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur Pasal 17B UU KUP terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Ringkasnya, SKPLB yang terbit berdasarkan hasil penelitian adalah terkait dengan Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17E UU KUP. Sementara itu, SKPLB yang terbit berdasarkan hasil pemeriksaan adalah terkait dengan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17B UU KUP.
Adapun SKPLB masih dapat diterbitkan lagi jika terdapat data baru dan/atau data yang semula belum terungkap. Atas data baru dan/atau data yang belum terungkap itu ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
Kendati wewenang penerbitannya berada di dirjen pajak, Pasal 6 PMK 80/2023 memberikan ruang untuk dirjen pajak melimpahkan wewenang penerbitan SKPLB. Pelimpahan wewenang tersebut dilakukan dalam bentuk delegasi kepada pejabat di lingkungan DJP.
Apabila wajib pajak, setelah menerima SKPLB, menghendaki restitusi pajak maka harus mengajukan permohonan tertulis. Namun, jika wajib pajak bersangkutan ternyata memiliki utang pajak maka kelebihan pembayaran pajak akan digunakan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. Selanjutnya, apabila masih terdapat sisa lebih barulah dikembalikan ke wajib pajak.
Restitusi pajak tersebut ditetapkan paling lama 1 bulan. Untuk SKPLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), jangka waktu 1 bulan itu dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang restitusi.
Selanjutnya, untuk SKPLB yang terb sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, jangka waktu 1 bulan dihitung sejak tanggal penerbitan SKPLB. Apabila restitusi pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 bulan tersebut maka wajib pajak berhak atas imbalan bunga. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.