Membaca Kelanjutan Reformasi Peradilan Pajak, Perlu Perubahan Mendasar

Ilustrasi.
MENJELANG hari pelantikannya, pada Oktober 2024 lalu, Presiden Prabowo Subianto memilih melakukan pendekatan yang cukup strategis dengan lembaga yudikatif. Dia menjamin adanya peningkatan kesejahteraan hakim.
Tak cuma itu, secara gamblang Prabowo menyampaikan pandangannya bahwa hakim memiliki peran dalam mengamankan penerimaan pajak. Tanpa ragu, Prabowo mengaku perlu bantuan hakim untuk memastikan pelaku usaha menunaikan kewajiban pembayaran pajaknya dengan baik.
Pesan itu tampaknya ditangkap dengan baik oleh institusi peradilan. Untuk pertama kalinya, Mahkamah Agung (MA) menonjolkan 'peranannya' terhadap penerimaan negara. Dalam Laporan Tahunan MA 2024, tercantum kinerja MA dalam memutuskan peninjauan kembali (PK) dengan pajak yang harus dibayar senilai Rp15,14 triliun dan US$85,92 juta.
Tak hanya melalui putusan PK pajak, MA serta badan peradilan di bawahnya juga berkontribusi pada keuangan negara dengan mewajibkan terdakwa untuk membayar denda sekaligus uang pengganti.
Langkah MA yang menjabarkan kontribusinya terhadap penerimaan negara memang terbaca heroik. Namun, hal itu bisa dibaca berbeda.
Pada tahun-tahun sebelumnya, Laporan Tahunan MA lebih banyak hanya menampilkan kinerja penanganan sengketa pajak. Angka-angka yang disajikan, misalnya, menyangkut produktivitas penyelesaian perkara. Bukan nilai pajak yang harus dibayarkan ke negara.
Situasi ini perlu diluruskan. Tidak semestinya lembaga yudikatif seperti MA mengaitkan kinerjanya dengan penerimaan negara. Urusan mencari penerimaan sepenuhnya ada di ranah eksekutif.
Sesuai dengan fitrah lembaga yudikatif, termasuk badan peradilan pajak, penegakan keadilan menjadi tiang utamanya. Lembaga peradilan pajak perlu memastikan wajib pajak bisa memperoleh keadilan dan kepastian hukum atas sengketa yang dialaminya.
Sebenarnya, tugas dari masing-masing lembaga negara sudah jelas. Tak perlu dikaburkan dengan siasat-siasat dalam menggenjot pundi-pundi negara.
Lembaga peradilan pajak perlu memandang setara antara otoritas pajak dan wajib pajak.
Asa untuk menuju lembaga peradilan pajak yang lebih baik sebenarnya terbuka lebar. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023, kewenangan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Keuangan perlu dipindahkan ke MA, sesuai dengan sistem satu atap.
Pemindahan Pengadilan Pajak dari Kemenkeu ke MA sebenarnya juga menjawab tantangan mengenai risiko independensi Pengadilan Pajak terhadap kepentingan eksekutif. Seperti yang diulas di awal, bercampurnya kepentingan eksekutif dalam mengejar penerimaan negara dengan tugas dan wewenang Pengadilan Pajak dalam memutus perkara.
Namun, pemindahan pembinaan Pengadilan Pajak bisa saja tak akan mengubah keadaan apabila MA masih berpandangan praktis dengan mencampurkan kinerjanya dengan upaya menambah penerimaan negara.
Karenanya, perpindahan pembinaan Pengadilan Pajak dari Kemenkeu ke MA perlu dibarengi dengan penyesuaian fondasi yang esensial berupa revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang 14/2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) serta regulasi turunannya.
Mengapa demikian? Revisi UU secara menyeluruh akan berimplikasi terhadap banyak hal, termasuk kualitas sumber daya manusia (SDM) di lingkungan Pengadilan Pajak serta sasaran-sasaran kinerja yang mesti dicapai.
Mengutip hasil kajian oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) berjudul Kajian Persiapan Penyatuan Atap Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan kepada Mahkamah Agung, revisi menyeluruh terhadap UU 14/2002 juga diperlukan untuk memastikan transisi berjalan lancar dan menghindari ketidakpastian hukum.
Pada prinsipnya, perubahan legislasi mengenai Pengadilan Pajak akan menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan para pemangku kepentingan lainnya.
Sedikitnya ada 8 poin rekomendasi yang disodorkan oleh LeIP bersama DDTC untuk pemangku kepentingan dalam menindaklanjuti pemindahan Pengadilan Pajak ke MA.
Pertama, perubahan legislasi melalui revisi UU 14/2002 lalu diikuti dengan penyusunan aturan transisi.
Kedua, penyesuaian organisasi dan administrasi dengan menata ulang struktur jabatan, pemisahan fungsi sekretariat dan kepanieteraan, serta standardisasi nomenklatur jabatan di bawah MA.
Ketiga, harmonisasi sistem kepegawaian, termasuk penyesuaian mekanisme seleksi, promosi, dan remunerasi hakim pajak agar sesuai dengan standar hakim lain di MA.
Keempat, penyesuaian sistem hukum acara, dengan mempertimbangkan penyediaan mekanisme banding untuk meningkatkan akses terhadap keadilan bagi wajib pajak.
Kelima, penyediaan anggaran, sarana prasarana, dan teknologi informasi. Keenam, penguatan kapasitas dan profesionalisme hakim pajak dengan memperkenalkan sistem seleksi berbasis kompetensi perpajakan dan hukum administrasi negara, serta peningkatan pelatihan bagi para hakim pajak.
Ketujuh, pengaturan tentang kuasa hukum dengan menetapkan aturan baru tentang syarat dan izin kuasa hukum oleh MA yang menjamin kepastian hukum. Kedelapan, pembentukan tim transisi lintas sektor untuk memastikan kelancaran transisi pemindahan Pengadilan Pajak.
Namun, di luar itu semua, penting bagi pemangku kepentingan untuk meredesain kembali sistem pajak di tengah momentum reformasi lembaga peradilan pajak. Desain ulang sistem pajak ini bertujuan menjamin kesinambungan penerimaan dengan meminimalkan sengketa pajak.
Sederhananya, mencabut bulu angsa tanpa membuatnya berteriak. (Darussalam, 2018).
Bagaimana minimnya sengketa bisa berdampak pada penguatan penerimaan? Sengketa pajak, walau merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam sistem pajak, memberikan dampak negatif kepada kepatuhan melalui dua hal.
Pertama, maraknya sengketa memberikan ketidakpastian dan tergerusnya kepercayaan terhadap sistem pajak (Gangl, et.al., 2012). Kedua, sengketa menimbulkan biaya kepatuhan yang tinggi sebagai akumulasi dari waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan (Vaillancourt, et.al., 2016).
Dengan demikian, perubahan lanskap pajak justru dapat kontraproduktif dengan kepatuhan jangka panjang.
Dalam kaitannya dengan peran Pengadilan Pajak, Butani (2016) mendorong pemerintah agar berhenti bersikap kompulsif dan menghindari paradigma bahwa pengadilan pajak menjadi ‘gawang terakhir’ yang memutuskan sengketa.
Prinsip think before act (of filing appeal) dalam National Litigation Policy yang dirumuskan Ministry of Law and Justice, Pemerintah India di tahun 2010, dapat dijadikan rujukan.
Saat membuat keputusan untuk melanjutkan sengketa pajak ke ranah pengadilan, pemerintah harus melakukan peninjauan dan analisis biaya-manfaat. Hal tersebut juga mencakup pertimbangan untuk tidak mengajukan banding atas pokok sengketa yang sama dan berulang, serta sengketa yang bersifat fakta (non-interpretatif).
Darussalam (2018) juga menilai ada baiknya untuk mempertimbangkan suatu prosedur hukum dalam penyelesaian sengketa yang berada di luar ranah pengadilan yang dikenal dengan nama alternative dispute resolution/ADR (Thuronyi, 2013).
Cara-cara seperti mediasi, konsultasi, dan sebagainya, diharapkan dapat menciptakan proses penyelesaian sengketa yang lebih efisien serta efektif, maupun dapat mengurangi jumlah berkas banding dan gugatan di pengadilan pajak.
Di samping itu, perlu dilakukan penguatan kapasitas lembaga Pengadilan Pajak dan Komite Pengawas Perpajakan (tax ombudsman) sebagai lembaga yang turut berperan serta dalam menjamin hak-hak wajib pajak. Penguatan tersebut juga turut diiringi dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi.
Pada akhirnya, transformasi lembaga peradilan pajak di Indonesia masih dan terus berlanjut. Penyatuan atap Pengadilan Pajak menjadi satu langkah besar dalam mereformasi sistem peradilan Tanah Air.
Satu hal yang pasti, sampai kapanpun, Pengadilan Pajak harus bisa menjadi benteng terakhir bagi wajib pajak untuk menemukan keadilan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.