Logo-Pakpol Logo-Pakpol
Literasi
Jum'at, 18 April 2025 | 15:30 WIB
RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Kamis, 17 April 2025 | 17:00 WIB
TIPS PAJAK DAERAH
Kamis, 17 April 2025 | 14:00 WIB
KELAS PPh Pasal 21 (12)
Selasa, 15 April 2025 | 18:15 WIB
KETUA MA 1974-1982 OEMAR SENO ADJI:
Fokus
Reportase

Menjaga Ruang Fiskal Agar Bisa Tetap Responsif

A+
A-
1
A+
A-
1
Menjaga Ruang Fiskal Agar Bisa Tetap Responsif

Ilustrasi. Warga mengantre untuk mendapat suntikan vaksin COVID-19 di Gelanggang Remaja Makassar, Jakarta, Jumat (12/11/2021). Pemerintah menargetkan vaksinasi COVID-19 mencapai 300 juta dosis pada akhir 2021. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

FLEKSIBEL dan responsif. Bisa jadi, Anda sudah sering mendengar kedua diksi tersebut saat pemerintah menjelaskan tentang kinerja APBN pada masa pandemi Covid-19. Maklum, fiskal negara diharapkan menjadi instrumen countercyclical di tengah kondisi ekonomi yang lesu.

Menjadi masalah jika ruang untuk membuat APBN fleksibel dan responsif sangat sempit, bahkan tidak ada. Apalagi, kinerja pendapatan negara, terutama penerimaan pajak, juga kurang optimal sebelum ada pandemi. Masyarakat sudah sering mendengar kinerja tax ratio Indonesia yang masih rendah.

Kondisi yang sudah ada sebelum pandemi tersebut diperparah dengan terjadinya resesi ekonomi. Pada 2020, saat perekonomian Indonesia pada 2020 minus 2,07% dan indeks harga konsumen naik (inflasi) 1,68%, penerimaan pajak tercatat minus 19,6%.

Baca Juga: Alokasi APBN Cukup, 53 Unit Sekolah Rakyat Ditarget Rampung Juni 2025

Tentu saja performa itu juga dipengaruhi pilihan kebijakan yang diambil pemerintah. Pembatasan sosial ikut memengaruhi kinerja pengawasan dan pemeriksaan. Pada saat yang bersamaan, pemerintah menyediakan berbagai insentif pajak. Peran regulerend dari pajak lebih diutamakan.

Terbatasnya penerimaan dan tingginya kebutuhan belanja mendorong pemerintah untuk menarik utang. Untuk menciptakan ruang fiskal, limitasi defisit anggaran amanat UU Keuangan Negara akhirnya dihilangkan sementara waktu melalui Perpu 1/2020.

Defisit APBN pun disetel melampaui 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai tahun anggaran 2020. Namun, disiplin fiskal kembali diperketat mulai 2023. Dengan demikian, 2022 merupakan tahun terakhir sebelum defisit anggaran harus kembali maksimal 3% terhadap PDB.

Baca Juga: Ada Kebijakan Tarif AS, Pemerintah Perlu Antisipasi Dampaknya ke Pajak

Tentu saja yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemerintah mendesain fiskal pada masa transisi agar tidak terjadi syok ketika limitasi defisit anggaran sudah berlaku? Pemerintah sudah menyatakan akan mulai mengoptimalkan pendapatan bersamaan dengan pulihnya perekonomian.

Secara sederhana, ketika pendapatan negara meningkat, pemerintah bisa mengurangi utang (defisit). Pada saat bersamaan, volume belanja tetap dijaga stabil, bahkan naik. Alhasil, ruang fiskal tidak berubah karena hanya terjadi perpindahan sumber pendanaan dari utang ke pendapatan negara.

Strategi itulah yang akan diambil pemerintah. Langkah yang ditempuh pemerintah ini perlu diapresiasi karena memberikan sinyal adanya upaya penyeimbangan antara kebutuhan pengumpulan pendapatan dan pemberian stimulus ekonomi.

Baca Juga: DPR Minta APBN 2026 Harus Bisa Antisipasi Kebijakan Bea Masuk Trump

Kita juga tahu sudah banyak kajian lembaga internasional yang mengingatkan agar dukungan fiskal pada masa pandemi tidak dicabut secara langsung dan mendadak. Penarikan dukungan, termasuk berupa insentif pajak, perlu dilakukan bertahap sambil memantau perkembangan ekonomi.

Pemerintah sendiri menyatakan upaya penerimaan pajak pada tahun depan akan mengandalkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Maklum dalam UU HPP, ada program pengungkapan sukarela (PPS) yang berlaku sekali pada Januari-Juni 2022. Sekilas memang program ini juga tidak bersinggungan langsung dengan situasi ekonomi sekarang karena menyangkut kepatuhan pajak.

Adanya PPS bisa jadi akan meningkatkan penerimaan pajak. Namun, skema penerimaan dari kebijakan ini tidak akan berulang pada tahun-tahun mendatang. Hanya satu kali. Dengan demikian, pemerintah tetap perlu mengupayakan kebijakan yang berkelanjutan.

Baca Juga: Singgung Masa Krismon, Sri Mulyani Minta Pegawai Sabar Kelola APBN

Tidak menutup kemungkinan juga penerimaan pajak yang cukup besar pada 2022 hanya bersifat mengembalikan posisi ke sebelum pandemi terjadi. Setelah itu, kembali lagi, pekerjaan rumah mengenai optimalisasi penerimaan pajak yang sudah terjadi sebelum pandemi harus diselesaikan.

Permasalahan fundamental yang menyebabkan tax ratio masih rendah tetap perlu diatasi. Hal ini tentu saja tidak bisa diraih dalam satu waktu. Data pascaberlakunya PPS seharusnya menjadi instrumen untuk peningkatan kepatuhan pajak secara berkelanjutan.

Harapannya, APBN benar-benar sehat dalam jangka panjang. Ketika ada ketidakpastian yang mengadang, APBN bisa digunakan dengan fleksibel dan responsif serta akuntabel. Sepertinya begitu harapan orotitas fiskal yang disuarakan akhir-akhir ini. (kaw)

Baca Juga: Perlu Justifikasi yang Tepat untuk Adakan Tax Amnesty Lagi

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik : Fokus Akhir Tahun 2021, tajuk, tajuk pajak, APBN, kebijakan fiskal, penerimaan pajak, UU HPP

KOMENTAR

0/1000
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 02 April 2025 | 14:30 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Sri Mulyani Andalkan Joint Program untuk Tingkatkan Tax Ratio 2025

Selasa, 01 April 2025 | 10:00 WIB
PAJAK DAERAH

Ramainya Pemudik Bisa Dongkrak Kinerja Penerimaan Pajak

Selasa, 01 April 2025 | 08:00 WIB
LAPORAN KINERJA DJBC 2024

Extra Effort DJBC Amankan Penerimaan 2024, Begini Laporannya

berita pilihan

Minggu, 20 April 2025 | 08:00 WIB
KEBIJAKAN PAJAK

Jaga Daya Saing, RI Diingatkan Konsisten Terapkan Pajak Minimum Global

Minggu, 20 April 2025 | 07:30 WIB
KABUPATEN MOJOKERTO

Punya Tunggakan Pajak? Manfaatkan Pemutihan yang Diadakan Pemda Ini

Sabtu, 19 April 2025 | 16:30 WIB
ADMINISTRASI PAJAK

Ingat Lagi Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan sebelum Pengukuhan PKP

Sabtu, 19 April 2025 | 14:00 WIB
PROVINSI SULAWESI TENGAH

Ada Pemutihan! Kendaraan Mati 10 Tahun, Cukup Bayar 1 Tahun Saja

Sabtu, 19 April 2025 | 11:35 WIB
KOLABORASI LeIP-DDTC

Gratis 25 Buku Terbaru DDTC untuk PERTAPSI! Beri Komentar Terbaik Anda

Sabtu, 19 April 2025 | 11:30 WIB
INFOGRAFIS PAJAK

Siapa yang Masuk Keluarga Sedarah dan Semenda dalam Aturan Pajak?

Sabtu, 19 April 2025 | 10:30 WIB
PMK 81/2024

Ketentuan PPh atas Pengalihan Partisipasi Interes, Apa yang Berubah?